Senin, 04 Juni 2012

“Wah , besok bakal perang , nih !”




Oleh Iwan Ardhie Priyana

“Besok giliran ulangan fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” kalimat tersebut saya intip dari status yang ditulis di dinding  akun FB teman anak saya. Saya tercenung dengan isi kalimat tersebut. Saya mencoba untuk menebak, apa makna di balik kata-kata itu. “Perang” dapat diartikan bahwa anak tersebut akan mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi dua mata pelajaran tersebut. Bila demikian maksudnya, tentu ini adalah afirmasi positif. Tapi makna perang bisa juga  diartikan bahwa kedua mata pelajaran itu sebagai musuh yang menakutkan. Ini tentu bisa negatif.
Selama ini memang sudah menjadi anggapan umum bahwa mata pelajaran eksak, seperti kimia, matematika dan fisika ditambah lagi pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang menakutkan. Kata “menakutkan” sendiri boleh jadi mucul karena memang perlakuan atau persepsi yang sengaja dihembuskan oleh para guru. Maksudnya tentu positif, agar siswa harus bersungguh-sungguh focus pada mata pelajaran tersebut. Bahwa, siswa harus sunggugh-sungguh memang benar. Tetapi kesungguhan itu  telah memenjara berbagai pihak, seperti siswa, guru, orang tua, bahkan masyarakat umum. Semuanya menjadi serius, guru yang mengajar, siswa yang belajar dan masyarakat di luar, termasuk juga pemerintah yang telah memasukkan mata pelajaran itu sebagai mata pelajaran yang wajib di Ujian Nasionalkan . Terlebih lagi, karena mata pelajaran itu menjadi kartu mati kelulusan siswa dari mulai SMP dan SMA.
Sebagai mata pelajaran yang menakutkan, kemasan pembelajaran di dalam kelaspun seakan-akan melengkapi anggapan yang sudah berkembang. Pembelajaran untuk mata pelajaran tersebut menjadi suasana yang menegangkan. Tak mengherankan bila kemudian diperspesikan sebagai “perang”.
Sampai kapankah anak-anak sekolah kita mengkahiri perang dengan pelajaran tersebut? Jawabannya sebenarnya ada di pihak guru. Guru lah yang harus bisa memepersipkan bahwa, fisika, matematika, dan kimia juga bahasa Inggris bisa menyenangkan. Hal itu bergantung pada metode pembelajaran guru yang digunakan. Dan yang lebih sederhana adalah dengan menanamkan keyakinan atau semacam sugesti bahwa mata pelajaran tersebut sebenarnya memang , “mudah” dan “menyenangan”. Bagaimana siswa akan memiliki persepsi bahwa pelajaran itu mudah jika gurunya saja sering mengeluarkan kata-kata , sulit , atau sukar?.
Yang juga perlu diubah adalah persepsi bahwa pelajaran eksak itu berkaitan dengan profesi yang akan menjanjikan di masa datang. Dengan kata lain, bahwa kemampuan menguasai mata pelajaran eksak menjadi pintu gerbang untuk meraih kesuksesan di masa depan adalah hanya mitos belaka. Sehingga, seakan-akan siswa yang berada di jalur eksak adalah siswa unggulan. Inilah persepsi keliru yang telah melhirkan dikotomi antara eksak dan noneksak, antara IPA versus IPS. Entah sudah berapa generasi, masyarakat kita terjebak dalam dikotomi yang salah kaprah ini. Padahal, rezeki yang diturunkan oleh Tuhan kepada ummat-Nya, berdasarkan usaha dan kerja kerasnya,. Sungguh Tuhan tidak adil bila sebelum member kesuksesan Tuhan bertanya “Apakah kamu dulu berijasah IPA atau IPS?”
“Perang” terhadap dikotomi ini memang harus segera di akhiri. Kesuskesan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk mengerahkan segenap  potensinya, baik potensi intelektualnya maupun potensi emosionalnya. Penelitian Goleman bahkan menyebutkan bahwa 80 % keberhasilan ditentukan oleh faktor emosional quetion ketimbang faktor IQ.
“Besok ujian fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” . Nak, yang perlu kalian perangi sebenarnya adalah rasa takut dan kemalasan. Bukan mata pelajarannya.


Nagreg, 13 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text widget

About

Senin, 04 Juni 2012

“Wah , besok bakal perang , nih !”




Oleh Iwan Ardhie Priyana

“Besok giliran ulangan fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” kalimat tersebut saya intip dari status yang ditulis di dinding  akun FB teman anak saya. Saya tercenung dengan isi kalimat tersebut. Saya mencoba untuk menebak, apa makna di balik kata-kata itu. “Perang” dapat diartikan bahwa anak tersebut akan mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi dua mata pelajaran tersebut. Bila demikian maksudnya, tentu ini adalah afirmasi positif. Tapi makna perang bisa juga  diartikan bahwa kedua mata pelajaran itu sebagai musuh yang menakutkan. Ini tentu bisa negatif.
Selama ini memang sudah menjadi anggapan umum bahwa mata pelajaran eksak, seperti kimia, matematika dan fisika ditambah lagi pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang menakutkan. Kata “menakutkan” sendiri boleh jadi mucul karena memang perlakuan atau persepsi yang sengaja dihembuskan oleh para guru. Maksudnya tentu positif, agar siswa harus bersungguh-sungguh focus pada mata pelajaran tersebut. Bahwa, siswa harus sunggugh-sungguh memang benar. Tetapi kesungguhan itu  telah memenjara berbagai pihak, seperti siswa, guru, orang tua, bahkan masyarakat umum. Semuanya menjadi serius, guru yang mengajar, siswa yang belajar dan masyarakat di luar, termasuk juga pemerintah yang telah memasukkan mata pelajaran itu sebagai mata pelajaran yang wajib di Ujian Nasionalkan . Terlebih lagi, karena mata pelajaran itu menjadi kartu mati kelulusan siswa dari mulai SMP dan SMA.
Sebagai mata pelajaran yang menakutkan, kemasan pembelajaran di dalam kelaspun seakan-akan melengkapi anggapan yang sudah berkembang. Pembelajaran untuk mata pelajaran tersebut menjadi suasana yang menegangkan. Tak mengherankan bila kemudian diperspesikan sebagai “perang”.
Sampai kapankah anak-anak sekolah kita mengkahiri perang dengan pelajaran tersebut? Jawabannya sebenarnya ada di pihak guru. Guru lah yang harus bisa memepersipkan bahwa, fisika, matematika, dan kimia juga bahasa Inggris bisa menyenangkan. Hal itu bergantung pada metode pembelajaran guru yang digunakan. Dan yang lebih sederhana adalah dengan menanamkan keyakinan atau semacam sugesti bahwa mata pelajaran tersebut sebenarnya memang , “mudah” dan “menyenangan”. Bagaimana siswa akan memiliki persepsi bahwa pelajaran itu mudah jika gurunya saja sering mengeluarkan kata-kata , sulit , atau sukar?.
Yang juga perlu diubah adalah persepsi bahwa pelajaran eksak itu berkaitan dengan profesi yang akan menjanjikan di masa datang. Dengan kata lain, bahwa kemampuan menguasai mata pelajaran eksak menjadi pintu gerbang untuk meraih kesuksesan di masa depan adalah hanya mitos belaka. Sehingga, seakan-akan siswa yang berada di jalur eksak adalah siswa unggulan. Inilah persepsi keliru yang telah melhirkan dikotomi antara eksak dan noneksak, antara IPA versus IPS. Entah sudah berapa generasi, masyarakat kita terjebak dalam dikotomi yang salah kaprah ini. Padahal, rezeki yang diturunkan oleh Tuhan kepada ummat-Nya, berdasarkan usaha dan kerja kerasnya,. Sungguh Tuhan tidak adil bila sebelum member kesuksesan Tuhan bertanya “Apakah kamu dulu berijasah IPA atau IPS?”
“Perang” terhadap dikotomi ini memang harus segera di akhiri. Kesuskesan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk mengerahkan segenap  potensinya, baik potensi intelektualnya maupun potensi emosionalnya. Penelitian Goleman bahkan menyebutkan bahwa 80 % keberhasilan ditentukan oleh faktor emosional quetion ketimbang faktor IQ.
“Besok ujian fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” . Nak, yang perlu kalian perangi sebenarnya adalah rasa takut dan kemalasan. Bukan mata pelajarannya.


Nagreg, 13 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.