Selasa, 05 Juni 2012

Sebotol wiski


Sebotol wiskiSebotol wiski di tepi zaman
Direguk dalam gairah nyanyian
Bulan hanya serpihan kaca
Memantul dalam gairah dukaSebotol wiski di tepi zaman
Direguk dalam gairah tarian
Saat bulan menghiba ratapi malamnya sia-sia
Menyaksikan Tuhan diusung dalam keranda

Semuanya berawal dari pikiran



Semuanya berawal dari pikiran. Doa yang kita panjatkan kehadirat Tuhan  berawal dari apa yang kita pikirkan. Jadi, pikiran juga doa. Pikiran juga yang akan membawa Anda  saat ini apakah Anda berangkat ke sekolah atau ke kantor dengan langkah kaki yang ringan mantap atau melangkah dengan langkah yang gontai yang berat? Jawabannya bergantung apa yang ada dalam pikiran kita.

Seorang sahabat yang punya hobi memancing, selalu beraharap akan
segera datang hari Sabtu. Karena setiap hari Sabtu itu ia akan pergi bersama
teman-temannya memancing. Belum juga hari Sabtu tiba, dan belum juga ia berada
di pinggir kolam. Tetapi pikiran dan bayangan suasana memancing membuatnya
ba. Sejak dari rumah pun kegembiraan itu mulai terasa. Bersiull sambil menyiap
begitu bergairah. Semangatnya tampak begitu menyala. Bahkan bila saatnya t
ikan perlengkapan memancing, kadang-kadang juga sambil bernyanyi nyanyi kecil. Di
saat ikan menggelepar saat kail di tarik.
benaknya terbayang bagamana nikmatnya saat ikan memagut kailnya. Bagaimana puasny
a

Pada saat itu, sama sekali tak terbayang kesulitan yang dihadapi,
misalnya bagaimana jika hujan , atau kendaraannya mogok di tengah jalan, tali
kailnya putus. Hal-hal itu sama sekali tidak masuk ke dalam pikirannya. Meski
sebenarnya dalam kenyataan  itu terjadi
.

Seorang sahabat, mengeluh karena ia mulai merasakan bosan dan
malas saat akan berangat mengajar. Ia mengeluh karena merasa usianya sudah tua
dan beberapa saat lagi pensiun. Keluhan yang sama juga dirasakan seorang
yang menyebabkan perasaan malas itu menghinaggapinya?
sahabat, padahal usianya jauh lebih muda di bawahnya. Saat dtelisik, apa

Rasa malas  situ ternyata berasal dari pikirannya, bukan dari
perasaannya. Saat ia akan berangkat, ia selalu terpikir kelakuan siswanya yang
nakal, sulit di atur, tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan. Belum lagi ia
kurang begitu suka dengan sikap kepala sekolahnya yang sangat disiplin, selalu
jakan sekolah yang sering berubah dan berganti yang memberikan beban tamba
mengorek kesalahannya, cerewet dan sebagainya. Juga berbagai instruksi dan keb
ihan baginya.

Benarkan siswanya nakal? Ya memang, tetapi dari puluhan siswanya
satu kelas , hanya satu dua saja yang ulahnya berlebihan. Ia lupa ada puluhan
murid lain yang selalu memperhatikan saat ia mengajar. Anak-anak tidak mau
sinya kurang jelas. Tentang sikap kepala sekolahnya yang seperti it
mengerjakan tugas, itu bukan sifat mereka. Itu  karena perintah dan instru
ku, ia lupa di sekolah tempatnya mengajar kan tidak hanya ada seorang kepala sekolah,
atnya itu ada juga yang senasib dengannya.
juga ada teman guru yang lain yang masih mau menjadi sahabatnya, bahkan diantara saha
b

Rasa malas  sang sahabat sebenarnya bersumber dari apa yang
dia pikirkan. Semuanya seakan-akan menjadi sulit dan berat. Demikianlah ia
mulai hari dengan memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan.

Kalau saja kita mau mengubah pikiran kita, mungkin semuanya menjadi
lain. Saat kita akan pergi mengajar. Saat itulah sebenarnya kita berpikir dan
merasakan “suasana” kegembiraan dan kesenangan memancing, bayangkan tentang
irkan “yang senang-senang saja”. Mulai saat ini, mengapa pikiran  kita b
ikan yang menggelepar saat kalil kita dipagut ikan. Pendeknya, mari kita pi
kiarkan hanyut dengan menderita dengan bayangan negative yang kita buat sendiri?  Kitalah sebenarya “pemilik” isi pikiran kita, mau jadi
menyenangkan atau mau jadi menjengkelkan semuanya atas kuasa kita. Kita tinggal memilihnya. Selamat memilih
.

Jika tahun ajaran baru ini cara mengajar dan metode yang kita terapkan “kopi paste” dengan tahun yang lalu, maka bersiaplah untuk stress



Oleh Iwan Ardhie priyana
Oleh Iwan Ardhie priyana
Mengapa? Karena salah satu factor pencetus stress adalah rutinitas yang monoton. Rutinitas  yang monoton akan menimbulkan kejenuhan dan kebosanan, bahasa gaulnya BT. Kalau gurunya BT, jangan terlalu berharap anak didik kita bersemngat dan bergairah. Kejenuhan yang secara tidak langsung ditunjukan guru, seperti virus yang akan mudah menular pada siswa. Kalau gurunya sudah BT, dan anak meresponya dengan BT pula, kira-kira apa yang terjadi di kelas ?  Silahkan bayangkan sendiri.
Jadi, jawaban mengapa anak-anak seperti kurang termotivasi belajar, yang sering dikeluhkan oleh para guru, mungkin perl u di jawab sendiri oleh guru, apakah selama ini para guru  kita telah menumbuhkan iklim bergairah di dalam kelas? Kalau menggunakan teori stimulus = respon , maka jawabanya mudah, respon yang diberikan siswa adalah jawaban langsung dari stimulus guru. Stimulus yang kita berikan  dalam bentuk kejenuhan bisa di gambarakan sebagai negative, dan responnya pun menjadi negatif  pula. Jadi, seperti kata pepatah, kata berjawab gayung bersambut.
Seperti yang telah disebutkan di atas, rutinitas  yang monoton akan menjadi factor pemicu stress. Hasil penelitian  yang ditemukan mengenai stress dan pekerjaan, dilihat dari sisi psikologis memang bukan kabar baik, dan  kelihatannya perlu diwaspadai . Apa saja itu? Nah inilah sebagian gejalanya. :
Kecamasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
Perasaan frustasi , marah dan dendam (kebencian)
Sensitif dan hyperreactivity
Komunikasi yang tidak efektif
Perasaan terkucil dan terasing
Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual dan kehilanga n konsentrasi
Kehilangan spontanitas dan kreatifitas
Menurunnya rasa percaya diri.
Tidak ada yang bagus kan? Itu baru satu aspek, masih ada aspek lain, misalnya gejala  fisiologis dan gejala perilaku. Tapi, stop dulu lah… tunggu ulasan berikutnya.  Harapannya, semoga tidak stress menunggu kabar berikutnya.


Berhati-hatilah dengan Hypnoterapi



Oleh Iwan Apriyana
Catatan untuk Asep Haerul  Gani

Perkenalan saya dengan hypnoterapi  diperoleh  dengan cara yang “menyesatkan” dan tak terduga. Mengapa disebut menyesatkan? Karena hal itu berbeda dengan perkenalan saya dengan kata cinta misalnya. Kata cinta diperkenalkan melalui cara-cara dan peristiwa yang menyenangkan, seperti pertemuan dengan seseorang yang saya senangi, lagu-lagu yang menguras emosi, bunga-bunga yang indah, puisi yang mendayu-dayu ; serta  berbagai pengalaman yang sepenuhnya diliputi suasana hati yang riang. Meskipun sesugguhnya  peristiwa cinta sendiri tidak berarti selamanya menyenangkan, tetapi tetap saja tidak menggoyahkan pendririan dan pemahaman  saya terhadap cinta sebagai suatu “yang aduhai” meskipun cinta sendiri sering  saya anggap sebagai “Cerita Indah Namun Tiada Arti “.
Pengalaman  berkenalan dengan hypnoterapi tidak seindah saya mengenal dan memahami kata cinta. Hypnoterapi atau  yang pada awalnya saya identikkan dengan hipnotis, diperkenalkan melalui  peritiwa kriminal yang saya dengar dari mulut ke mulut atau yang  saya baca di koran. Dari situ, saya mulai mengenal hipnotis sebagai salah satu modus operandi tindakan jahat yang patut dijauhi  yang sekaligus juga tersimpan kebencian yang sangat di dalamnya. Dalam hati, saya membayangkan seseorang yang  kehilangan banyak benda berharga karena ia telah dihipnotis oleh seseorang yang mungkin wajahnya menyeramkan dan tidak memiliki perasaan.
Kebencian terhadap hypnotis semakin menguat ,saat saya mengalami peristiwa yang saya anggap sangat konyol. Siang itu, disebuah pusat pertokoan yang menjual onderdil computer di daerah Kosambi,  tiba-tiba saya ditepuk oleh seseorang yang tidak saya kenal. Namun orang itu dengan sangat meyakinkan bertanya pada tentang beberapa” temannya”  diinstansi saya . Beberapa  nama temannya itu tidak saya kenal, hanya saya mengenal satu nama yang disebutkan oleh orang itu yang kebetulan menjadi pimpinan  di kantor pusat. Sejenak kemudian saya sudah terlibat pembicaraan,meskipun saya sebenarnya lebih banyak bengongnya, ketimbang merespon ucapannya. Pada saat kebengongan saya mencapai titik kulminasinya, ia kemudian mengatakan bahwa ia butuh sejumlah uang untuk ongkos pulang ke satu daerah di Sumedang. Dan tentu sudah dibayangkan bagaimana endingnya. Dengan enteng saya mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya pada “sahabat baru” saya itu. Setelah beberapa saa orang itu berlalu dari muka saya, baru saya menyadari , apakah benar-benar ia  orang dekat dengan atasan saya  di kantor pusat? Kenapa saya  harus mau mengikuti perintahnya untuk mengeluarkan uang? Mengapa saya tidak bertanya tentang hal-hal lain untuk menguji apakah benar-benar ia mengenal teman di kantor pusat? Saya berkesimpulan saya telah di hipnotis !. Sejak itu saya katakan dalam diri “Behati-hati lah dengan hipnotis.
Kebencian saya, terhadap hipnotis serta berbagai hal yang ada disekitarnya pun terus berlangsung sampai suatu saat saya mengalami perstiwa yang tak terduga.
Sore itu, di pertengahan tahun 2009 ; seseorang mengudang saya untuk menghadiri diskusi bulanan  yang diselenggarakan oleh PPS (Pusat Studi  Sunda) dengan tema  “Tarapeutik Sastra Keur Kajembaran Diri “. Judul diskusi tersebut menarik karena berhubungan dengan dunia yang sudah lama saya geluti dan saya merasa bagian di dalamnya ; yakni sastra. Pembicara utama dalam diskusi itu disebutkan oleh moderator bernama Asep Haerul Gani  serta  Teddy AN Muhtadin. Nama yang pertama di sebut tidak saya kenal, apakah ia seorang penulis atau penggiat sastra, sedang nama yang kedua sering saya baca tulisanya  di sebuah majalah berbahasa Sunda di mana saya pernah menulis di media itu sekitar tahun 90-an.
Ada hal yang menarik perhatian saya dalam diskusi itu, yakni paparan yang dikemukakan Asep Haerul Gani  , bahwa selama ini satsra  teutama puisi hanya diselisik dari aspek   bahasanya yang mengandung rima, metaphor dan gaya bahasa yang ada di dalamnya. Padahal sesuguhhnya puisi mengandung unsure pengobatan (terapi). Contoh yang paling nyata dalam kasus ini adalah penggunaan mantera-mantera yang banyak digunakan para dukun untuk melakukan terapi. Sebagai seorang yang penikmat sastra, saya memperoleh pemahaman dan kesadaran baru tentang dunia  sastra lewat diskusi itu. Khususnya, bagaimana sastra mampu memberikan efek terapi bagi orang lain.
Diskusi tersebut, dalam perkembangannya kemudian menggoda saya untuk lebih memahami  hubungan antara sastra dengan terapi. Beruntunglah waktu  itu Asep Haerul Gani memberikan  soft kopi beberapa tulisan yang berkaitan dengan terapi. Saat saya pelajari tulisan itu, sebenarnya tidak secara khusus menyingung peranan sastra dengan terapi, tetapi lebih menekankan bagaimana proses terapi dengan  mengguakan pendekatakan hyponterapi.  Tapi aneh bin ajaib, saat saya membaca tulisan itu yang sebagian besar  berbicara soal hipnotis dan hypnoterapi , kebencian saya terhadap kata hipnotis yang entah berapa lama tersimpan dalam memori saya seakan akan mmenguap begitu saja. Saat itu boleh jadi saya jadi amnesia terhadap hipnotis. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ,timbulnya  perasaan  tertarik dengan berbagai penanganan kasus yang dialami klien dalam tulisan itu yang mengalami masalah yang berhubungan dengan pribadinya dengan menggunakan pendekatan hypnoterapi.
Entah jin mana  yang ditiupkan oleh Asep Haerul Gani dalam diri saya , sehingga mulai saat itu saya begitu rajin  membaca berbagai hal yang berhubunan dengan hipnotis dan hipnoterapi, saya juga begitu rajin menjelajahi poral NLP di internet, rajin mendownload berbagai uraian yang berhubungan dengan hypnosis, dan meskipun agak  malas terpaksa membeli buku  yang didalamnya menguraikan  hipnotis dengan segala macam pernak-perniknya.
“Buat apa membaca bukunya kalau nggak ikut praktik?” Membaca buku saja tak berarti apa-apa kalau tidak ikut pelatihan” kata-kata itulah yang sering diungkapkan kan oleh Asep pada saat saat saya berkomunkisi denganya. Kalaupun saya bertanya banyak hal jawabanya singkat saja “ikut saja pelatihannya”.  Saya ini kan cuma pegawai yang gajinya  gak cukup memadai untuk ikut pelatihan?  Jawabnnya tetap saja pendek “ikut saja pelatihannya”.
Benar, saya berasumsi bahwa pengetahuan sepraktis dan semudah apapun yang beruhubungan dengan hypnoterapi tidak berarti bila tidak ikut pelatihan. Bagaimana seorang dikatakan pendekar kalau selamanya tapa di atas gunung  dan tidak pernah ikut bertarung dengan pendekar lainnya nuntuk menguji sejauh mana kemahiran jurusnya?
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa  dan didorong oleh keinginan yang luhur (koq jadi  mirip alinea ketiga Pembukaan UUD 45 ya?) serta atas provokasi Kang Asep Haerul Gani, saya berksempatan mengkuti pelatihan selama dua hari di Bandung (meski ada bolongnya karena terganggu kegiatan saya yang lain). Selama dua hari itu, pemahaman saya tentang hypnoterapi lebih terbuka dari sebelumnya. Lewat berbagai bentuk latihan Asep menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan hypnoterapi, berbagai metode latihan tersebut memunculkan wawasan dan pemahaman baru tentang tubuh, kecerdasan tubuh, memberdayakan diri, dan berbagai hal lain yang tidak saya jumpai sebelumnya termasuk dalam buku sekalipun.
Hal yang penting dari hypnoterapi adalah melakukan praktik. Beruntunglah saya sebagai guru karena banyak memiliki murid. Sebagian metode yang pernah  diajarkan saya coba praktikkan pada puluhan murid saya. (Nak maafkan Bapak karena telah menjadikan kalian kelinci percobaan…!). Hasilnya, sungguh luar biasa, saya punya pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya, dan saya merasakan kegembraan serta “keberdayaan diri ” yang tidak saya rasakan sebelumnya,  terlebih karena respon dari teman-teman pun demikian bagusnya termasuk dari kepala sekolah yang berkali-kali mengakatan “bagus” dan “nuhun Pak Iwan” dan telah memprogramkan kegiatan yang saya lakukan itu pada anak-anak dalam persiapan menghadapi ujian nasional pekan depan.
Tidak hanya itu, seorang teman dengan keikhlasan yang penuh berharap pada saya untuk membantu memecahkan masalah yang dia alami. Dengan keberanian yang penuh pula  sambil “nyambat” guru saya Asep Haerul Gani, saya mencoba melakukan terapi. Alhamdulah dia berhasil mengalam trance, ia mengalami peristiwa yang sangat luar biasa, tanganya terasa berat dan kaku padahal ia ingin sekali merangkul ibunya yang dihadirkan dalam imajinasinya. Ada gurat-gurat kelegaan di dalam wajahnya yang sangat berbeda saat ia belum mengalami terapi, dengan berapi-api ia ceritakan pengalaman itu kepada rekan yang lain.
Banyak hal yang sesungguhnya ingin saya paparkan dalam catatan ini.  Namun sengaja tidak saya paparkan di sini sebab yakin teman-teman yang lain memiliki pengalam an yang lebih spketuakuler dan lebih dahsyat dari pengalaman saya .
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya sebenarnya ingin berkata “ Berhati-hatilah dengan hypnoterapi”  mengapa? Karena kita akan mengalami hal-hal yang terduga dan sangat luar biasa.

