Senin, 04 Juni 2012

Menyoal Pendidikan Antikorupsi di Sekolah



Oleh: Iwan Ardhie Priyana

KEMENDIKNAS berencana memasukkan kurikulum antikorupsi di sekolah tahun depan. Pendidikan antikorupsi tersebut bukan dalam bentuk mata pelajaran, "Yang pasti, materi antikorupsi ini mirip oksigen. Tidak bisa dilihat mata, tetapi dibutuhkan. Di semua mata pelajaran, materi ini ada, baik matematika, sejarah, fisika, biologi, PPKN, dan pelajaran lain," kata Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (3/10) sebagaimana di kutip sebuah harian. Nuh mengatakan, korupsi disebabkan dua faktor, salah satu di antaranya manusia. Ihwal mengapa dipilih sekolah, Nuh mencontohkan bentuk korupsi dalam bentuk mencontek yang sudah jadi kultur di sekolah.

Wacana tentang pendidikan antikorupsi awalnya sayup-sayup pernah diwacanakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu yang lalu. Boleh jadi gagasan ini merupakan satu terobosan untuk memutus mata rantai korupsi hingga ke akar-akarnya. Sebab, selama ini pemberantasan korupsi telah menjadi agenda besar bangsa ini, yang harus segera dituntaskan. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi aktif semua elemen masyarakat, terutama di bidang pendidikan. Karena, pendidikan memiliki posisi strategis sebagai pembentuk karakter bangsa, sekaligus penanaman nilai-nilai kejujuran yang kelak akan mencegah perilaku korup.

Berbeda dengan KPK dan Kemendiknas yang begitu optimis dengan gagasan ini, reaksi sebaliknya bermunculan dari pengamat pendidikan dan LSM yang selama ini gigih memberantas korupsi. Argumen yang diajukan adalah, bagaimana mungkin bisa menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah, sementara sekolah sendiri adalah lembaga yang tidak steril dengan korupsi. Kendati menuai kontroversi, Kemendiknas tampaknya tetap akan melaksanakan progam ini. Oleh sebab itu, masyarakat hendaknya tidak perlu apriori dan suuzan dalam menilai langkah ini. Bagaimanapun, berbagai upaya tetap perlu dilakukan secara sungguh-sungguh guna memerangi "musuh bangsa nomor satu" ini.

Yang perlu mendapat perhatian pemerintah, apabila progam ini dilaksanakan, adalah diperlukan sikap konsistensi dan sosialisasi. Konsistensi menyangkut keberlangsungan program ini ke depan. Selama ini, lembaga pendidikan sering dijadikan kelinci percobaan oleh pemerintah untuk memasukkan program tertentu di sekolah. Setelah dijalankan, pemerintah tidak sungguh-sungguh mengawalnya, sehingga akhirnya berbagai program tersebut tak jelas ujung pangkalnya. Padahal tidak sedikit waktu dan biaya yang telah dikorbankan. Hal ini dikhawatirkan semakin mempertegas stigma yang telah melekat di masyarakat pada dunia pendidikan yang senang dengan bongkar pasang kurikulum.

Program ini akan berjalan sesuai dengan rencana yang diharapkan, bila diawali dengan sosialisasi kepada stake holder di sekolah, baik pada guru, siswa, maupun orangtua siswa. Guru menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk menunjang keberhasilan program ini. Sampai saat ini guru belum memahami benar bagaimana sebenarnya kurikulum antikorupsi tersebut. Bahkan mungkin tidak sedikit yang belum mengetahui program ini. Sosialisasi diperlukan untuk memberikan persepsi dan pemahaman yang sama dari berbagai pihak yang terlibat. Sehingga, akan terjadi kesamaan visi dalam hal korupsi sebagai musuh yang harus dihancurkan karena akan menghancurkan kehidupan masyarakat.

Di atas semua itu, yang perlu disadari adalah pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai dan sikap yang berlangsung secara sadar dan terencana. Proses penanaman nilai tersebut akan sangat efektif bila dilakukan melalui keteladanan. Apalagi ini menyangkut moralitas yang diperlukan adalah contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dijadikan panutan. Kenyataan dewasa ini, nilai-nilai keteladanan itu sudah mulai tereliminasi dalam keseharian kita, termasuk juga di lingkup pendidikan. Dengan kata lain, kunci keberhasilan program ini bergantung pada prilaku, guru, masyarakat dan pejabat, dan penegak hokum. Dilihat dari sisi ini, maka institusi pendidikan memang harus membersihkan sendiri korupsi yang ada dalam dirinya. Jika tidak, maka akan timbul konflik dan kesenjangan anatara yang diajarkan dengan kenyataan yang terjadi.

Semua pihak tentu berharap kurikulum antikorupsi tersebut bukan berisi "kata-kata mutiara" atau sejumlah instruksi dan larangan yang harus ditaati dan dipatuhi siswa. Jika ini terjadi, maka kurikulum antikorupsi akan menjadi hafalan semata. Ini pernah terjadi pada penataran P4 yang gencar dilakukan pada zaman Orde Baru, di mana siswa dituntut memahami butir-butir pemahaman Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Rangkaian kata-kata itu tidak memiliki makna apa pun, sebab memang dalam praktiknya menanamkan moral tidak semudah menyusun kata-kata. (Penulis, guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg, dan pengelola Bapinger Education Cicalengka)**

1 komentar:

Text widget

About

Senin, 04 Juni 2012

Menyoal Pendidikan Antikorupsi di Sekolah



Oleh: Iwan Ardhie Priyana

KEMENDIKNAS berencana memasukkan kurikulum antikorupsi di sekolah tahun depan. Pendidikan antikorupsi tersebut bukan dalam bentuk mata pelajaran, "Yang pasti, materi antikorupsi ini mirip oksigen. Tidak bisa dilihat mata, tetapi dibutuhkan. Di semua mata pelajaran, materi ini ada, baik matematika, sejarah, fisika, biologi, PPKN, dan pelajaran lain," kata Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (3/10) sebagaimana di kutip sebuah harian. Nuh mengatakan, korupsi disebabkan dua faktor, salah satu di antaranya manusia. Ihwal mengapa dipilih sekolah, Nuh mencontohkan bentuk korupsi dalam bentuk mencontek yang sudah jadi kultur di sekolah.

Wacana tentang pendidikan antikorupsi awalnya sayup-sayup pernah diwacanakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu yang lalu. Boleh jadi gagasan ini merupakan satu terobosan untuk memutus mata rantai korupsi hingga ke akar-akarnya. Sebab, selama ini pemberantasan korupsi telah menjadi agenda besar bangsa ini, yang harus segera dituntaskan. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi aktif semua elemen masyarakat, terutama di bidang pendidikan. Karena, pendidikan memiliki posisi strategis sebagai pembentuk karakter bangsa, sekaligus penanaman nilai-nilai kejujuran yang kelak akan mencegah perilaku korup.

Berbeda dengan KPK dan Kemendiknas yang begitu optimis dengan gagasan ini, reaksi sebaliknya bermunculan dari pengamat pendidikan dan LSM yang selama ini gigih memberantas korupsi. Argumen yang diajukan adalah, bagaimana mungkin bisa menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah, sementara sekolah sendiri adalah lembaga yang tidak steril dengan korupsi. Kendati menuai kontroversi, Kemendiknas tampaknya tetap akan melaksanakan progam ini. Oleh sebab itu, masyarakat hendaknya tidak perlu apriori dan suuzan dalam menilai langkah ini. Bagaimanapun, berbagai upaya tetap perlu dilakukan secara sungguh-sungguh guna memerangi "musuh bangsa nomor satu" ini.

Yang perlu mendapat perhatian pemerintah, apabila progam ini dilaksanakan, adalah diperlukan sikap konsistensi dan sosialisasi. Konsistensi menyangkut keberlangsungan program ini ke depan. Selama ini, lembaga pendidikan sering dijadikan kelinci percobaan oleh pemerintah untuk memasukkan program tertentu di sekolah. Setelah dijalankan, pemerintah tidak sungguh-sungguh mengawalnya, sehingga akhirnya berbagai program tersebut tak jelas ujung pangkalnya. Padahal tidak sedikit waktu dan biaya yang telah dikorbankan. Hal ini dikhawatirkan semakin mempertegas stigma yang telah melekat di masyarakat pada dunia pendidikan yang senang dengan bongkar pasang kurikulum.

Program ini akan berjalan sesuai dengan rencana yang diharapkan, bila diawali dengan sosialisasi kepada stake holder di sekolah, baik pada guru, siswa, maupun orangtua siswa. Guru menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk menunjang keberhasilan program ini. Sampai saat ini guru belum memahami benar bagaimana sebenarnya kurikulum antikorupsi tersebut. Bahkan mungkin tidak sedikit yang belum mengetahui program ini. Sosialisasi diperlukan untuk memberikan persepsi dan pemahaman yang sama dari berbagai pihak yang terlibat. Sehingga, akan terjadi kesamaan visi dalam hal korupsi sebagai musuh yang harus dihancurkan karena akan menghancurkan kehidupan masyarakat.

Di atas semua itu, yang perlu disadari adalah pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai dan sikap yang berlangsung secara sadar dan terencana. Proses penanaman nilai tersebut akan sangat efektif bila dilakukan melalui keteladanan. Apalagi ini menyangkut moralitas yang diperlukan adalah contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dijadikan panutan. Kenyataan dewasa ini, nilai-nilai keteladanan itu sudah mulai tereliminasi dalam keseharian kita, termasuk juga di lingkup pendidikan. Dengan kata lain, kunci keberhasilan program ini bergantung pada prilaku, guru, masyarakat dan pejabat, dan penegak hokum. Dilihat dari sisi ini, maka institusi pendidikan memang harus membersihkan sendiri korupsi yang ada dalam dirinya. Jika tidak, maka akan timbul konflik dan kesenjangan anatara yang diajarkan dengan kenyataan yang terjadi.

Semua pihak tentu berharap kurikulum antikorupsi tersebut bukan berisi "kata-kata mutiara" atau sejumlah instruksi dan larangan yang harus ditaati dan dipatuhi siswa. Jika ini terjadi, maka kurikulum antikorupsi akan menjadi hafalan semata. Ini pernah terjadi pada penataran P4 yang gencar dilakukan pada zaman Orde Baru, di mana siswa dituntut memahami butir-butir pemahaman Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Rangkaian kata-kata itu tidak memiliki makna apa pun, sebab memang dalam praktiknya menanamkan moral tidak semudah menyusun kata-kata. (Penulis, guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg, dan pengelola Bapinger Education Cicalengka)**

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.