Minggu, 03 Juni 2012

Bila Keadilan ada di Tangan “Kera”




Dua ekor binatang sedang bertengkar karena memperebutkan buah semangka yang baru ditemukannya. Keduanya merasa berhak atas temuannya, sehingga  masing-masing ingin memiliki semangka itu seutuhnya. Tak ada saksi lain di tempat itu, yang bisa menunjukkan siapa sebenarnya penemu pertama yang berhak memiliki semangka itu sepenuhnya. Pada saat pertengkaran itu sudah akan mencapai puncaknya, tiba-tiba melintaslah seekor kera k e TKP.
“Hai, sobat, kelihatannya ada keributan di sini “ sapa sang kera.
“Benar, apakah kamu mau bantu kami?” Tanya salah satu binatang itu.
“Oh, iya kenapa tidak,” kata sang kera. Lalu diceritakanlah kronologi peristiwanya. Katakanlah semacam rekonstruksi begitu. Selesai sala satu binatang itu bercerita, kera  berkata “ Kalau begini caranya tidak akan selesai, bagaimana kalau buah semangka  ini kita bagi dua saja yang sama beratnya,  dan masing-masing akan mendapat separuhnya, ini  lebih adil, bagaimana?”
Mula-mula keduanya tidak menerima saran sang kera. Namun kera membujuk lagi. “Ya, kalau begitu, terserah kalian…selamat berantem saja” kata kera sambil mau berlalu. “Tunggu, baik kami terima usul itu, kamulah sekarang yang menimbang buah itu sehingga kami peroleh setengah bagian saja”
Lalu kera membelah semangka itu menjadi dua bagian, satu bagian di pegang di tangan kiri dan satu bagian lagi di tangan kanan kanan “Lihat baik-baik, semangka di tangan kiriku lebih berat daripada yang disebelah kanan ini artinya yang kiri harus ku makan sedikit agar seimbang” kata kera sambil memakan potongan semangka di sebelah kiri.
Setelah itu, tangan sebelah kanan diturunkan oleh sang kera sehingga seakan-akan  yang sebelah kanan lebih berat dari sebelah kiri. “Oh rupanya, belum seimbang juga, coba kalian lihat, nah makanya yang sebelah kanan harus ku makan sedikit agar seimbang” kata kera sambil memakan potongan semangka yang sebelah kanan. Demikianlah kera melakukan itu seterusnya dengan alas an “keadilan” sehingga potongan semangka yang di sebelah kiri atau kanan itu tidak tersisa. Dan sesaat kemudian kera kabur dari tempat itu meninggalkan  kedua binatang itu yang kini tak memiliki apa-apa dan menyesal mengapa mereka telah memilih kera sebagai “hakim “  untuk memutuskan perkara mereka.
***
Entah alasan apa banyak sekali fable-fabel yang pernah kita  baca atau kita dengar dari nenek atau orang tua kita menokohkan kera sebagai tokoh antagonis.  Dalam beberapa cerita, dapat diidentifikasi kera  sebagai tokoh yang licik, tidak berperasaan,  dan serakah. Tak ada sisi kebakaikan yang ditonjolkan lewat karakter ini. Padahal   menurut pendapat para ahli zoology kera dikenal sebagai primate yang cerdas. Darwin bahkan berani berpendapat kera ini sebagai nenek moyang ras manusia. Kita boleh membantah pendapat itu, meski memang secara bentuk fisik dari berbagai binatang yang pernah kumelendang di jagat  raya ini , kera “mirip” manusia. Paling tidak, karakter –karaker kera di atas, hampir semua ada dalam diri manusia., yang hidup di zaman primitive sampai sampai saat ini.
Cerita di atas, memiliki pesan moral yang jelas, bahwa keadilan tidak akan terwujud apabila hakim (dalam hal ini penegak hukum dalam arti yang lebih luas), memiliki mental kera. Apa saja itu? Pertama , memihak pada perutnya, kedua menghukum bukan atas keadilan tapi karena pertimbangan nafsunya, ketiga ya…. gabungan dari keduanya itu. Pesan moral yang berkutnya, adalah bila seorang bukan ahlinya lalu ditunjuk untuk menyelesaikan perkara, maka tunggulah saat kehancurannya.
Saat ini institusi di Negara ini yang paling terpuruk adalah lembaga peradilan. Munculnya mafia hukum, lalu ada juga kasus markus, memperlihatkan betapa carut marutnya dunia hukum kita. Institusi yang seharusnya menjad benteng bagi penegakan hukum dan perwujduan keadilan masyarakat itu telah menjelma menjadi lembaga tempat bersarangnya penjahat-penjahat hukum. Ini mengenaskan.
Sebagai bahan renungan  ada sebuah peristiwa  di jaman Ali bin  Abi Thalib. Dalam peperangan  Shiffin Ali bin ABi Talib  kehilangan  baju besinya. Setelah menjadi khalifah  beliau melihat baju besi itu ditangan seorang  Yahudi. Sedangkan orang Yahudi bersikeras baju besi itu adalah miliknya.  Untuk menyelesaikan perkara ini, di bawalah ke persidangan yang dipimpin hakim Syuraih. Dalam persidangan kedunya tetap bersikukuh pada pendapat  masing-masing bahwa baju besi itu miliknya. Saat itu, hakim bertanya kepada Khalifah Ali “ Wahai amirul mukminin, adakah bukti yang menunjukkan bahwa baju besi itu milik baginda?”
“Ada, saksinya adalah putra saya. Putra saya  betul bahwa baju besi tu kepunyaan saya sendiri” jawab Khalifah Ali. “Menurut hukum, kesaksian anak dalam perkara ayahnya sendiri tidak dapat diterma” jawab hakim Syuriah. Akhirnya hakim Syuriah menjatuh vonis bahwa baju besi  itu milik Yahudi dengan alas an Khalifah tidak dapat menunjukkan kesaksian kecuali dari anaknya yang tidak sah menurut UU di Negara tersebut.
Khalifah, yang notabene seorang presiden itu, menerima keputusan itu dengan lapang dada, tidak melakukan banding atau kasasi atau tidak menuntut PK. Kalau mau, karena posisinya seperti itu, bisa saja Amirul Mukminin menekan lembaga pengadilan  untuk memenangkan perkaranya.
Andai saja, para hakim itu memilki sifat dan keberanian seperti hakim Syuraih, tentu lembaga pengadilan adalah yang akan menjadi benteng penegakan hukum. Dan markus dengan segala antek-anteknya tidak bisa bebas begerak. Sayang, itu hanya terjadi di zaman Khalifah Ali, sungguh kita merindukan saat itu terjadi, sehingga tidak ada lagi hakim berwatak kera.