Memahami Fenomena Kesurupan pada Siswa



Oleh Iwan Apriyana

Kesurupan menurut pandangan tradisional adalah peristiwa  masuknya satu kekuatan ke dalam tubuh seseorang yang kemudian menjelma menjadi tokoh lain di luar diri seseorang tersebut.  Sebagian masyarakat menganggap kesurupan sebagai fenomena mistik yang luar bisaa dan aneh. Kesurupan sering  dihubungkan dengan keadaan jiwa  seseorang yang berada dalam situasi “kosong”. Di Bali, kesurupan dimaknai sebagai sinyal dari  kekuatan roh dan leluhur  yang sedang menunjukkan kuasanya atas situasi yang terjadi.  
Respon terhadap kesurupan  terbelah menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Ada yang memandang kesururpuan sebagai fenomena mistik, dan supranatural, seperti pandangan tradisional tadi, ada juga pandangan yang menganggapnya sebagai fenomena psikologis. Akibat dari kedua pandangan tersebut, penatalaksanaan  terhadap kesurupan pun menjadi berbeda pula.
Karena  kesurupan merupakan fenomena mistik, pandangan tradisonal melakukan penyembuhan dengan menggunakan kekuatan supranatural seperti doa-doa; dan mantra ; yang dilakukan oleh tokoh yang memiliki mekuatan supranatural pula, seperti pawang, dukun  ustad dan sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut diyakini memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh yang “nyurup”;  sehingga dapat  mengembalikan kekuatan  yang “nyurup”  tadi ke luar dari diri seseorang untuk kembali ke habitat asalnya.
Dalam khazanah kesenian tradisional, fenomena kesurupan memang sengaja dipelihara, untuk menunjukkan keunikan yang dimiliki seni tradional tersebut. Seperti tampak pada kesenian kuda lumping.  Para pemain kuda lumping diyakini telah dimasuki roah gaib sehingga membuatnya mampu melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh akal sehat. Seperti memakan beling, rumput dan sebagainya .
Namun, entah karena jenuh tinggal di alam lain, atau mungkin ingin mencoba pengalaman baru,  para roh dan mahluk dari dunia lain yang bisanya hadir nyurup ke dalam pemain kuda lumping, kini rajin pula  bersemayam dan nyurup pada pelajar sekolah kita . Dunia pendidikan pun menjadi sangat sibuk dan heboh dengan adanya fenemona kesurupan yang melanda para siswa tersebut . Kejadian tersebut tak urung  memunculkn spekulasi  adanya ketidakyamanan para roh atau mahluk lain yang “ngageugeuh” di sekitar sekolah tersebut. Untuk itu ada juga sekolah yang mengadakan ritual-ritual tertentu sebagai bentuk kompromi dengan para roh supaya tidak berulah dan menyambangi para siswa.
Benarkah  fenomena kesurupan  itu sebagai fenomena mistik sebagai akibat dari masuknya satu entitas ke dalam tubuh badan seseorang ? Asep Haerul Gani,  seorang psikolog yang juga trainer pada pelatihan Ericksonan Hiynoterapy dengan tegas menyangkalnya. Menurutnya, kesurupan yang  dialami para siswa adalah gejala psikologis, dan tidak memiliki relasi atau disebabkan oleh adanya fenomena mistik, yakni jin yang masuk ke dalam diri siswa. Berkaitan dengan maraknya gejala kesurupan yang melanda para siswa sekolah, Asep menengarai adanya faktor pemicunya. Pertama gajala kesurupan muncul saat menjelang Ujian Sekolah dan UN (Ujian Nasional), kedua kesurupan terjadi dibeberaa seolah tertentu yang menerapkan sistem belajar full day.
Menurut Asep, kesurupan dipicu oleh adanya stress yang melanda siswa. Stres yang dialami para siswa mengalami titik didih  akibat orang tua yang atau pihak lain seakan-akan tidak peduli pada keaadan siswa. Pada saat tertentu, stress yang mengalami titik didih itu meledak dalam bentuk kesurupan. Kesurupan yang dialami para siswa  bersifat massal, karena sugesti yang ditimbulkannya. Pada saat kesurupan siswa menunjukkan gejala perubahan pisik, seperti terdengar auman, cakaran, teriakan, kejang pada kaki dan tangan, bola mata membelakak.  Dalam kondisi seperti itu, seolah-olah siswa  menjelama menjadi mahluk lain dari dunia lain.
Berkaitan dengan adanya tokoh lain, seperti “mahluk gaib” yang menjelma pada diri seorang pelajar, Asep menjelaskannya dengan menggunakan pendekatan psikologi  budaya. Menurutnya, ketika tidak ada orang yang perduli dengan dirinya  , maka siswa yang mengalami kesurupan  mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh lain yang pernah hidup dalam pandangan masyarakat disuatu daerah yang  memiliki pengaruh dan kekuatan.  Hal itu dilakukan untuk memberi tekanan pada orang lain agar memperhatikan dirinya. Lalu, bagaimana para siswa mengenal dan menhadirkan tokoh itu? Menurut Asep  kehadiran tokoh itu sendiri mungkin dikenalnya melalui cerita-cerita yang pernah di rekam di alam bawah sadarnya.
Dengan menggunakan logika seperti ini, kita dapat melihat hal ini pada perilaku seorang anak yang sangat mencintai tokoh tertentu, seperti sipderman, batman dan tokoh-tokoh lain yang menjadi idolanya. Dan pada saat-saat tertentu sang anak pun menunjukkan tingkah laku, dan katakter tokoh yang menjadi idolanya. Itulah saat dimana seorang anak sedang mengalami “kesurupan” dan orang dewasa menganggapnya sebagai hal yang lumrah.
Dalam hal penanganan terhahap kesurupan, seperti yang pernah dilakukannya, Asep Haerul Gani, menggunakan dua macam teknik , yakni dengan teknik mengikuti polanya, memotong polanya.
Cara pertama dlakukan denban mengajak berdialog dengan seseorang.  dalam stuasi seperti ini ,orang yang akan menyembuhkan dituntut untuk  memahami alur pikiran orang yang kesurupan. Dalam kasus ini Asep mencontohkan saat ia menangani seseorang yang kerurupan dengan mengaku  dirinya sebagai “macan” dari hutan tertentu. Maka saat itu Asep mengajak dialog “sang macan” setelah dialog itu “nyambung” Asep meminta  agar macan itu tidur beberapa menit, dan benar saja macan itu mengikuti perintahnya dan tertidur, saat bangun orang yang  kerusupan sudah sadar kembali.
Cara yang kedua dengan menggunkan  teknik memotong polanya. Untuk kasus ini Asep memiliki pengalaman saat menyembuhkan orang yang mengaku sebagai jin dari wilayah tertentu. Saat berdalog dengan jin itulah Asep mengancamnya akan membakar jin tersebut, entah karena takut dengan ancanamn tersebut , sesaat kemudian orang yang keurupan itu sadar.
Berkaitan dengan pandangan bahwa kesurupan  terjadi karena ada jin yang masuk ke dalam diri seseorang, Asep memiliki pemahaman  bahwa jin yang dimaksud adalah jin yang berasal dari bahasa Arab “jinna” yang artinya “tersembunyi” ; bukan dalam pengertian jin sebagai mahluk gaib atau mahluk halus.
Mengingat fenomena kesurupan bukanlah fennomena mistik, tetapi merupakan gejala psikolgis, maka sudah sewajarnya jika pihak sekolah dan orang tua memahami kondisi kejiwaan para siswanya, terutama menjekang kegiatan Ujian Nasional , dimana kondisi kejiwaan siswa berada dalam tekanan yang hebat. Untuk itu diperlukan suasana yang nyaman dan kondusif . Untuk mencegah terjadinya kesurupan pada siswa guru perlu memiliki “mantra-mantra” berupa kata-kata atau pernyataan menyejukkan yang bisa menjelmakan suasana yang nyaman dan tenang. Bukan dengan  pernyataan dan kata-kata  yang malah bisa memicu tekanan itu lebih berat lagi sehingga menjadi pemantik bagi diri siswa untuk terjadinya kesurupan.


