Dua ekor binatang sedang bertengkar karena memperebutkan
buah semangka yang baru ditemukannya. Keduanya merasa berhak atas temuannya,
sehingga masing-masing ingin memiliki semangka
itu seutuhnya. Tak ada saksi lain di tempat itu, yang bisa menunjukkan siapa
sebenarnya penemu pertama yang berhak memiliki semangka itu sepenuhnya. Pada
saat pertengkaran itu sudah akan mencapai puncaknya, tiba-tiba melintaslah
seekor kera k e TKP.
“Hai, sobat, kelihatannya ada keributan di sini “ sapa sang
kera.
“Benar, apakah kamu mau bantu kami?” Tanya salah satu
binatang itu.
“Oh, iya kenapa tidak,” kata sang kera. Lalu diceritakanlah
kronologi peristiwanya. Katakanlah semacam rekonstruksi begitu. Selesai sala
satu binatang itu bercerita, kera berkata “ Kalau begini caranya tidak akan
selesai, bagaimana kalau buah semangka ini kita bagi dua saja yang sama
beratnya, dan masing-masing akan
mendapat separuhnya, ini lebih adil,
bagaimana?”
Mula-mula keduanya tidak menerima saran sang kera. Namun
kera membujuk lagi. “Ya, kalau begitu, terserah kalian…selamat berantem saja”
kata kera sambil mau berlalu. “Tunggu, baik kami terima usul itu, kamulah
sekarang yang menimbang buah itu sehingga kami peroleh setengah bagian saja”
Lalu kera membelah semangka itu menjadi dua bagian, satu
bagian di pegang di tangan kiri dan satu bagian lagi di tangan kanan kanan
“Lihat baik-baik, semangka di tangan kiriku lebih berat daripada yang disebelah
kanan ini artinya yang kiri harus ku makan sedikit agar seimbang” kata kera
sambil memakan potongan semangka di sebelah kiri.
Setelah itu, tangan sebelah kanan diturunkan oleh sang kera
sehingga seakan-akan yang sebelah kanan
lebih berat dari sebelah kiri. “Oh rupanya, belum seimbang juga, coba kalian
lihat, nah makanya yang sebelah kanan harus ku makan sedikit agar seimbang”
kata kera sambil memakan potongan semangka yang sebelah kanan. Demikianlah kera
melakukan itu seterusnya dengan alas an “keadilan” sehingga potongan semangka
yang di sebelah kiri atau kanan itu tidak tersisa. Dan sesaat kemudian kera
kabur dari tempat itu meninggalkan kedua
binatang itu yang kini tak memiliki apa-apa dan menyesal mengapa mereka telah
memilih kera sebagai “hakim “ untuk
memutuskan perkara mereka.
***
Entah alasan apa banyak sekali fable-fabel yang pernah
kita baca atau kita dengar dari nenek
atau orang tua kita menokohkan kera sebagai tokoh antagonis. Dalam beberapa cerita, dapat diidentifikasi
kera sebagai tokoh yang licik, tidak
berperasaan, dan serakah. Tak ada sisi
kebakaikan yang ditonjolkan lewat karakter ini. Padahal menurut pendapat para ahli zoology kera
dikenal sebagai primate yang cerdas. Darwin bahkan berani berpendapat kera ini
sebagai nenek moyang ras manusia. Kita boleh membantah pendapat itu, meski
memang secara bentuk fisik dari berbagai binatang yang pernah kumelendang di
jagat raya ini , kera “mirip” manusia.
Paling tidak, karakter –karaker kera di atas, hampir semua ada dalam diri
manusia., yang hidup di zaman primitive sampai sampai saat ini.
Cerita di atas, memiliki pesan moral yang jelas, bahwa
keadilan tidak akan terwujud apabila hakim (dalam hal ini penegak hukum dalam
arti yang lebih luas), memiliki mental kera. Apa saja itu? Pertama , memihak
pada perutnya, kedua menghukum bukan atas keadilan tapi karena pertimbangan
nafsunya, ketiga ya…. gabungan dari keduanya itu. Pesan moral yang berkutnya,
adalah bila seorang bukan ahlinya lalu ditunjuk untuk menyelesaikan perkara,
maka tunggulah saat kehancurannya.
Saat ini institusi di Negara ini yang paling terpuruk adalah
lembaga peradilan. Munculnya mafia hukum, lalu ada juga kasus markus,
memperlihatkan betapa carut marutnya dunia hukum kita. Institusi yang
seharusnya menjad benteng bagi penegakan hukum dan perwujduan keadilan
masyarakat itu telah menjelma menjadi lembaga tempat bersarangnya
penjahat-penjahat hukum. Ini mengenaskan.
Sebagai bahan renungan
ada sebuah peristiwa di jaman Ali
bin Abi Thalib. Dalam peperangan Shiffin Ali bin ABi Talib kehilangan
baju besinya. Setelah menjadi khalifah
beliau melihat baju besi itu ditangan seorang Yahudi. Sedangkan orang Yahudi bersikeras
baju besi itu adalah miliknya. Untuk
menyelesaikan perkara ini, di bawalah ke persidangan yang dipimpin hakim
Syuraih. Dalam persidangan kedunya tetap bersikukuh pada pendapat masing-masing bahwa baju besi itu miliknya.
Saat itu, hakim bertanya kepada Khalifah Ali “ Wahai amirul mukminin, adakah
bukti yang menunjukkan bahwa baju besi itu milik baginda?”
“Ada, saksinya adalah putra saya. Putra saya betul bahwa baju besi tu kepunyaan saya
sendiri” jawab Khalifah Ali. “Menurut hukum, kesaksian anak dalam perkara
ayahnya sendiri tidak dapat diterma” jawab hakim Syuriah. Akhirnya hakim
Syuriah menjatuh vonis bahwa baju besi
itu milik Yahudi dengan alas an Khalifah tidak dapat menunjukkan
kesaksian kecuali dari anaknya yang tidak sah menurut UU di Negara tersebut.
Khalifah, yang notabene seorang presiden itu, menerima
keputusan itu dengan lapang dada, tidak melakukan banding atau kasasi atau
tidak menuntut PK. Kalau mau, karena posisinya seperti itu, bisa saja Amirul
Mukminin menekan lembaga pengadilan
untuk memenangkan perkaranya.
Andai saja, para hakim itu memilki sifat dan keberanian
seperti hakim Syuraih, tentu lembaga pengadilan adalah yang akan menjadi benteng
penegakan hukum. Dan markus dengan segala antek-anteknya tidak bisa bebas
begerak. Sayang, itu hanya terjadi di zaman Khalifah Ali, sungguh kita
merindukan saat itu terjadi, sehingga tidak ada lagi hakim berwatak kera.
(Penulis Guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg dan pengelola
Bapinger Education Cicalengka)