(Penulis Guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg dan pengelola Bapinger Education Cicalengka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text widget

About

Minggu, 03 Juni 2012

Bila Keadilan ada di Tangan “Kera”




Dua ekor binatang sedang bertengkar karena memperebutkan buah semangka yang baru ditemukannya. Keduanya merasa berhak atas temuannya, sehingga  masing-masing ingin memiliki semangka itu seutuhnya. Tak ada saksi lain di tempat itu, yang bisa menunjukkan siapa sebenarnya penemu pertama yang berhak memiliki semangka itu sepenuhnya. Pada saat pertengkaran itu sudah akan mencapai puncaknya, tiba-tiba melintaslah seekor kera k e TKP.
“Hai, sobat, kelihatannya ada keributan di sini “ sapa sang kera.
“Benar, apakah kamu mau bantu kami?” Tanya salah satu binatang itu.
“Oh, iya kenapa tidak,” kata sang kera. Lalu diceritakanlah kronologi peristiwanya. Katakanlah semacam rekonstruksi begitu. Selesai sala satu binatang itu bercerita, kera  berkata “ Kalau begini caranya tidak akan selesai, bagaimana kalau buah semangka  ini kita bagi dua saja yang sama beratnya,  dan masing-masing akan mendapat separuhnya, ini  lebih adil, bagaimana?”
Mula-mula keduanya tidak menerima saran sang kera. Namun kera membujuk lagi. “Ya, kalau begitu, terserah kalian…selamat berantem saja” kata kera sambil mau berlalu. “Tunggu, baik kami terima usul itu, kamulah sekarang yang menimbang buah itu sehingga kami peroleh setengah bagian saja”
Lalu kera membelah semangka itu menjadi dua bagian, satu bagian di pegang di tangan kiri dan satu bagian lagi di tangan kanan kanan “Lihat baik-baik, semangka di tangan kiriku lebih berat daripada yang disebelah kanan ini artinya yang kiri harus ku makan sedikit agar seimbang” kata kera sambil memakan potongan semangka di sebelah kiri.
Setelah itu, tangan sebelah kanan diturunkan oleh sang kera sehingga seakan-akan  yang sebelah kanan lebih berat dari sebelah kiri. “Oh rupanya, belum seimbang juga, coba kalian lihat, nah makanya yang sebelah kanan harus ku makan sedikit agar seimbang” kata kera sambil memakan potongan semangka yang sebelah kanan. Demikianlah kera melakukan itu seterusnya dengan alas an “keadilan” sehingga potongan semangka yang di sebelah kiri atau kanan itu tidak tersisa. Dan sesaat kemudian kera kabur dari tempat itu meninggalkan  kedua binatang itu yang kini tak memiliki apa-apa dan menyesal mengapa mereka telah memilih kera sebagai “hakim “  untuk memutuskan perkara mereka.
***
Entah alasan apa banyak sekali fable-fabel yang pernah kita  baca atau kita dengar dari nenek atau orang tua kita menokohkan kera sebagai tokoh antagonis.  Dalam beberapa cerita, dapat diidentifikasi kera  sebagai tokoh yang licik, tidak berperasaan,  dan serakah. Tak ada sisi kebakaikan yang ditonjolkan lewat karakter ini. Padahal   menurut pendapat para ahli zoology kera dikenal sebagai primate yang cerdas. Darwin bahkan berani berpendapat kera ini sebagai nenek moyang ras manusia. Kita boleh membantah pendapat itu, meski memang secara bentuk fisik dari berbagai binatang yang pernah kumelendang di jagat  raya ini , kera “mirip” manusia. Paling tidak, karakter –karaker kera di atas, hampir semua ada dalam diri manusia., yang hidup di zaman primitive sampai sampai saat ini.