                                                                                                                                                    Penulis,
                                                                                                                  Peminat Erikcsonian Hyponterapy
                                                                                                                  Guru SMPN 1 Nagreg Kab. Bandung


  (Iwan Apriyana, SMPN 1 Nagreg Kab. Bandung, Jl Raya Nagreg 776, 081573138069/022 7950794, iwanapriyana@yahoo.co.ic)

Mengembangkan Imajinasi Siswa



Oleh Iwan A.Priyana

Manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas. Akan tetapi manusia punya peluang  untuk menjelajah ke angkasa luar, atau ke tempat yang jauh sekalipun. Bahkan,   juga   berkelana atau menuju hari esok yang diimpikannya. Manusia juga bisa membayangkan apapun yang diinginkannya yang boleh jadi mustahil  dilakukan dalam keadaan nyata. Semua itu dimungkinkan karena manusia memiliki kesanggupan berimajinasi. Imajinasi menurut  aliran psikologi behavioristik, merupakan satu dari empat anugerah yang dimiliki manusia, disamping Self Awareness (kesadaran diri), Conscience (hati nurani), Independent Will (kebebasan kehendak)  .
Einstein menyebut bahwa imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan. Namun, sayangnya kegiatan berimajinasi belum memiliki tempat yang semestinya, termasuk dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini berkaitan dengan persepsi umum bahwa imajinasi erat kaitannya dengan menghayal. Dan menghayal adalah pekerjaan yang sia-sia.Padahal kegiatan berimajinasi dalam pendidikan memiliki manfaat yang luar biasa, sebab dengan berimajinasi dapat mendorong siswa lebih kreatif.
Terkadang Persepsi yang keliru, sering kali membuat kegiatan berimajinasi menjadi terhambat. Hal ini dijumpai  misalnya pada kegiatan menggambar dan kegiatan mengarang pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Untuk mengeksploitasi kemampuan imajinasi kreatif para siswa, langkah-langkah berikut dapat digunakan untuk membantu mengembangkan kemampuan berimajinasi .
1. Berikan Stimulus Yang menantang. Otak manusia sebenarnya akan mudah bekerja apabila diberi tantangan. Imajinasi berkaitan dengan kerja otak. “Tuliskan pengalaman mu saat bajir” , boleh jadi kurang menarik, karena mungkin pengalaman itu adalah pengalaman yang menyebalkan. Jangankan menceritakaanya, bahkan untuk mengingatnya pun siswa  tidak suka. Ada pengalaman pengalaman hidup yang tidak menyenangkan yang membuat siswa menjadi tertutup. Respon siswa akan berbeda misalnya bila diminta menjadi  seorang pejabat, baik presiden , mentri  ,gubernur maupun  bupati yang dihadapkan pada persoalan banjir . Tentu akan sangat menarik bagaimana siswa memiliki solusi mengatasi bajir dengan berpedoman pada  imajinasinya.
Dalam menggambar, anak lebih senang memilih sendiri objek yang menarik perhatiannya, bukan yang menarik perhatian guru. Tak ada salahnya guru menantang siswa untuk menggambar objek yang luar biasa, misalnya robot berkepala hewan, tabarakan kapal di udara, perahu bersayap dan sebagainya. Ini tentu lebih menantang daripada  diminta  menggambar pemandangan alam, atau objek tertentu yang sudah dispersiapkan guru.
2. Hindari Pembatasan. Imajinasi akan mudah berkembang bila tidak ada hambatan berupa pembatasan-pembatasan berdasarkan ukuran orang dewasa. Misalnya, siswa dalam menggambar gunung, langit, sawah, siswa harus menyesuikan diri dengan keadaan aslinya. Seakan-akan warna itu sudah baku dan menjadi ketentuan yang tidak boleh di ubah karena guru berpikir tidak ada laut berwarna coklat, atau gunung berwarna pink. Dengan berimajinasi,siswa  bisa bereksperimen dengan warna yang dipilih, dan ini tentu akan melahirkan warna-warna yang diluar dugaan tapi sangat positif.
Demikian juga halnya dalam pembelajaran mengarang. Terkadang sederet aturan , seperti jumlah paragraph, kerangka karangan, dan aturan kebahasaan membuat siswa merasa  terikat. Tentu saja, aturan tersebut tetap harus diperhatikan, namun itu akan di lakukan setelah proses mengarang selesai. Aturan-aturan dan pembatasan yang terlalu dini menimbulkan ketakutan dan rasa bersalah apabila melanggarnya. Situasi tersebut tentu tidak mendukung upaya untuk mengembangkan imajinasi. (Penulis guru SMP N1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung)

Tanjakan cinta (1)


Tanjakan cinta (1)

Hiji lalaki badag sembada
Ngaboseh lebah tanjakan
Ngaboncengkeun kabogohna
Luut leet kesang
“Cape ? Kang?”
“Neng, demi cinta ka Eneng, cape ge aya ubarna”
Lima taun ti harita
Hiji lalaki badah sembada
Ngaboseh lebah tanjakan eta keneh
Ngaboncengkeun pamajikanana
“Cape , Kang?”
“Geus nyaho cape kalah nanya, mun turun atuh !”

Tanjakan Cinta (2)

Hiji lalaki ngagendeng kabogohna
Lebah  tanjakan
“Cape Kang “
‘” sanaos kedah ngagandong, rido kabina-bina”
Hiji lalaki lima taun ti harita
Patutur-tutur jeung pamajikanana
“Cape kang, hayang di akod”
“Na mani ogoan teuing, paksakeun da tereh tepi !”

Man tarokkaa….



Mangsa keur budak  , imah kuring teh deukeut ka masjid. Bada magrib nepi ka waktu isya kuring  ngaji di masjid eta. Nu ngawurukna, ajengan ,sok di sebut si Abah. Umurna mah kuring leuwih tujuh puluh taunan. Pangawakanana  pendek dedepe, sorana ngosom semu handaruan. Kana udud nyandu kacida, da sabot ngawuruk teh teu eureun-eureun roko napel dina bahamna. Mun keur ngawuruk teu weleh ngenyod udud  atawa ngetrukeun calacah kana asbak nu aya hareupeunana.
Pun bapa   mah ajrih temenan ka  Abah teh. Elmuna luhung cenah. Da sa kacamatan mah moal aya nu ngabandingan kana elmu agamana, utamana kana tafsir. Di masjid eta, abah bisa di sebut “imam besar na”. Kabeneran we da bumina ngarendeng jeung masigit, malah rek sasuhunan pisan. Jadi munasabah mun aya wae di masjid teh. Saban waktu anjeuna ngimaman di eta masjid. Sakapeung mun keur kebeneran aya halangan , pun bapa nu sok kapeto ngimaman teh, nu sejen mah tara aya nu wanieu n lantaran mun kurang paseh  bacaan solat  sok digengeunggeureuhkeun.
Kuring jeung babaturan ngaji di wuruk ku Abah teh utamana dina ngaderes juz ama, jeung diajar tajwid. Carana, maca saayat, tuluy   eta ayat teh diterangkeun tajwidnya. Nu kitu teh ngran a praktikum, ceuk istilah Abah mah. Cindekna ngalarapkeun tajwid langsung tina quran, bari di lagukeun. Metode nerangkeun tajwidna ge kawilang simpel. Contona, mun nerangkeun hurup qolkolah teh cukup disebut “baju di toko” anu hartina huruf kolkolah teh nya eta “ba” “jim” “tha” jeung “qof”. Ku cara kitu, gancang kahartina. Di sagedengeun tajiwid ge kungsi ngilu  ngulik nahwu shorof, ngan eta mah rada beurat, kakara apal  teh ngan istilah  fi’il madhi, fi’il amr,  jeung fiil mudore. Teu junun ngaji teh, loba gogoda na, jeung nu poko mah hoream we deuih. Jeung deuih   mun keur ngaji sok loba nu nyampeur lalajo bioskop misbar.
Nyelang tina ngawuruk ti Abah sok ngajarkeun lalaguan atawa pupujian. Salah sahiji pupujian teh kieu unina “Man taroka sholatan khomsi , abdan muta’amilah, faja uhum, fajaja uhum, jahaman kholidan piha” tuluy we di tarjamahkeun “Saha jalma nu ninggalkeun sholat, lima waktu bari dihaja, mangka di bales, mangka di bales, dilanggengkeun di naraka jahanam”. Asa genaheun tah pupujian teh. Beres ngaji teh sok ngahaja eta pupujian teh di haleuangkeun patarik-tarik, malah sakapeung sok bari rerengkenekan, ku Abah tara di geunggeureihkeun, ngan mun geus kamalinaan sok di sentak.
Bakat ku mindeng mah dinyanyikeun eta pupujian teh geus apal deui. Malah basa kuring geus nincak dewasa eta pupujian teh sok di hariringkeun keneh. Ngan ayeuna mah tara di barung ku rerengkenekan, komo palebah  kalimah nu panungtung mah “mangka di bales, dilangengkeun di naraka jahanam” mah sok ngadadak hate teh ngaleketey malah kadituna mah sok rada ngahuleng , kalan-kalan sok teu karasa bedah cimata. Mun emut kana eta pupujian, ras  oge emut ka Abah nu tos lami ngantunkeun . Kadieunakeun , saban talangke ari jeung hoream solat teh, raray Abah nu keur ngagalindengkeun “ man tarokka..” sok eces nembongan.


Belajar Etika ke negeri Para Dewa



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang di ajenan, kudu ngadaban ka batur

Sejujurnya, masyarakat sebenarnya sudah enggan mengkritik keinerja anggota DPR. Sebab seperti pepatah mengatakan anjing menggonggong kafilah berlalu. Mereka benar-benar sebagai kafilah yang dicocok telinganya rapat-rapat , sehingga jangankan anjing kampung  bahkan gongongan anjing herder, maupun Doberman  , tidak mengubah perilaku mereka yang sudah cukup terkenal , yakni cuek bebek. Serbuan kiritk yang ditujukan kepada DPR pun tampaknya tidak mengubah apapun. Dari mulai soal kehadiran dalam rapat yang memprihatinkan, pengajuan dana aspirasi alias gentong babi, rencana pembangunan gedung baru, rencan renovasi rumah dinas, dan yang sekarang heboh  diberitakan adalah kegiatan  studi banding Ke Yunani, negara yang dijuluki  “negeri para dewa”.
Studi Banding BK (Badan Kehormatan) DPR ke Yunani dengan agenda utamanya ingin mempelajari “etika” benar-benar memancing reaksi keras berbagai pihak. Studi Banding yang konon menghabiskan dana 2  milyar tesebut mengundang  kecaman yang luar biasa. Sebab, publik tentu mempertanyakan urgensi  studi banding terebut  dengan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, lagi- lagi anggota DPR terebut  tetap pada pendiriannya. Anggoat BK tersebut tetap berangkat saja ke Yunani.
Dalam  wawancara di sebuah televise swasta, Nudirman Munir, salah seorang anggota BK yang akan berangkat tersebut dengan sangat PD (percaya diri)  menjelaskan bahwa  tujuan mereka ke sana adalah untuk memperlajari bagaimana etika parlemen di sana. Dari mulai soal bagaimana mereka itu tertib bersidang sehingga tidak jotos-jotosan, sampai dengan etika dalam menyampaikan interupsi dan soal bagaimana anggota parlemen di sana berpakaian ,merokok dsb. Dalam kesempatan itu, Tipta Lesmana, seorang pengamat politik dengan tegas membebebarkan bagaimana kasus-kasus studi banding sebelumnya yang tidak menghasilkan apa-apa. Juga pada kesempatan itu Tjipta Lesamana mengingatkan kembali akan hutan luar negeri kita yang sudah demikian membengkak. Sehingga para anggota DRP perlu melakukan penghematan uang Negara.
Pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, mengapa untuk memperlajari etika harus jauh-jauh ke Yunani?  Padahal sebenarnya  bangsa kita adalah bangsa yang terkenal sangat menjunjung tinggi etika. Dari sejak kecil, dalam lingkungan keluarga, pendidikan tentang etika sudah ditanamkan dengan sungguh-sungguh. Misalnya bagaimana berbicara dengan orang lain, terutama dengan yang lebih tua, bagaimana tata cara dalam hubungan dengan tetangga dan orang lain, juga tatacara dan etika dalam sebuah kelompok sehingga tidak menimbulkan persengketaan. Dalam kehidupan bermasyarakat sudah dikenal dengan etika yang tidak tertulis yang wajib ditaati oleh warga masyarakat. Bagi siapapun yang melanggar etika tersebut akan mendapat sangsi social. Hal ini sudah dijalankan oleh nenek moyang kita dan selalu ditanamkan kepada generasi penerus, termasuk juga anggota DPR tentunya.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda, dikenal sebuah paparikan atau sisindiran “ meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang diajenan, kudu ngadaban ka batur “ (Membeli  ayam  harga setalen, diberi makan bekatul, siapa yang  ingin di hargai orang lain  hendaknya bertingkah laku baik pada orang lain). Paparikan di atas menggambarkan betapa pentingnya menjaga etika dan tatakrama untuk saling menghormati dan saling menghargai dengan orang lain.  Kalau saja, pesan yang ada dalam paparikan tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, nisacaya akan terjadi harmoni dalam kehidupan masyarakat , sebab hubungan antara sesama warga masyarakat dilandasi perasaan saling menghargai dan menhormati.
Berbagai kekerasan yang terjadi baik di jalanan, maupun di gedung DPR sesunguhnya karena perasaan untuk saling menghargai dan menghormati peran dan fungsi masing-masing sudah tergusur dalam alam pikiran serta ruang batin sebagian bangsa kita. Yang mencuat  ke permukaan dewasa ini adalah egoisime kelompok maupun arogansi sektoral,  yang ujung-ujungnya sering melahirkan konflik dengan nuansa kekerasan.
 Jika dikaji  lebih dalam, sesungguhnya bangsa kita ini bangsa yang kaya dengan nilai-nilai warisan budaya yang dapat dikaji dan ditelaah lebih lanjut untuk  menghasilan rumusan tentang etika yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, juga termasuk dalam siding parelemen. Sayang, kita mungkin punya kebiasaan melihat rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput di halaman kita sendiri. Kita tidak mau bersusah payah menggali kekayaan bangsa sendiri, senang yang serba instan dan tak banyak menguras tenaga.  Apakah kalau sudah studi banding ke Yunani itu mereka menjadi lebih santun dan tidak ada lagi jotos-jotosan? Tak ada yang bisa memberikan jaminan. (Penulis Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg, Pengelola Bapinger)

PHOBIA SEKOLAH



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Sekolah berasal dari “skul” artinya tempat yang menyenangkan. Akan tetapi, di sekolah seorang siswa sering  merasa tertekan karena disiplin sekolah yang sangat ketat, pemberian tugas (PR) oleh guru  yang menyiksa,  belajar yang membosankan karena cara mengajar guru yang tidak menarik, belum lagi siksaan duduk berjam-jam saat guru “menjelaskan” materi pelajaran. Penambahan pelajaran tambahan yang dipaksakan. Sikap bapak ibu guru yang “killer”. Ditambah berbagai aturan lain yang  harus ditaati, serta berbagai sangsi yang menyakitkan.Walhasil, sekolah dengan kondisi seperti   itu bukan menjadi tempat yang menyenangkan, tapi malah menyiksa.
Jika orang tua melihat anaknya tidak bergairah untuk sekolah, sering bolos, menghindari sekolah dengan alasan sakit atau alasan kepura-puraan, jangan buru-buru memvonis anak dengan kata “malas”, kurang motivasi, manja dsb. Siapa tahu kondisi tersebut lebih disebabkan oleh situasi sekolah yang menyiksa tersebut. Tidak selamanya problem belajar  siswa tersebut  dipicu  fakor intrinsik, yakni kondisi di dalam diri si anak, namun bisa juga berumber dari lingkungan belajar siswa sendiri. Faktor lingkungan belajar yang tidak menyenangkan itu dapat menimbulkan phobia sekolah. Inilah kondisi yang tidak diharapkan oleh semua orang tua. Phobia sekolah merupakan gejala ketakutan seorang siswa pada apapun yang  berhubungan dengan sekolah.
Kasus phobia sekolah  dilaporkan pernah terjadi di Jepang. Sekitar lima ratus siswa sekolah dasar merasa takut bila melihat guru dan lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena tuntuan yang tinggi pada setiap siswa di sekolah tersebut sehingga menimbulkan tekanan psikologis bagi siswa. Di Indonesia kasus tersebut belum ditemukan. Akan tetapi, gejala phobia sekolah sudah muncul.  Kasus ini dapat dilihat banyaknya siswa yang bolos saat jam pelajaran,  tidak memiliki gairah untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sekolah, sering mogok sekolah, mencari alas an untuk tidak sekolah, malas mengerjakan PR, bahkan kadang-kadang membenci pada guru,serta  mencurat-coret sekolah. Perlu pula dicermati, mengapa banyak siswa  yang terpaksa DO. Tentu ini bukan semata-mata karena alasan ekonomi, sebab pemeritah telah membebaskan biaya pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah.
Pendidikan merupakan barometer kemajuan bangsa. Melalui sekolah dicetak manusia yang memiliki sumber daya yang unggul untuk siap berkompetensi dalam kancah persaingan. Bagaimana cita-cita luhur itu terwujud apabila sekolah “dimusuhi”. Bagaimana nasib Wajar Dikdas sembilan tahun  mencapai sasaran, apabila sebagian siswa mengalami phobia sekolah. Bagaimana siswa bisa belajar dengan nyaman bila sekolah dianggap sebagai tempat yang menakutkan.
Menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang  yaman. Tidak hanya lingkungan fisik semata, tetapi suasana kondusif di mana siswa merasa dia berada di tempat yang disukainya. Perlu diciptakan suasana komunikasi yang hangat antara siswa dan guru, sehingga siswa menganggap guru tidak hanya seb agai orang tua, tetapi juga sekaligus sahabat.
Di pihak lain, orang tua juga perlu memperhatikan siswanya di rumah, peka terhadap keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh siswa, serta mau menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua tidak langsung menyalahkan pihak sekolah bila ada hal yang menurutnya tidak sesuai, juga tidak bisa men”stigma”  siswa , sehingga menyebabkan siswa semakin tertekan. Orang tua bisa berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk memecahkan berbagai masalah yang berhubungan dengan kemajuan siswanya di sekolah. Bila perlu, orang tua  mendapat informasi apapun yang berhubungan dengan aktivitas sekolah, sehingga  terjadi saling pengertian.
Ujung tombak pendidikan adalah guru. Di sinilah pentingnya guru mampu menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menarik dan menantang. Di samping harus menciptakan metode pembelajaran yang bervariasi dan menarik, sedapat mungkin juga guru menghindari tugas-tugas yang bisa memberikan beban bagi siswa, seperti memberi  PR yang memberatkan, memberikan tugas tambahan yang menyulitkan. Kalaupun harus member tugas dipilih tugas yang menantang kreativitas siswa.


Iwan Ardhie Prieyana, Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung

Memaafkan itu Mengobati



Oleh Iwan Ardhir Prieyana
(Galamedia, 30 September 2010)

Memaafkan kita pahami sebagai perkara yang mudah. Kita cukup mengatakan “Aku minta maaf kepadamu atas kesalahanku”. Ucapan itu merupakan wujud dari upaya kita untuk menghapuskan perasaan tertentu akibat rasa salah yang ada dalam diri kita. Sebagaimana sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, terlebih lebih pada saat Idul Fitri mislanya. Dalam kasus lain, cara kita memaafkan adalah dengan “melupakan” suatu peristiwa dan berusaha menghapus emosi kita yang menyertai rasa marah pada seseorang. Masalahnya, benarkah tindakan kita berupa mengatakan maaf dan melupakan berbagai peristiswa itu kita telah memaafkan dalam arti yang seungguhnya; sehingga kita benar-benar terbebas dari perasaan dendam, marah,,kesal serta beban emosi negative lainnya?
Melalui buku “forgiveness therapy, maafkanlah niscaya dadamu lapang” yang ditulis Asep Haerul Gani,-seorang psikolog dan pengelola Pondok Pesantren Hypnoterapy Ciputat- ini pembaca akan memperoleh pemahaman yang benar tentang proses dan aktifitas memaafkan sehingga menghindari proses memaafkan palsu ,seperti kasus yang di paparkan pada awal tulisan ini. Penulis menunjukkan beberapa persepsi tentang memaafkan yang selama ini tidak tepat, seperti memaafkan berarti, memaklumi, melupakan, pembenaran, menenangkan, memaafkan palsu, memafaakan tidak sama dengan mengadili, memaafkan selalu tidak harus diiringi dengan perdamaian. Penulis tidak hanya mengupas masalah memaafkan  dari sisi psikologis saja, namun pembaca di ajak untuk merenungi berbagai konsep yang dipaparkan. Misalnya, pada kegiatan memaafkan yang kita lakukan dalam kegiatan ideul fitri, halal bi halal, dan seremoni  lainnya, kita di ajak merenungkan kembali aktivitas tersebut lewat pertanyaan : Apakah saat orang yang menjabat tangan Anda-kebetulan sebagai tokoh yang masuk ke dalam daftar yang melukai kehormatan Anda mengatakan “Mohon maaf”-Anda menyimpulkan dari keras lunaknya suara, nada bicara, tempo bicara, dan mimic mukanya sebagai TULUS atau hanya basa-basi mengikuti tradisi belaka? Apakah Anda kemudian merasa sesak, marah, kecewa, kesal dan dendam Anda terlepas dan sirna saat mendengar ia mengakatakan “Mohon Maaf?” (hal. 41)
Melalui buku ini pembaca tidak hanya beroleh pengetahuan memaafkan  dalam kacamata psikologis, namun juga diajak untuk menikmati pengalaman klien yang berkonsultasi dengan penulis buku ini , seputar proses pemaafan,. Juga, praktek memaafkan yang sangat sederhana dan agak “aneh” seperti membuang rasa kesal melalui proses BAB (buang air besar )  dan mandi.  juga pembaca disuguhi dengan kisah pemaafan yang mengugah dan memotivasi. Misalnya kisah Mang Adrahi jeger kampung musuh Ajengan Subhi yang meninggal , namun dengan konsep meaafkannya, Ajengan Subhi dan para santrinya mengrusu prsoes pemakaman musuhnya itu dengan alasan Mang Adrahi adalah tokoh jujur yang menunjukkan kepada ajengan beberapa kelemahan dan kritik yang membuat ajengan belajar banyak hal.
Buku ini menunjukkan bagaimana tehnik memaafkan dan membuang energi negatif yang ada dalam diri kita. Sehingga diharapkan pembaca –melalui petunjuk terapinya- merasa lebih nyaman lepas dari berbagai ganjalan perasaan yang mengganggu . Sesuai dengan judulnya, memaafkan  merupakan kegiatan terapi. Penelitian menjukkan bahwa orang yang memaafkan menunjukkan gejala tekanan darah lebih normal, penurunan stress, kemarahan mereda, mengurasi rasa nyeri di punggung yang akut dsb.Buku iniditulis denan bahsa yang sederhana dan dengan gaya populer sehingga tidak membosankan. Meskipun ada beberapa bagian konsep memaafkan yang merujuk pada pendapat pakar asing yang membutuhkan kesabaran untuk memahaminya, namun hal tersebut tidak menganggu isi buku dan manfaat yang berserakan di dalamnya. Sehingga buku yang kecil tapi cukup menggugah ini pantas di baca oleh siapa saja yang ingin memperoleh pencerahan dan pemahaman baru mengenai proses memaafkan. 

Text widget

About

Selasa, 05 Juni 2012

Sebotol wiski


Sebotol wiskiSebotol wiski di tepi zaman
Direguk dalam gairah nyanyian
Bulan hanya serpihan kaca
Memantul dalam gairah dukaSebotol wiski di tepi zaman
Direguk dalam gairah tarian
Saat bulan menghiba ratapi malamnya sia-sia
Menyaksikan Tuhan diusung dalam keranda

Semuanya berawal dari pikiran



Semuanya berawal dari pikiran. Doa yang kita panjatkan kehadirat Tuhan  berawal dari apa yang kita pikirkan. Jadi, pikiran juga doa. Pikiran juga yang akan membawa Anda  saat ini apakah Anda berangkat ke sekolah atau ke kantor dengan langkah kaki yang ringan mantap atau melangkah dengan langkah yang gontai yang berat? Jawabannya bergantung apa yang ada dalam pikiran kita.

Seorang sahabat yang punya hobi memancing, selalu beraharap akan
segera datang hari Sabtu. Karena setiap hari Sabtu itu ia akan pergi bersama
teman-temannya memancing. Belum juga hari Sabtu tiba, dan belum juga ia berada
di pinggir kolam. Tetapi pikiran dan bayangan suasana memancing membuatnya
ba. Sejak dari rumah pun kegembiraan itu mulai terasa. Bersiull sambil menyiap
begitu bergairah. Semangatnya tampak begitu menyala. Bahkan bila saatnya t
ikan perlengkapan memancing, kadang-kadang juga sambil bernyanyi nyanyi kecil. Di
saat ikan menggelepar saat kail di tarik.
benaknya terbayang bagamana nikmatnya saat ikan memagut kailnya. Bagaimana puasny
a

Pada saat itu, sama sekali tak terbayang kesulitan yang dihadapi,
misalnya bagaimana jika hujan , atau kendaraannya mogok di tengah jalan, tali
kailnya putus. Hal-hal itu sama sekali tidak masuk ke dalam pikirannya. Meski
sebenarnya dalam kenyataan  itu terjadi
.

Seorang sahabat, mengeluh karena ia mulai merasakan bosan dan
malas saat akan berangat mengajar. Ia mengeluh karena merasa usianya sudah tua
dan beberapa saat lagi pensiun. Keluhan yang sama juga dirasakan seorang
yang menyebabkan perasaan malas itu menghinaggapinya?
sahabat, padahal usianya jauh lebih muda di bawahnya. Saat dtelisik, apa

Rasa malas  situ ternyata berasal dari pikirannya, bukan dari
perasaannya. Saat ia akan berangkat, ia selalu terpikir kelakuan siswanya yang
nakal, sulit di atur, tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan. Belum lagi ia
kurang begitu suka dengan sikap kepala sekolahnya yang sangat disiplin, selalu
jakan sekolah yang sering berubah dan berganti yang memberikan beban tamba
mengorek kesalahannya, cerewet dan sebagainya. Juga berbagai instruksi dan keb
ihan baginya.

Benarkan siswanya nakal? Ya memang, tetapi dari puluhan siswanya
satu kelas , hanya satu dua saja yang ulahnya berlebihan. Ia lupa ada puluhan
murid lain yang selalu memperhatikan saat ia mengajar. Anak-anak tidak mau
sinya kurang jelas. Tentang sikap kepala sekolahnya yang seperti it
mengerjakan tugas, itu bukan sifat mereka. Itu  karena perintah dan instru
ku, ia lupa di sekolah tempatnya mengajar kan tidak hanya ada seorang kepala sekolah,
atnya itu ada juga yang senasib dengannya.
juga ada teman guru yang lain yang masih mau menjadi sahabatnya, bahkan diantara saha
b

Rasa malas  sang sahabat sebenarnya bersumber dari apa yang
dia pikirkan. Semuanya seakan-akan menjadi sulit dan berat. Demikianlah ia
mulai hari dengan memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan.

Kalau saja kita mau mengubah pikiran kita, mungkin semuanya menjadi
lain. Saat kita akan pergi mengajar. Saat itulah sebenarnya kita berpikir dan
merasakan “suasana” kegembiraan dan kesenangan memancing, bayangkan tentang
irkan “yang senang-senang saja”. Mulai saat ini, mengapa pikiran  kita b
ikan yang menggelepar saat kalil kita dipagut ikan. Pendeknya, mari kita pi
kiarkan hanyut dengan menderita dengan bayangan negative yang kita buat sendiri?  Kitalah sebenarya “pemilik” isi pikiran kita, mau jadi
menyenangkan atau mau jadi menjengkelkan semuanya atas kuasa kita. Kita tinggal memilihnya. Selamat memilih
.

Jika tahun ajaran baru ini cara mengajar dan metode yang kita terapkan “kopi paste” dengan tahun yang lalu, maka bersiaplah untuk stress



Oleh Iwan Ardhie priyana
Oleh Iwan Ardhie priyana
Mengapa? Karena salah satu factor pencetus stress adalah rutinitas yang monoton. Rutinitas  yang monoton akan menimbulkan kejenuhan dan kebosanan, bahasa gaulnya BT. Kalau gurunya BT, jangan terlalu berharap anak didik kita bersemngat dan bergairah. Kejenuhan yang secara tidak langsung ditunjukan guru, seperti virus yang akan mudah menular pada siswa. Kalau gurunya sudah BT, dan anak meresponya dengan BT pula, kira-kira apa yang terjadi di kelas ?  Silahkan bayangkan sendiri.
Jadi, jawaban mengapa anak-anak seperti kurang termotivasi belajar, yang sering dikeluhkan oleh para guru, mungkin perl u di jawab sendiri oleh guru, apakah selama ini para guru  kita telah menumbuhkan iklim bergairah di dalam kelas? Kalau menggunakan teori stimulus = respon , maka jawabanya mudah, respon yang diberikan siswa adalah jawaban langsung dari stimulus guru. Stimulus yang kita berikan  dalam bentuk kejenuhan bisa di gambarakan sebagai negative, dan responnya pun menjadi negatif  pula. Jadi, seperti kata pepatah, kata berjawab gayung bersambut.
Seperti yang telah disebutkan di atas, rutinitas  yang monoton akan menjadi factor pemicu stress. Hasil penelitian  yang ditemukan mengenai stress dan pekerjaan, dilihat dari sisi psikologis memang bukan kabar baik, dan  kelihatannya perlu diwaspadai . Apa saja itu? Nah inilah sebagian gejalanya. :
Kecamasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
Perasaan frustasi , marah dan dendam (kebencian)
Sensitif dan hyperreactivity
Komunikasi yang tidak efektif
Perasaan terkucil dan terasing
Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual dan kehilanga n konsentrasi
Kehilangan spontanitas dan kreatifitas
Menurunnya rasa percaya diri.
Tidak ada yang bagus kan? Itu baru satu aspek, masih ada aspek lain, misalnya gejala  fisiologis dan gejala perilaku. Tapi, stop dulu lah… tunggu ulasan berikutnya.  Harapannya, semoga tidak stress menunggu kabar berikutnya.


Berhati-hatilah dengan Hypnoterapi



Oleh Iwan Apriyana
Catatan untuk Asep Haerul  Gani

Perkenalan saya dengan hypnoterapi  diperoleh  dengan cara yang “menyesatkan” dan tak terduga. Mengapa disebut menyesatkan? Karena hal itu berbeda dengan perkenalan saya dengan kata cinta misalnya. Kata cinta diperkenalkan melalui cara-cara dan peristiwa yang menyenangkan, seperti pertemuan dengan seseorang yang saya senangi, lagu-lagu yang menguras emosi, bunga-bunga yang indah, puisi yang mendayu-dayu ; serta  berbagai pengalaman yang sepenuhnya diliputi suasana hati yang riang. Meskipun sesugguhnya  peristiwa cinta sendiri tidak berarti selamanya menyenangkan, tetapi tetap saja tidak menggoyahkan pendririan dan pemahaman  saya terhadap cinta sebagai suatu “yang aduhai” meskipun cinta sendiri sering  saya anggap sebagai “Cerita Indah Namun Tiada Arti “.
Pengalaman  berkenalan dengan hypnoterapi tidak seindah saya mengenal dan memahami kata cinta. Hypnoterapi atau  yang pada awalnya saya identikkan dengan hipnotis, diperkenalkan melalui  peritiwa kriminal yang saya dengar dari mulut ke mulut atau yang  saya baca di koran. Dari situ, saya mulai mengenal hipnotis sebagai salah satu modus operandi tindakan jahat yang patut dijauhi  yang sekaligus juga tersimpan kebencian yang sangat di dalamnya. Dalam hati, saya membayangkan seseorang yang  kehilangan banyak benda berharga karena ia telah dihipnotis oleh seseorang yang mungkin wajahnya menyeramkan dan tidak memiliki perasaan.
Kebencian terhadap hypnotis semakin menguat ,saat saya mengalami peristiwa yang saya anggap sangat konyol. Siang itu, disebuah pusat pertokoan yang menjual onderdil computer di daerah Kosambi,  tiba-tiba saya ditepuk oleh seseorang yang tidak saya kenal. Namun orang itu dengan sangat meyakinkan bertanya pada tentang beberapa” temannya”  diinstansi saya . Beberapa  nama temannya itu tidak saya kenal, hanya saya mengenal satu nama yang disebutkan oleh orang itu yang kebetulan menjadi pimpinan  di kantor pusat. Sejenak kemudian saya sudah terlibat pembicaraan,meskipun saya sebenarnya lebih banyak bengongnya, ketimbang merespon ucapannya. Pada saat kebengongan saya mencapai titik kulminasinya, ia kemudian mengatakan bahwa ia butuh sejumlah uang untuk ongkos pulang ke satu daerah di Sumedang. Dan tentu sudah dibayangkan bagaimana endingnya. Dengan enteng saya mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya pada “sahabat baru” saya itu. Setelah beberapa saa orang itu berlalu dari muka saya, baru saya menyadari , apakah benar-benar ia  orang dekat dengan atasan saya  di kantor pusat? Kenapa saya  harus mau mengikuti perintahnya untuk mengeluarkan uang? Mengapa saya tidak bertanya tentang hal-hal lain untuk menguji apakah benar-benar ia mengenal teman di kantor pusat? Saya berkesimpulan saya telah di hipnotis !. Sejak itu saya katakan dalam diri “Behati-hati lah dengan hipnotis.
Kebencian saya, terhadap hipnotis serta berbagai hal yang ada disekitarnya pun terus berlangsung sampai suatu saat saya mengalami perstiwa yang tak terduga.
Sore itu, di pertengahan tahun 2009 ; seseorang mengudang saya untuk menghadiri diskusi bulanan  yang diselenggarakan oleh PPS (Pusat Studi  Sunda) dengan tema  “Tarapeutik Sastra Keur Kajembaran Diri “. Judul diskusi tersebut menarik karena berhubungan dengan dunia yang sudah lama saya geluti dan saya merasa bagian di dalamnya ; yakni sastra. Pembicara utama dalam diskusi itu disebutkan oleh moderator bernama Asep Haerul Gani  serta  Teddy AN Muhtadin. Nama yang pertama di sebut tidak saya kenal, apakah ia seorang penulis atau penggiat sastra, sedang nama yang kedua sering saya baca tulisanya  di sebuah majalah berbahasa Sunda di mana saya pernah menulis di media itu sekitar tahun 90-an.
Ada hal yang menarik perhatian saya dalam diskusi itu, yakni paparan yang dikemukakan Asep Haerul Gani  , bahwa selama ini satsra  teutama puisi hanya diselisik dari aspek   bahasanya yang mengandung rima, metaphor dan gaya bahasa yang ada di dalamnya. Padahal sesuguhhnya puisi mengandung unsure pengobatan (terapi). Contoh yang paling nyata dalam kasus ini adalah penggunaan mantera-mantera yang banyak digunakan para dukun untuk melakukan terapi. Sebagai seorang yang penikmat sastra, saya memperoleh pemahaman dan kesadaran baru tentang dunia  sastra lewat diskusi itu. Khususnya, bagaimana sastra mampu memberikan efek terapi bagi orang lain.
Diskusi tersebut, dalam perkembangannya kemudian menggoda saya untuk lebih memahami  hubungan antara sastra dengan terapi. Beruntunglah waktu  itu Asep Haerul Gani memberikan  soft kopi beberapa tulisan yang berkaitan dengan terapi. Saat saya pelajari tulisan itu, sebenarnya tidak secara khusus menyingung peranan sastra dengan terapi, tetapi lebih menekankan bagaimana proses terapi dengan  mengguakan pendekatakan hyponterapi.  Tapi aneh bin ajaib, saat saya membaca tulisan itu yang sebagian besar  berbicara soal hipnotis dan hypnoterapi , kebencian saya terhadap kata hipnotis yang entah berapa lama tersimpan dalam memori saya seakan akan mmenguap begitu saja. Saat itu boleh jadi saya jadi amnesia terhadap hipnotis. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ,timbulnya  perasaan  tertarik dengan berbagai penanganan kasus yang dialami klien dalam tulisan itu yang mengalami masalah yang berhubungan dengan pribadinya dengan menggunakan pendekatan hypnoterapi.
Entah jin mana  yang ditiupkan oleh Asep Haerul Gani dalam diri saya , sehingga mulai saat itu saya begitu rajin  membaca berbagai hal yang berhubunan dengan hipnotis dan hipnoterapi, saya juga begitu rajin menjelajahi poral NLP di internet, rajin mendownload berbagai uraian yang berhubungan dengan hypnosis, dan meskipun agak  malas terpaksa membeli buku  yang didalamnya menguraikan  hipnotis dengan segala macam pernak-perniknya.
“Buat apa membaca bukunya kalau nggak ikut praktik?” Membaca buku saja tak berarti apa-apa kalau tidak ikut pelatihan” kata-kata itulah yang sering diungkapkan kan oleh Asep pada saat saat saya berkomunkisi denganya. Kalaupun saya bertanya banyak hal jawabanya singkat saja “ikut saja pelatihannya”.  Saya ini kan cuma pegawai yang gajinya  gak cukup memadai untuk ikut pelatihan?  Jawabnnya tetap saja pendek “ikut saja pelatihannya”.
Benar, saya berasumsi bahwa pengetahuan sepraktis dan semudah apapun yang beruhubungan dengan hypnoterapi tidak berarti bila tidak ikut pelatihan. Bagaimana seorang dikatakan pendekar kalau selamanya tapa di atas gunung  dan tidak pernah ikut bertarung dengan pendekar lainnya nuntuk menguji sejauh mana kemahiran jurusnya?
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa  dan didorong oleh keinginan yang luhur (koq jadi  mirip alinea ketiga Pembukaan UUD 45 ya?) serta atas provokasi Kang Asep Haerul Gani, saya berksempatan mengkuti pelatihan selama dua hari di Bandung (meski ada bolongnya karena terganggu kegiatan saya yang lain). Selama dua hari itu, pemahaman saya tentang hypnoterapi lebih terbuka dari sebelumnya. Lewat berbagai bentuk latihan Asep menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan hypnoterapi, berbagai metode latihan tersebut memunculkan wawasan dan pemahaman baru tentang tubuh, kecerdasan tubuh, memberdayakan diri, dan berbagai hal lain yang tidak saya jumpai sebelumnya termasuk dalam buku sekalipun.
Hal yang penting dari hypnoterapi adalah melakukan praktik. Beruntunglah saya sebagai guru karena banyak memiliki murid. Sebagian metode yang pernah  diajarkan saya coba praktikkan pada puluhan murid saya. (Nak maafkan Bapak karena telah menjadikan kalian kelinci percobaan…!). Hasilnya, sungguh luar biasa, saya punya pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya, dan saya merasakan kegembraan serta “keberdayaan diri ” yang tidak saya rasakan sebelumnya,  terlebih karena respon dari teman-teman pun demikian bagusnya termasuk dari kepala sekolah yang berkali-kali mengakatan “bagus” dan “nuhun Pak Iwan” dan telah memprogramkan kegiatan yang saya lakukan itu pada anak-anak dalam persiapan menghadapi ujian nasional pekan depan.
Tidak hanya itu, seorang teman dengan keikhlasan yang penuh berharap pada saya untuk membantu memecahkan masalah yang dia alami. Dengan keberanian yang penuh pula  sambil “nyambat” guru saya Asep Haerul Gani, saya mencoba melakukan terapi. Alhamdulah dia berhasil mengalam trance, ia mengalami peristiwa yang sangat luar biasa, tanganya terasa berat dan kaku padahal ia ingin sekali merangkul ibunya yang dihadirkan dalam imajinasinya. Ada gurat-gurat kelegaan di dalam wajahnya yang sangat berbeda saat ia belum mengalami terapi, dengan berapi-api ia ceritakan pengalaman itu kepada rekan yang lain.
Banyak hal yang sesungguhnya ingin saya paparkan dalam catatan ini.  Namun sengaja tidak saya paparkan di sini sebab yakin teman-teman yang lain memiliki pengalam an yang lebih spketuakuler dan lebih dahsyat dari pengalaman saya .
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya sebenarnya ingin berkata “ Berhati-hatilah dengan hypnoterapi”  mengapa? Karena kita akan mengalami hal-hal yang terduga dan sangat luar biasa.

Memahami Fenomena Kesurupan pada Siswa



Oleh Iwan Apriyana

Kesurupan menurut pandangan tradisional adalah peristiwa  masuknya satu kekuatan ke dalam tubuh seseorang yang kemudian menjelma menjadi tokoh lain di luar diri seseorang tersebut.  Sebagian masyarakat menganggap kesurupan sebagai fenomena mistik yang luar bisaa dan aneh. Kesurupan sering  dihubungkan dengan keadaan jiwa  seseorang yang berada dalam situasi “kosong”. Di Bali, kesurupan dimaknai sebagai sinyal dari  kekuatan roh dan leluhur  yang sedang menunjukkan kuasanya atas situasi yang terjadi.  
Respon terhadap kesurupan  terbelah menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Ada yang memandang kesururpuan sebagai fenomena mistik, dan supranatural, seperti pandangan tradisional tadi, ada juga pandangan yang menganggapnya sebagai fenomena psikologis. Akibat dari kedua pandangan tersebut, penatalaksanaan  terhadap kesurupan pun menjadi berbeda pula.
Karena  kesurupan merupakan fenomena mistik, pandangan tradisonal melakukan penyembuhan dengan menggunakan kekuatan supranatural seperti doa-doa; dan mantra ; yang dilakukan oleh tokoh yang memiliki mekuatan supranatural pula, seperti pawang, dukun  ustad dan sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut diyakini memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh yang “nyurup”;  sehingga dapat  mengembalikan kekuatan  yang “nyurup”  tadi ke luar dari diri seseorang untuk kembali ke habitat asalnya.
Dalam khazanah kesenian tradisional, fenomena kesurupan memang sengaja dipelihara, untuk menunjukkan keunikan yang dimiliki seni tradional tersebut. Seperti tampak pada kesenian kuda lumping.  Para pemain kuda lumping diyakini telah dimasuki roah gaib sehingga membuatnya mampu melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh akal sehat. Seperti memakan beling, rumput dan sebagainya .
Namun, entah karena jenuh tinggal di alam lain, atau mungkin ingin mencoba pengalaman baru,  para roh dan mahluk dari dunia lain yang bisanya hadir nyurup ke dalam pemain kuda lumping, kini rajin pula  bersemayam dan nyurup pada pelajar sekolah kita . Dunia pendidikan pun menjadi sangat sibuk dan heboh dengan adanya fenemona kesurupan yang melanda para siswa tersebut . Kejadian tersebut tak urung  memunculkn spekulasi  adanya ketidakyamanan para roh atau mahluk lain yang “ngageugeuh” di sekitar sekolah tersebut. Untuk itu ada juga sekolah yang mengadakan ritual-ritual tertentu sebagai bentuk kompromi dengan para roh supaya tidak berulah dan menyambangi para siswa.
Benarkah  fenomena kesurupan  itu sebagai fenomena mistik sebagai akibat dari masuknya satu entitas ke dalam tubuh badan seseorang ? Asep Haerul Gani,  seorang psikolog yang juga trainer pada pelatihan Ericksonan Hiynoterapy dengan tegas menyangkalnya. Menurutnya, kesurupan yang  dialami para siswa adalah gejala psikologis, dan tidak memiliki relasi atau disebabkan oleh adanya fenomena mistik, yakni jin yang masuk ke dalam diri siswa. Berkaitan dengan maraknya gejala kesurupan yang melanda para siswa sekolah, Asep menengarai adanya faktor pemicunya. Pertama gajala kesurupan muncul saat menjelang Ujian Sekolah dan UN (Ujian Nasional), kedua kesurupan terjadi dibeberaa seolah tertentu yang menerapkan sistem belajar full day.
Menurut Asep, kesurupan dipicu oleh adanya stress yang melanda siswa. Stres yang dialami para siswa mengalami titik didih  akibat orang tua yang atau pihak lain seakan-akan tidak peduli pada keaadan siswa. Pada saat tertentu, stress yang mengalami titik didih itu meledak dalam bentuk kesurupan. Kesurupan yang dialami para siswa  bersifat massal, karena sugesti yang ditimbulkannya. Pada saat kesurupan siswa menunjukkan gejala perubahan pisik, seperti terdengar auman, cakaran, teriakan, kejang pada kaki dan tangan, bola mata membelakak.  Dalam kondisi seperti itu, seolah-olah siswa  menjelama menjadi mahluk lain dari dunia lain.
Berkaitan dengan adanya tokoh lain, seperti “mahluk gaib” yang menjelma pada diri seorang pelajar, Asep menjelaskannya dengan menggunakan pendekatan psikologi  budaya. Menurutnya, ketika tidak ada orang yang perduli dengan dirinya  , maka siswa yang mengalami kesurupan  mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh lain yang pernah hidup dalam pandangan masyarakat disuatu daerah yang  memiliki pengaruh dan kekuatan.  Hal itu dilakukan untuk memberi tekanan pada orang lain agar memperhatikan dirinya. Lalu, bagaimana para siswa mengenal dan menhadirkan tokoh itu? Menurut Asep  kehadiran tokoh itu sendiri mungkin dikenalnya melalui cerita-cerita yang pernah di rekam di alam bawah sadarnya.
Dengan menggunakan logika seperti ini, kita dapat melihat hal ini pada perilaku seorang anak yang sangat mencintai tokoh tertentu, seperti sipderman, batman dan tokoh-tokoh lain yang menjadi idolanya. Dan pada saat-saat tertentu sang anak pun menunjukkan tingkah laku, dan katakter tokoh yang menjadi idolanya. Itulah saat dimana seorang anak sedang mengalami “kesurupan” dan orang dewasa menganggapnya sebagai hal yang lumrah.
Dalam hal penanganan terhahap kesurupan, seperti yang pernah dilakukannya, Asep Haerul Gani, menggunakan dua macam teknik , yakni dengan teknik mengikuti polanya, memotong polanya.
Cara pertama dlakukan denban mengajak berdialog dengan seseorang.  dalam stuasi seperti ini ,orang yang akan menyembuhkan dituntut untuk  memahami alur pikiran orang yang kesurupan. Dalam kasus ini Asep mencontohkan saat ia menangani seseorang yang kerurupan dengan mengaku  dirinya sebagai “macan” dari hutan tertentu. Maka saat itu Asep mengajak dialog “sang macan” setelah dialog itu “nyambung” Asep meminta  agar macan itu tidur beberapa menit, dan benar saja macan itu mengikuti perintahnya dan tertidur, saat bangun orang yang  kerusupan sudah sadar kembali.
Cara yang kedua dengan menggunkan  teknik memotong polanya. Untuk kasus ini Asep memiliki pengalaman saat menyembuhkan orang yang mengaku sebagai jin dari wilayah tertentu. Saat berdalog dengan jin itulah Asep mengancamnya akan membakar jin tersebut, entah karena takut dengan ancanamn tersebut , sesaat kemudian orang yang keurupan itu sadar.
Berkaitan dengan pandangan bahwa kesurupan  terjadi karena ada jin yang masuk ke dalam diri seseorang, Asep memiliki pemahaman  bahwa jin yang dimaksud adalah jin yang berasal dari bahasa Arab “jinna” yang artinya “tersembunyi” ; bukan dalam pengertian jin sebagai mahluk gaib atau mahluk halus.
Mengingat fenomena kesurupan bukanlah fennomena mistik, tetapi merupakan gejala psikolgis, maka sudah sewajarnya jika pihak sekolah dan orang tua memahami kondisi kejiwaan para siswanya, terutama menjekang kegiatan Ujian Nasional , dimana kondisi kejiwaan siswa berada dalam tekanan yang hebat. Untuk itu diperlukan suasana yang nyaman dan kondusif . Untuk mencegah terjadinya kesurupan pada siswa guru perlu memiliki “mantra-mantra” berupa kata-kata atau pernyataan menyejukkan yang bisa menjelmakan suasana yang nyaman dan tenang. Bukan dengan  pernyataan dan kata-kata  yang malah bisa memicu tekanan itu lebih berat lagi sehingga menjadi pemantik bagi diri siswa untuk terjadinya kesurupan.


                                                                                                                                                    Penulis,
                                                                                                                  Peminat Erikcsonian Hyponterapy
                                                                                                                  Guru SMPN 1 Nagreg Kab. Bandung


  (Iwan Apriyana, SMPN 1 Nagreg Kab. Bandung, Jl Raya Nagreg 776, 081573138069/022 7950794, iwanapriyana@yahoo.co.ic)

Mengembangkan Imajinasi Siswa



Oleh Iwan A.Priyana

Manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas. Akan tetapi manusia punya peluang  untuk menjelajah ke angkasa luar, atau ke tempat yang jauh sekalipun. Bahkan,   juga   berkelana atau menuju hari esok yang diimpikannya. Manusia juga bisa membayangkan apapun yang diinginkannya yang boleh jadi mustahil  dilakukan dalam keadaan nyata. Semua itu dimungkinkan karena manusia memiliki kesanggupan berimajinasi. Imajinasi menurut  aliran psikologi behavioristik, merupakan satu dari empat anugerah yang dimiliki manusia, disamping Self Awareness (kesadaran diri), Conscience (hati nurani), Independent Will (kebebasan kehendak)  .
Einstein menyebut bahwa imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan. Namun, sayangnya kegiatan berimajinasi belum memiliki tempat yang semestinya, termasuk dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini berkaitan dengan persepsi umum bahwa imajinasi erat kaitannya dengan menghayal. Dan menghayal adalah pekerjaan yang sia-sia.Padahal kegiatan berimajinasi dalam pendidikan memiliki manfaat yang luar biasa, sebab dengan berimajinasi dapat mendorong siswa lebih kreatif.
Terkadang Persepsi yang keliru, sering kali membuat kegiatan berimajinasi menjadi terhambat. Hal ini dijumpai  misalnya pada kegiatan menggambar dan kegiatan mengarang pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Untuk mengeksploitasi kemampuan imajinasi kreatif para siswa, langkah-langkah berikut dapat digunakan untuk membantu mengembangkan kemampuan berimajinasi .
1. Berikan Stimulus Yang menantang. Otak manusia sebenarnya akan mudah bekerja apabila diberi tantangan. Imajinasi berkaitan dengan kerja otak. “Tuliskan pengalaman mu saat bajir” , boleh jadi kurang menarik, karena mungkin pengalaman itu adalah pengalaman yang menyebalkan. Jangankan menceritakaanya, bahkan untuk mengingatnya pun siswa  tidak suka. Ada pengalaman pengalaman hidup yang tidak menyenangkan yang membuat siswa menjadi tertutup. Respon siswa akan berbeda misalnya bila diminta menjadi  seorang pejabat, baik presiden , mentri  ,gubernur maupun  bupati yang dihadapkan pada persoalan banjir . Tentu akan sangat menarik bagaimana siswa memiliki solusi mengatasi bajir dengan berpedoman pada  imajinasinya.
Dalam menggambar, anak lebih senang memilih sendiri objek yang menarik perhatiannya, bukan yang menarik perhatian guru. Tak ada salahnya guru menantang siswa untuk menggambar objek yang luar biasa, misalnya robot berkepala hewan, tabarakan kapal di udara, perahu bersayap dan sebagainya. Ini tentu lebih menantang daripada  diminta  menggambar pemandangan alam, atau objek tertentu yang sudah dispersiapkan guru.
2. Hindari Pembatasan. Imajinasi akan mudah berkembang bila tidak ada hambatan berupa pembatasan-pembatasan berdasarkan ukuran orang dewasa. Misalnya, siswa dalam menggambar gunung, langit, sawah, siswa harus menyesuikan diri dengan keadaan aslinya. Seakan-akan warna itu sudah baku dan menjadi ketentuan yang tidak boleh di ubah karena guru berpikir tidak ada laut berwarna coklat, atau gunung berwarna pink. Dengan berimajinasi,siswa  bisa bereksperimen dengan warna yang dipilih, dan ini tentu akan melahirkan warna-warna yang diluar dugaan tapi sangat positif.
Demikian juga halnya dalam pembelajaran mengarang. Terkadang sederet aturan , seperti jumlah paragraph, kerangka karangan, dan aturan kebahasaan membuat siswa merasa  terikat. Tentu saja, aturan tersebut tetap harus diperhatikan, namun itu akan di lakukan setelah proses mengarang selesai. Aturan-aturan dan pembatasan yang terlalu dini menimbulkan ketakutan dan rasa bersalah apabila melanggarnya. Situasi tersebut tentu tidak mendukung upaya untuk mengembangkan imajinasi. (Penulis guru SMP N1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung)

Tanjakan cinta (1)


Tanjakan cinta (1)

Hiji lalaki badag sembada
Ngaboseh lebah tanjakan
Ngaboncengkeun kabogohna
Luut leet kesang
“Cape ? Kang?”
“Neng, demi cinta ka Eneng, cape ge aya ubarna”
Lima taun ti harita
Hiji lalaki badah sembada
Ngaboseh lebah tanjakan eta keneh
Ngaboncengkeun pamajikanana
“Cape , Kang?”
“Geus nyaho cape kalah nanya, mun turun atuh !”

Tanjakan Cinta (2)

Hiji lalaki ngagendeng kabogohna
Lebah  tanjakan
“Cape Kang “
‘” sanaos kedah ngagandong, rido kabina-bina”
Hiji lalaki lima taun ti harita
Patutur-tutur jeung pamajikanana
“Cape kang, hayang di akod”
“Na mani ogoan teuing, paksakeun da tereh tepi !”

Man tarokkaa….



Mangsa keur budak  , imah kuring teh deukeut ka masjid. Bada magrib nepi ka waktu isya kuring  ngaji di masjid eta. Nu ngawurukna, ajengan ,sok di sebut si Abah. Umurna mah kuring leuwih tujuh puluh taunan. Pangawakanana  pendek dedepe, sorana ngosom semu handaruan. Kana udud nyandu kacida, da sabot ngawuruk teh teu eureun-eureun roko napel dina bahamna. Mun keur ngawuruk teu weleh ngenyod udud  atawa ngetrukeun calacah kana asbak nu aya hareupeunana.
Pun bapa   mah ajrih temenan ka  Abah teh. Elmuna luhung cenah. Da sa kacamatan mah moal aya nu ngabandingan kana elmu agamana, utamana kana tafsir. Di masjid eta, abah bisa di sebut “imam besar na”. Kabeneran we da bumina ngarendeng jeung masigit, malah rek sasuhunan pisan. Jadi munasabah mun aya wae di masjid teh. Saban waktu anjeuna ngimaman di eta masjid. Sakapeung mun keur kebeneran aya halangan , pun bapa nu sok kapeto ngimaman teh, nu sejen mah tara aya nu wanieu n lantaran mun kurang paseh  bacaan solat  sok digengeunggeureuhkeun.
Kuring jeung babaturan ngaji di wuruk ku Abah teh utamana dina ngaderes juz ama, jeung diajar tajwid. Carana, maca saayat, tuluy   eta ayat teh diterangkeun tajwidnya. Nu kitu teh ngran a praktikum, ceuk istilah Abah mah. Cindekna ngalarapkeun tajwid langsung tina quran, bari di lagukeun. Metode nerangkeun tajwidna ge kawilang simpel. Contona, mun nerangkeun hurup qolkolah teh cukup disebut “baju di toko” anu hartina huruf kolkolah teh nya eta “ba” “jim” “tha” jeung “qof”. Ku cara kitu, gancang kahartina. Di sagedengeun tajiwid ge kungsi ngilu  ngulik nahwu shorof, ngan eta mah rada beurat, kakara apal  teh ngan istilah  fi’il madhi, fi’il amr,  jeung fiil mudore. Teu junun ngaji teh, loba gogoda na, jeung nu poko mah hoream we deuih. Jeung deuih   mun keur ngaji sok loba nu nyampeur lalajo bioskop misbar.
Nyelang tina ngawuruk ti Abah sok ngajarkeun lalaguan atawa pupujian. Salah sahiji pupujian teh kieu unina “Man taroka sholatan khomsi , abdan muta’amilah, faja uhum, fajaja uhum, jahaman kholidan piha” tuluy we di tarjamahkeun “Saha jalma nu ninggalkeun sholat, lima waktu bari dihaja, mangka di bales, mangka di bales, dilanggengkeun di naraka jahanam”. Asa genaheun tah pupujian teh. Beres ngaji teh sok ngahaja eta pupujian teh di haleuangkeun patarik-tarik, malah sakapeung sok bari rerengkenekan, ku Abah tara di geunggeureihkeun, ngan mun geus kamalinaan sok di sentak.
Bakat ku mindeng mah dinyanyikeun eta pupujian teh geus apal deui. Malah basa kuring geus nincak dewasa eta pupujian teh sok di hariringkeun keneh. Ngan ayeuna mah tara di barung ku rerengkenekan, komo palebah  kalimah nu panungtung mah “mangka di bales, dilangengkeun di naraka jahanam” mah sok ngadadak hate teh ngaleketey malah kadituna mah sok rada ngahuleng , kalan-kalan sok teu karasa bedah cimata. Mun emut kana eta pupujian, ras  oge emut ka Abah nu tos lami ngantunkeun . Kadieunakeun , saban talangke ari jeung hoream solat teh, raray Abah nu keur ngagalindengkeun “ man tarokka..” sok eces nembongan.


Belajar Etika ke negeri Para Dewa



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang di ajenan, kudu ngadaban ka batur

