OLeh Iwan Ardhie Priana
“Jangan dulu membuka toko, kalau
belum bisa tersenyum”. Kata sahabat saya, seorang keturunan Cina yang menulis
kalimat itu di dinding Facebooknya. Boleh jadi, itu merupakan rahasia sukses
para pengusaha Cina dalam berdagang, disamping resep lain, seperti keuletan,
gigih dan hemat. Resep yang mudah sebenarnya, bahkan bisa jadi itu bagian dari
bagian dari prosedur tak tertulis dalam upaya meningkatkan pelayanan pada
konsumen. Sudah sering saya dengar dari teman atau dari berbagai buku,
bagaimana orang-orang Cina mampu menjadi pengusaha , jadi pedagang dan
pengelola toko, dengan berbagai jurusnya. Tapi jurus tersenyum itu benar-benar
hal baru.
Begitu hebatkah pengaruh tersenyum
pada konsumen? Tanya saya dalam hati. Tiba-tiba saya jadi teringat secarik
kertas di tempel di dekat meja kassa di sebuah swalayan yang saya
kunjungi. Isinya pendek “Tegurlah karyawan Kami bila tidak tersenyum”.
Ternyata, pertokoan modernpun telah mengadopsi jurus toko Cina.
Peribahasa Cina itu ternyata ikut
menginspirasi saya sehingga saya ikut-ikutan pula mengadopsi kalimat itu
“Jangan dulu masuk ke kelas kalau belum bisa tersenyum”. Benar-benar menjiplak.
Tapi tak apalah, asal untuk kebaikan. Mengapa saya begitu tertarik untuk mengadopsi
pepatah Cina itu ? Karena saya masih sering melihat beberapa teman saya
–yang juga guru- punya persepsi yang keliru dengan senyumnya. Teman saya sering
khawatir senyum itu akan meruntuhkan “wibawanya”. Walhasil, setiap masuk kelas,
ia lebih PD dengan memasang wajah perang. Alih-alih ingin menjaga wibawa dan
disegani murid, ia malah sering mendapat umpatan dan makian siswa, tentu saja
dengan cara diam-diam dan sembunyi-sembunyi.
Saya sendiri agak heran, darimana
teman saya beroleh pengetahuan tentang hubungan senyum dengan wibawa.
Saya malah sering melihat tokoh-tokoh kharismatik dan berwibawa dalam poto
dengan pose sedang tersenyum. Termasuk para tokoh otirter yang pernah ada di
dunia ini, dalam fotonya ingin mencitrakan orang baik dengan tersenyum.
Saat diam-diam saya intip ke
kelasnya, suasana kelas benar-benat sunyi seperti kuburan. Mungkin itulah
suasana yang menurutnya paling cocok untuk memahami pelajarannya. Bahkan anak
yang mencoba untuk mencairkan suasana dengan sedikit menyunggingkan senyumnya
pun sering di hardik.
“Kenapa kamu tersenyum? Meledek
ya?” Ah, malang benar anak terebut.
Saat saya beritahukan pada
teman saya bahwa saya punya motto “jangan dulu masuk kelas kalau belum bisa
terenyum” ia malah mencibir. Bagaimana mau bisa tersenyum jika kepala ini sudah
begitu penuh dengan persoalan hidup juga persoalan rumah tangga? Tanyanya
dengan nada apatis dan pasrah. Namun, ia tidak menjawab ketika saya tanyakan
apakah dengan memasah wajah “garang” itu persoalan di kepalanya menjadi
lebih enteng? Dia tidak menjawab.
Saya jadi teringat cerita yang saya
baca dari sebuah buku tentang seorang guru aneh di suatu sekolah. Pak Guru aneh
ini punya kebiasaan yang unik saat sebelum masuk da n keluar kelas. Sebelum
masuk ke kelas, ia menuju sebuah pohon yang berada tak jauh dari kelasnya. Ia
meloncat dan kedua tangganyya menggapai sebuah batang yang menjulur datar,
seseat kemudian tubuhnya bergelantung ke depan ke belakang beberapa
kali.Selesai mengalantung ia akan masuk kelas. Hal yang sama ia lakukan saat pulang
sekolah. Diam-diam sang Kepala Sekolah ini sering memperhatikan gejala ganjil
sang guru ini, sehingga setelah beberapa hari melihat pemandangan itu, ia
meminta bapak guru mengadap ke kantornya.
“Sudah beberapa hari ini saya
melihat Bapak menggelantung di pohon kayu itu, baik saat mau masuk ke kelas dan
keluar kelas. Boleh saya tahu, apa sebenarnya yang Bapak lakukan?” Tanya kepala
sekolah, setelah keduanya berhadapan.
“Terus terang saja Pak, saya ini
sebelum berangkat ke sekolah, banyak sekali persoalan yang saya hadapi, saya
tak mau persoalan itu menganggu pikiran saya , saat saya berada di depan siswa
saya” jawab sang guru.
“Lalu, apa hubungannya dengan
menggantung di pohon?”
“Saat saya begelayut saya berkata,
hei pohon, aku tak mau persoalan ku ini mengangguku saat aku masuk dan
mengajar, aku titipkan persoalan ini kepadamu, dan saat keluar sekolah pun saya
katakan ‘hei pohon’ kini aku sudah mengajar dan persoalan yang aku titipkan
kepadamu aku ambil kembali” demikian jawab bapak guru tenang.
Cerita yang mungkin tidak lucu ini
sebenarnya menyimpan agar tidak membawa persoalan ke dalam kelas, apapun
caranya.
Untuk sahabat saya yang sering
memasang wajah perang, sebenarnya saya ingin menyarankan padanya agar suatu
waktu nanti, ia duduk di bangku murid. Lalu murid itu semuanya suruh ke luar,
dan setelah itu satu persatu murid itu masuk ke kelas dan setiap murid
melemparkan senyum padanya. Pada saat itu, saya sebenarnya ingin bertanya
padanya, adakah alasan untuk tidak tersenyum?
Kalau orang Cina sukses dengan
prinsip “Jangan dulu membuka toko sebelum tersenyum” saya yakin seorang guru
juga akan sukses dengan moto “Jangan dulu masuk kelas kalau belum bisa
tersenyum”. Sebuah cara yang sederhana untuk sukses dan dicintai murid , sebuah
cara mudah untuk menjadi guru yang bisa membawa kesejukan di dalam
kelas.Sayangnya, kadang-kadang, kita selalu berpikir untuk melakukan
hal-hal spektakuler untuk mengubah keadaan.