Cerita di atas, memiliki pesan moral yang jelas, bahwa keadilan tidak akan terwujud apabila hakim (dalam hal ini penegak hukum dalam arti yang lebih luas), memiliki mental kera. Apa saja itu? Pertama , memihak pada perutnya, kedua menghukum bukan atas keadilan tapi karena pertimbangan nafsunya, ketiga ya…. gabungan dari keduanya itu. Pesan moral yang berkutnya, adalah bila seorang bukan ahlinya lalu ditunjuk untuk menyelesaikan perkara, maka tunggulah saat kehancurannya.
Saat ini institusi di Negara ini yang paling terpuruk adalah lembaga peradilan. Munculnya mafia hukum, lalu ada juga kasus markus, memperlihatkan betapa carut marutnya dunia hukum kita. Institusi yang seharusnya menjad benteng bagi penegakan hukum dan perwujduan keadilan masyarakat itu telah menjelma menjadi lembaga tempat bersarangnya penjahat-penjahat hukum. Ini mengenaskan.
Sebagai bahan renungan  ada sebuah peristiwa  di jaman Ali bin  Abi Thalib. Dalam peperangan  Shiffin Ali bin ABi Talib  kehilangan  baju besinya. Setelah menjadi khalifah  beliau melihat baju besi itu ditangan seorang  Yahudi. Sedangkan orang Yahudi bersikeras baju besi itu adalah miliknya.  Untuk menyelesaikan perkara ini, di bawalah ke persidangan yang dipimpin hakim Syuraih. Dalam persidangan kedunya tetap bersikukuh pada pendapat  masing-masing bahwa baju besi itu miliknya. Saat itu, hakim bertanya kepada Khalifah Ali “ Wahai amirul mukminin, adakah bukti yang menunjukkan bahwa baju besi itu milik baginda?”
“Ada, saksinya adalah putra saya. Putra saya  betul bahwa baju besi tu kepunyaan saya sendiri” jawab Khalifah Ali. “Menurut hukum, kesaksian anak dalam perkara ayahnya sendiri tidak dapat diterma” jawab hakim Syuriah. Akhirnya hakim Syuriah menjatuh vonis bahwa baju besi  itu milik Yahudi dengan alas an Khalifah tidak dapat menunjukkan kesaksian kecuali dari anaknya yang tidak sah menurut UU di Negara tersebut.
Khalifah, yang notabene seorang presiden itu, menerima keputusan itu dengan lapang dada, tidak melakukan banding atau kasasi atau tidak menuntut PK. Kalau mau, karena posisinya seperti itu, bisa saja Amirul Mukminin menekan lembaga pengadilan  untuk memenangkan perkaranya.
Andai saja, para hakim itu memilki sifat dan keberanian seperti hakim Syuraih, tentu lembaga pengadilan adalah yang akan menjadi benteng penegakan hukum. Dan markus dengan segala antek-anteknya tidak bisa bebas begerak. Sayang, itu hanya terjadi di zaman Khalifah Ali, sungguh kita merindukan saat itu terjadi, sehingga tidak ada lagi hakim berwatak kera.

(Penulis Guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg dan pengelola Bapinger Education Cicalengka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.