Sejujurnya, masyarakat sebenarnya sudah enggan mengkritik keinerja anggota DPR. Sebab seperti pepatah mengatakan anjing menggonggong kafilah berlalu. Mereka benar-benar sebagai kafilah yang dicocok telinganya rapat-rapat , sehingga jangankan anjing kampung  bahkan gongongan anjing herder, maupun Doberman  , tidak mengubah perilaku mereka yang sudah cukup terkenal , yakni cuek bebek. Serbuan kiritk yang ditujukan kepada DPR pun tampaknya tidak mengubah apapun. Dari mulai soal kehadiran dalam rapat yang memprihatinkan, pengajuan dana aspirasi alias gentong babi, rencana pembangunan gedung baru, rencan renovasi rumah dinas, dan yang sekarang heboh  diberitakan adalah kegiatan  studi banding Ke Yunani, negara yang dijuluki  “negeri para dewa”.
Studi Banding BK (Badan Kehormatan) DPR ke Yunani dengan agenda utamanya ingin mempelajari “etika” benar-benar memancing reaksi keras berbagai pihak. Studi Banding yang konon menghabiskan dana 2  milyar tesebut mengundang  kecaman yang luar biasa. Sebab, publik tentu mempertanyakan urgensi  studi banding terebut  dengan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, lagi- lagi anggota DPR terebut  tetap pada pendiriannya. Anggoat BK tersebut tetap berangkat saja ke Yunani.
Dalam  wawancara di sebuah televise swasta, Nudirman Munir, salah seorang anggota BK yang akan berangkat tersebut dengan sangat PD (percaya diri)  menjelaskan bahwa  tujuan mereka ke sana adalah untuk memperlajari bagaimana etika parlemen di sana. Dari mulai soal bagaimana mereka itu tertib bersidang sehingga tidak jotos-jotosan, sampai dengan etika dalam menyampaikan interupsi dan soal bagaimana anggota parlemen di sana berpakaian ,merokok dsb. Dalam kesempatan itu, Tipta Lesmana, seorang pengamat politik dengan tegas membebebarkan bagaimana kasus-kasus studi banding sebelumnya yang tidak menghasilkan apa-apa. Juga pada kesempatan itu Tjipta Lesamana mengingatkan kembali akan hutan luar negeri kita yang sudah demikian membengkak. Sehingga para anggota DRP perlu melakukan penghematan uang Negara.
Pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, mengapa untuk memperlajari etika harus jauh-jauh ke Yunani?  Padahal sebenarnya  bangsa kita adalah bangsa yang terkenal sangat menjunjung tinggi etika. Dari sejak kecil, dalam lingkungan keluarga, pendidikan tentang etika sudah ditanamkan dengan sungguh-sungguh. Misalnya bagaimana berbicara dengan orang lain, terutama dengan yang lebih tua, bagaimana tata cara dalam hubungan dengan tetangga dan orang lain, juga tatacara dan etika dalam sebuah kelompok sehingga tidak menimbulkan persengketaan. Dalam kehidupan bermasyarakat sudah dikenal dengan etika yang tidak tertulis yang wajib ditaati oleh warga masyarakat. Bagi siapapun yang melanggar etika tersebut akan mendapat sangsi social. Hal ini sudah dijalankan oleh nenek moyang kita dan selalu ditanamkan kepada generasi penerus, termasuk juga anggota DPR tentunya.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda, dikenal sebuah paparikan atau sisindiran “ meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang diajenan, kudu ngadaban ka batur “ (Membeli  ayam  harga setalen, diberi makan bekatul, siapa yang  ingin di hargai orang lain  hendaknya bertingkah laku baik pada orang lain). Paparikan di atas menggambarkan betapa pentingnya menjaga etika dan tatakrama untuk saling menghormati dan saling menghargai dengan orang lain.  Kalau saja, pesan yang ada dalam paparikan tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, nisacaya akan terjadi harmoni dalam kehidupan masyarakat , sebab hubungan antara sesama warga masyarakat dilandasi perasaan saling menghargai dan menhormati.
Berbagai kekerasan yang terjadi baik di jalanan, maupun di gedung DPR sesunguhnya karena perasaan untuk saling menghargai dan menghormati peran dan fungsi masing-masing sudah tergusur dalam alam pikiran serta ruang batin sebagian bangsa kita. Yang mencuat  ke permukaan dewasa ini adalah egoisime kelompok maupun arogansi sektoral,  yang ujung-ujungnya sering melahirkan konflik dengan nuansa kekerasan.
 Jika dikaji  lebih dalam, sesungguhnya bangsa kita ini bangsa yang kaya dengan nilai-nilai warisan budaya yang dapat dikaji dan ditelaah lebih lanjut untuk  menghasilan rumusan tentang etika yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, juga termasuk dalam siding parelemen. Sayang, kita mungkin punya kebiasaan melihat rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput di halaman kita sendiri. Kita tidak mau bersusah payah menggali kekayaan bangsa sendiri, senang yang serba instan dan tak banyak menguras tenaga.  Apakah kalau sudah studi banding ke Yunani itu mereka menjadi lebih santun dan tidak ada lagi jotos-jotosan? Tak ada yang bisa memberikan jaminan. (Penulis Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg, Pengelola Bapinger)

PHOBIA SEKOLAH



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Sekolah berasal dari “skul” artinya tempat yang menyenangkan. Akan tetapi, di sekolah seorang siswa sering  merasa tertekan karena disiplin sekolah yang sangat ketat, pemberian tugas (PR) oleh guru  yang menyiksa,  belajar yang membosankan karena cara mengajar guru yang tidak menarik, belum lagi siksaan duduk berjam-jam saat guru “menjelaskan” materi pelajaran. Penambahan pelajaran tambahan yang dipaksakan. Sikap bapak ibu guru yang “killer”. Ditambah berbagai aturan lain yang  harus ditaati, serta berbagai sangsi yang menyakitkan.Walhasil, sekolah dengan kondisi seperti   itu bukan menjadi tempat yang menyenangkan, tapi malah menyiksa.
Jika orang tua melihat anaknya tidak bergairah untuk sekolah, sering bolos, menghindari sekolah dengan alasan sakit atau alasan kepura-puraan, jangan buru-buru memvonis anak dengan kata “malas”, kurang motivasi, manja dsb. Siapa tahu kondisi tersebut lebih disebabkan oleh situasi sekolah yang menyiksa tersebut. Tidak selamanya problem belajar  siswa tersebut  dipicu  fakor intrinsik, yakni kondisi di dalam diri si anak, namun bisa juga berumber dari lingkungan belajar siswa sendiri. Faktor lingkungan belajar yang tidak menyenangkan itu dapat menimbulkan phobia sekolah. Inilah kondisi yang tidak diharapkan oleh semua orang tua. Phobia sekolah merupakan gejala ketakutan seorang siswa pada apapun yang  berhubungan dengan sekolah.
Kasus phobia sekolah  dilaporkan pernah terjadi di Jepang. Sekitar lima ratus siswa sekolah dasar merasa takut bila melihat guru dan lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena tuntuan yang tinggi pada setiap siswa di sekolah tersebut sehingga menimbulkan tekanan psikologis bagi siswa. Di Indonesia kasus tersebut belum ditemukan. Akan tetapi, gejala phobia sekolah sudah muncul.  Kasus ini dapat dilihat banyaknya siswa yang bolos saat jam pelajaran,  tidak memiliki gairah untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sekolah, sering mogok sekolah, mencari alas an untuk tidak sekolah, malas mengerjakan PR, bahkan kadang-kadang membenci pada guru,serta  mencurat-coret sekolah. Perlu pula dicermati, mengapa banyak siswa  yang terpaksa DO. Tentu ini bukan semata-mata karena alasan ekonomi, sebab pemeritah telah membebaskan biaya pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah.
Pendidikan merupakan barometer kemajuan bangsa. Melalui sekolah dicetak manusia yang memiliki sumber daya yang unggul untuk siap berkompetensi dalam kancah persaingan. Bagaimana cita-cita luhur itu terwujud apabila sekolah “dimusuhi”. Bagaimana nasib Wajar Dikdas sembilan tahun  mencapai sasaran, apabila sebagian siswa mengalami phobia sekolah. Bagaimana siswa bisa belajar dengan nyaman bila sekolah dianggap sebagai tempat yang menakutkan.
Menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang  yaman. Tidak hanya lingkungan fisik semata, tetapi suasana kondusif di mana siswa merasa dia berada di tempat yang disukainya. Perlu diciptakan suasana komunikasi yang hangat antara siswa dan guru, sehingga siswa menganggap guru tidak hanya seb agai orang tua, tetapi juga sekaligus sahabat.
Di pihak lain, orang tua juga perlu memperhatikan siswanya di rumah, peka terhadap keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh siswa, serta mau menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua tidak langsung menyalahkan pihak sekolah bila ada hal yang menurutnya tidak sesuai, juga tidak bisa men”stigma”  siswa , sehingga menyebabkan siswa semakin tertekan. Orang tua bisa berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk memecahkan berbagai masalah yang berhubungan dengan kemajuan siswanya di sekolah. Bila perlu, orang tua  mendapat informasi apapun yang berhubungan dengan aktivitas sekolah, sehingga  terjadi saling pengertian.
Ujung tombak pendidikan adalah guru. Di sinilah pentingnya guru mampu menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menarik dan menantang. Di samping harus menciptakan metode pembelajaran yang bervariasi dan menarik, sedapat mungkin juga guru menghindari tugas-tugas yang bisa memberikan beban bagi siswa, seperti memberi  PR yang memberatkan, memberikan tugas tambahan yang menyulitkan. Kalaupun harus member tugas dipilih tugas yang menantang kreativitas siswa.


Iwan Ardhie Prieyana, Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung

Memaafkan itu Mengobati



Oleh Iwan Ardhir Prieyana
(Galamedia, 30 September 2010)

Memaafkan kita pahami sebagai perkara yang mudah. Kita cukup mengatakan “Aku minta maaf kepadamu atas kesalahanku”. Ucapan itu merupakan wujud dari upaya kita untuk menghapuskan perasaan tertentu akibat rasa salah yang ada dalam diri kita. Sebagaimana sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, terlebih lebih pada saat Idul Fitri mislanya. Dalam kasus lain, cara kita memaafkan adalah dengan “melupakan” suatu peristiwa dan berusaha menghapus emosi kita yang menyertai rasa marah pada seseorang. Masalahnya, benarkah tindakan kita berupa mengatakan maaf dan melupakan berbagai peristiswa itu kita telah memaafkan dalam arti yang seungguhnya; sehingga kita benar-benar terbebas dari perasaan dendam, marah,,kesal serta beban emosi negative lainnya?
Melalui buku “forgiveness therapy, maafkanlah niscaya dadamu lapang” yang ditulis Asep Haerul Gani,-seorang psikolog dan pengelola Pondok Pesantren Hypnoterapy Ciputat- ini pembaca akan memperoleh pemahaman yang benar tentang proses dan aktifitas memaafkan sehingga menghindari proses memaafkan palsu ,seperti kasus yang di paparkan pada awal tulisan ini. Penulis menunjukkan beberapa persepsi tentang memaafkan yang selama ini tidak tepat, seperti memaafkan berarti, memaklumi, melupakan, pembenaran, menenangkan, memaafkan palsu, memafaakan tidak sama dengan mengadili, memaafkan selalu tidak harus diiringi dengan perdamaian. Penulis tidak hanya mengupas masalah memaafkan  dari sisi psikologis saja, namun pembaca di ajak untuk merenungi berbagai konsep yang dipaparkan. Misalnya, pada kegiatan memaafkan yang kita lakukan dalam kegiatan ideul fitri, halal bi halal, dan seremoni  lainnya, kita di ajak merenungkan kembali aktivitas tersebut lewat pertanyaan : Apakah saat orang yang menjabat tangan Anda-kebetulan sebagai tokoh yang masuk ke dalam daftar yang melukai kehormatan Anda mengatakan “Mohon maaf”-Anda menyimpulkan dari keras lunaknya suara, nada bicara, tempo bicara, dan mimic mukanya sebagai TULUS atau hanya basa-basi mengikuti tradisi belaka? Apakah Anda kemudian merasa sesak, marah, kecewa, kesal dan dendam Anda terlepas dan sirna saat mendengar ia mengakatakan “Mohon Maaf?” (hal. 41)
Melalui buku ini pembaca tidak hanya beroleh pengetahuan memaafkan  dalam kacamata psikologis, namun juga diajak untuk menikmati pengalaman klien yang berkonsultasi dengan penulis buku ini , seputar proses pemaafan,. Juga, praktek memaafkan yang sangat sederhana dan agak “aneh” seperti membuang rasa kesal melalui proses BAB (buang air besar )  dan mandi.  juga pembaca disuguhi dengan kisah pemaafan yang mengugah dan memotivasi. Misalnya kisah Mang Adrahi jeger kampung musuh Ajengan Subhi yang meninggal , namun dengan konsep meaafkannya, Ajengan Subhi dan para santrinya mengrusu prsoes pemakaman musuhnya itu dengan alasan Mang Adrahi adalah tokoh jujur yang menunjukkan kepada ajengan beberapa kelemahan dan kritik yang membuat ajengan belajar banyak hal.
Buku ini menunjukkan bagaimana tehnik memaafkan dan membuang energi negatif yang ada dalam diri kita. Sehingga diharapkan pembaca –melalui petunjuk terapinya- merasa lebih nyaman lepas dari berbagai ganjalan perasaan yang mengganggu . Sesuai dengan judulnya, memaafkan  merupakan kegiatan terapi. Penelitian menjukkan bahwa orang yang memaafkan menunjukkan gejala tekanan darah lebih normal, penurunan stress, kemarahan mereda, mengurasi rasa nyeri di punggung yang akut dsb.Buku iniditulis denan bahsa yang sederhana dan dengan gaya populer sehingga tidak membosankan. Meskipun ada beberapa bagian konsep memaafkan yang merujuk pada pendapat pakar asing yang membutuhkan kesabaran untuk memahaminya, namun hal tersebut tidak menganggu isi buku dan manfaat yang berserakan di dalamnya. Sehingga buku yang kecil tapi cukup menggugah ini pantas di baca oleh siapa saja yang ingin memperoleh pencerahan dan pemahaman baru mengenai proses memaafkan. 
Diberdayakan oleh Blogger.