Oleh Iwan Ardhie Priyana
“Besok giliran
ulangan fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” kalimat tersebut saya intip
dari status yang ditulis di dinding akun
FB teman anak saya. Saya tercenung dengan isi kalimat tersebut. Saya mencoba
untuk menebak, apa makna di balik kata-kata itu. “Perang” dapat diartikan bahwa
anak tersebut akan mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi dua mata pelajaran
tersebut. Bila demikian maksudnya, tentu ini adalah afirmasi positif. Tapi
makna perang bisa juga diartikan bahwa
kedua mata pelajaran itu sebagai musuh yang menakutkan. Ini tentu bisa negatif.
Selama ini
memang sudah menjadi anggapan umum bahwa mata pelajaran eksak, seperti kimia,
matematika dan fisika ditambah lagi pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran
yang menakutkan. Kata “menakutkan” sendiri boleh jadi mucul karena memang
perlakuan atau persepsi yang sengaja dihembuskan oleh para guru. Maksudnya
tentu positif, agar siswa harus bersungguh-sungguh focus pada mata pelajaran
tersebut. Bahwa, siswa harus sunggugh-sungguh memang benar. Tetapi kesungguhan
itu telah memenjara berbagai pihak,
seperti siswa, guru, orang tua, bahkan masyarakat umum. Semuanya menjadi
serius, guru yang mengajar, siswa yang belajar dan masyarakat di luar, termasuk
juga pemerintah yang telah memasukkan mata pelajaran itu sebagai mata pelajaran
yang wajib di Ujian Nasionalkan . Terlebih lagi, karena mata pelajaran itu
menjadi kartu mati kelulusan siswa dari mulai SMP dan SMA.
Sebagai mata
pelajaran yang menakutkan, kemasan pembelajaran di dalam kelaspun seakan-akan
melengkapi anggapan yang sudah berkembang. Pembelajaran untuk mata pelajaran
tersebut menjadi suasana yang menegangkan. Tak mengherankan bila kemudian
diperspesikan sebagai “perang”.
Sampai kapankah
anak-anak sekolah kita mengkahiri perang dengan pelajaran tersebut? Jawabannya
sebenarnya ada di pihak guru. Guru lah yang harus bisa memepersipkan bahwa,
fisika, matematika, dan kimia juga bahasa Inggris bisa menyenangkan. Hal itu
bergantung pada metode pembelajaran guru yang digunakan. Dan yang lebih
sederhana adalah dengan menanamkan keyakinan atau semacam sugesti bahwa mata
pelajaran tersebut sebenarnya memang , “mudah” dan “menyenangan”. Bagaimana
siswa akan memiliki persepsi bahwa pelajaran itu mudah jika gurunya saja sering
mengeluarkan kata-kata , sulit , atau sukar?.
Yang juga
perlu diubah adalah persepsi bahwa pelajaran eksak itu berkaitan dengan profesi
yang akan menjanjikan di masa datang. Dengan kata lain, bahwa kemampuan
menguasai mata pelajaran eksak menjadi pintu gerbang untuk meraih kesuksesan di
masa depan adalah hanya mitos belaka. Sehingga, seakan-akan siswa yang berada
di jalur eksak adalah siswa unggulan. Inilah persepsi keliru yang telah
melhirkan dikotomi antara eksak dan noneksak, antara IPA versus IPS. Entah
sudah berapa generasi, masyarakat kita terjebak dalam dikotomi yang salah
kaprah ini. Padahal, rezeki yang diturunkan oleh Tuhan kepada ummat-Nya,
berdasarkan usaha dan kerja kerasnya,. Sungguh Tuhan tidak adil bila sebelum
member kesuksesan Tuhan bertanya “Apakah kamu dulu berijasah IPA atau IPS?”
“Perang”
terhadap dikotomi ini memang harus segera di akhiri. Kesuskesan seseorang lebih
banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk mengerahkan segenap potensinya, baik potensi intelektualnya
maupun potensi emosionalnya. Penelitian Goleman bahkan menyebutkan bahwa 80 %
keberhasilan ditentukan oleh faktor emosional quetion ketimbang faktor IQ.
“Besok ujian
fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” . Nak, yang perlu kalian perangi sebenarnya
adalah rasa takut dan kemalasan. Bukan mata pelajarannya.
Nagreg, 13
Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar