Senin, 04 Juni 2012

Mungkinkah Pelajar kita Mengidap “Nekrofillia” ?



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Fenomena kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan para pelajar belakangan ini, tampaknya memiliki kecenderungan mengalami kenaikan baik dari sisi kualitas ,maupun kuantitas. Maraknya fenomena kekerasan, anarkisme, serta kenakalan pelajar yang cenderung overdosis, dan di luar takaran kepatutan itu, oleh kalangan sosiolog ditengarai sebagai mulai berjangkitnya nekrofilia.
Nekrofilia adalah bentuk perlaku destruktif dengan mengeploitasi dan merusak orang lain atau benda-benda serta lingkungan. Gejala nekrofilia ditunjukkan dengan berbagai bentuk perilaku sadis, seperti tertarik dan berpenampilan pada segala bentuk kematian, senang berbicara penyiksaan, kamatian dan penguburan. Mereka yang diindikasikan gejala nekrofilia memilki kecenderungan untuk terikat dengan kekuasaan, dan menyelesaikan persoalan dengan menggunakan kekerasan.

Faham orang bermental nekrofilia selalu memandang orang-orang di sekitarnya sebagai objek yang harus ditaklukan. Dalam paradigma seperti ini jelas tidak mungkin bagi pribadi seperti ini mengakui eksistensi yang lain, selain berusaha menghancurkannya dengan berbagai cara.
Menurut Form, sebagaimana dikutip Mubiar Agustin dalam tulisanya “Kecenderungan Nekrophilia pada Pelajar” nekrofilia , merupakan sebuah penyakit yang ditularkan oleh sistem sisio-kultural di masyarakat. Pendapat senada dikemukakan oleh Sosiolog dari Universitas Diponegoro, Semarang, Triyono Lukmantoro bahwa nekrofilia ditentukan situasi-situasi sosial yang melingkupi kehidupan individual. Lenyapnya cinta terhadap sesama adalah salah satu pendorong kemunculan nekrofilia. Sistem kehidupan yang terarah pada relasi yang saling mengasingkan merupakan pemicu merebaknya masyarakat nekrofilia.

Model-model perilaku nekrofilia dapat dengan mudah dijumpai melalui berita media massa. Para pelajar kita disuguhi adegan tawuran politikus dalam sidang parlemen, saling hujat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, bentrokan fisik antara satu ormas dengan ormas yang lain, demontrasi yang selalu berujung ricuh, penggusuran PKL dan eksekusi rumah yang dibumbui adegan saling pukul, protes pilkada dengan membakar fasilitas umum, kasus pembunuhan dengan cara mutilasi yang menjadi “tren” -untuk menyebut beberapa contoh- telah menjadikan metode pembelajaran yang efektif atas fenomena kekerasan yang dipertontonkan tanpa filter dan sangat telanjang di depan mata para pelajar kita.

Gejala nekrofilia sesungguhnya dapat ditangkal, apabila semua komponen di masyarakat baik yang terkecil yakni individu serta keluarga sampai dengan negara dan bangsa harus secara aktif mengubah nilai ke arah yang positif. Form menyadari, bahwa masyarakat narsistik dan ekploitatif tidak akan eksis, Form pun meyakini bahwa masyarakat akan senang hidup dalam kooperasi dan harmoni, masyarakat yang sehat akan menciptakan individu yang sehat.
Akan tetapi, kita menyadari bahwa, menciptakan model kehidupan masyarakat seperti yang digambarkan Katon Bagaskara “ dimana kedamaian menjadi istananya” tidaklah mudah. Masyarakat yang demikian itu akan terwujud jika ada kesadaran kolektif bangsa ini menciptakan harmoni dan kedamaian melalui sikap toleran, saling menghargai, saling membutuhkan, mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai, kekuasaan dan kelompok. Keteladanan (sesuatu yang sudah mulai langka belakangan ini) perlu ditumbuhkan baik di level bawah, seperti guru, orang tua , sampai dengan pejabat dan pengambil keputusan seperti pejabat pemerintah, politisi, dan elit-elit parpol.

Sikap legawa untuk mau menerima kekalahan dengan gentlemen (tidak hanya sekedar ikrar belaka), demokrasi yang menjunjung tinggi sportifitas, dapat menjadi prasyarat untuk mereduksi konflik-konflik yang bernuansa kekerasan, sehinga tidak menjelma menjadi sebuah tontonan yang dapat memancing kebencian. Benar memang kata Form bahwa individu yang sehat akan dari masyarakat yang sehat.
Upaya yang sungguh-sungguh untuk menata kembali bangsa ini melalui komitmen berbagai komponen bangsa; meniscayakan lahirnya sebuah masyarakat yang sehat tempat para remaja dan pelajar kita sebagai penerus masa depan meniti kehidupannya dengan penuh rasa aman, damai dan penuh optimisme. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text widget

About

Senin, 04 Juni 2012

Mungkinkah Pelajar kita Mengidap “Nekrofillia” ?



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Fenomena kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan para pelajar belakangan ini, tampaknya memiliki kecenderungan mengalami kenaikan baik dari sisi kualitas ,maupun kuantitas. Maraknya fenomena kekerasan, anarkisme, serta kenakalan pelajar yang cenderung overdosis, dan di luar takaran kepatutan itu, oleh kalangan sosiolog ditengarai sebagai mulai berjangkitnya nekrofilia.
Nekrofilia adalah bentuk perlaku destruktif dengan mengeploitasi dan merusak orang lain atau benda-benda serta lingkungan. Gejala nekrofilia ditunjukkan dengan berbagai bentuk perilaku sadis, seperti tertarik dan berpenampilan pada segala bentuk kematian, senang berbicara penyiksaan, kamatian dan penguburan. Mereka yang diindikasikan gejala nekrofilia memilki kecenderungan untuk terikat dengan kekuasaan, dan menyelesaikan persoalan dengan menggunakan kekerasan.

Faham orang bermental nekrofilia selalu memandang orang-orang di sekitarnya sebagai objek yang harus ditaklukan. Dalam paradigma seperti ini jelas tidak mungkin bagi pribadi seperti ini mengakui eksistensi yang lain, selain berusaha menghancurkannya dengan berbagai cara.
Menurut Form, sebagaimana dikutip Mubiar Agustin dalam tulisanya “Kecenderungan Nekrophilia pada Pelajar” nekrofilia , merupakan sebuah penyakit yang ditularkan oleh sistem sisio-kultural di masyarakat. Pendapat senada dikemukakan oleh Sosiolog dari Universitas Diponegoro, Semarang, Triyono Lukmantoro bahwa nekrofilia ditentukan situasi-situasi sosial yang melingkupi kehidupan individual. Lenyapnya cinta terhadap sesama adalah salah satu pendorong kemunculan nekrofilia. Sistem kehidupan yang terarah pada relasi yang saling mengasingkan merupakan pemicu merebaknya masyarakat nekrofilia.

Model-model perilaku nekrofilia dapat dengan mudah dijumpai melalui berita media massa. Para pelajar kita disuguhi adegan tawuran politikus dalam sidang parlemen, saling hujat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, bentrokan fisik antara satu ormas dengan ormas yang lain, demontrasi yang selalu berujung ricuh, penggusuran PKL dan eksekusi rumah yang dibumbui adegan saling pukul, protes pilkada dengan membakar fasilitas umum, kasus pembunuhan dengan cara mutilasi yang menjadi “tren” -untuk menyebut beberapa contoh- telah menjadikan metode pembelajaran yang efektif atas fenomena kekerasan yang dipertontonkan tanpa filter dan sangat telanjang di depan mata para pelajar kita.

Gejala nekrofilia sesungguhnya dapat ditangkal, apabila semua komponen di masyarakat baik yang terkecil yakni individu serta keluarga sampai dengan negara dan bangsa harus secara aktif mengubah nilai ke arah yang positif. Form menyadari, bahwa masyarakat narsistik dan ekploitatif tidak akan eksis, Form pun meyakini bahwa masyarakat akan senang hidup dalam kooperasi dan harmoni, masyarakat yang sehat akan menciptakan individu yang sehat.
Akan tetapi, kita menyadari bahwa, menciptakan model kehidupan masyarakat seperti yang digambarkan Katon Bagaskara “ dimana kedamaian menjadi istananya” tidaklah mudah. Masyarakat yang demikian itu akan terwujud jika ada kesadaran kolektif bangsa ini menciptakan harmoni dan kedamaian melalui sikap toleran, saling menghargai, saling membutuhkan, mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai, kekuasaan dan kelompok. Keteladanan (sesuatu yang sudah mulai langka belakangan ini) perlu ditumbuhkan baik di level bawah, seperti guru, orang tua , sampai dengan pejabat dan pengambil keputusan seperti pejabat pemerintah, politisi, dan elit-elit parpol.

Sikap legawa untuk mau menerima kekalahan dengan gentlemen (tidak hanya sekedar ikrar belaka), demokrasi yang menjunjung tinggi sportifitas, dapat menjadi prasyarat untuk mereduksi konflik-konflik yang bernuansa kekerasan, sehinga tidak menjelma menjadi sebuah tontonan yang dapat memancing kebencian. Benar memang kata Form bahwa individu yang sehat akan dari masyarakat yang sehat.
Upaya yang sungguh-sungguh untuk menata kembali bangsa ini melalui komitmen berbagai komponen bangsa; meniscayakan lahirnya sebuah masyarakat yang sehat tempat para remaja dan pelajar kita sebagai penerus masa depan meniti kehidupannya dengan penuh rasa aman, damai dan penuh optimisme. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.