Senin, 04 Juni 2012


Membebaskan Siswa dari “Penjara” Kelas

Ketika berada di dalam kelas , seorang guru mengkondisikan  kelas agar nyaman  dengan cara menginstruksikan siswa duduk dengan tenang di bangkunya, tidak mengeluarkan gerakan maupun suara. Mengapa? Karena suara dan gerakan akan dipersepsikan sebagai gangguan yang akan menyebabkan “kerja otak” terganggu, sehingga tujuan belajar tidak tercapai.  Kondisi pembalajaran dalam kelas seperti itu tampaknya telah menjadi  satu formula dalam kegiatan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Walhasil,  kegiatan belajar mengajar dalam kelas menjadi monoton dan tidak menggairahkan sehingga lebih mirip “penjara” bagi siswa.
Proses belajar sesungguhnya merupakan  proses yang melibatkan kerja otak. Penelitian dan studi tentang otak sebagaimana di tulis oleh Jalauldin Rakmat lewat buku “Belajar  Cerdas , Belajar Berbasiskan Otak”, bisa mengubah persepsi dan pandangan kita tentang belajar. Berbagai eksperimen yang telah dilakukan  untuk mengetahui bagaimana kerja otak, menunjukkan bahwa  otak bekerja dengan baik bila disertai dengan gerakan serta di beri tantangan. Pendeknya,  budaya belajar yang monoton ternyata menyebabkan pekerjaan otak kurang berkembang. Untuk itu , guru perlu m elepaskan “kepercayaan “ tentang konsep belajar yang monoton menjadi kegiatan yang penuh gerakan dan tantangan, dan pada batas-batas tertentu toleransi pada kegaduhan. “Tikus-tikus pada usia berapapun dapat meningkatkan kecerdasannya jika diberi pengalaman belajar baru yang menantang dan berulangkali “ tuis Jalaludin Rakhmat mengutip Eric Jensen.
Lalu, bagaimanakah proses belajar mengajar yang dapat merangsang kerja otak? Tak ada salahnya  saran-saran David Saousa di bawah ini  dapat dijadikan referensi  berharga bagi para guru, dalam menciptakan suasana kelas yang menggairahkan, dan penuh tantangan.
Humor , humor di  dalam kelas  banyak memberikan keuntungan positif.  Berkaitan dengan saran ini Guru perlu menguji kembali anggapan bahwa humor bisa menurunkan wibawa guru.
Pergerakan. Ketika kita duduk diam selama lebih dari dua puluh menit, darah dalam tubuh terkumpul di pantat  serta di kaki kita. Dengan bangkit dan bergerak, kita melancarkan aliran darah. Dalam satu menit saja, kita akan memiliki 15 persen lebih banyak darah dalam otak. Kita benar-benar bisa berpikir lebih jernih sambil berdiri daripada sambil duduk.
Berapa jam kah pata siswa berada di sekolah? Khususny di dalam kelas ? Kurang lebih 4 jam  dikurangi waktu istirahat dua puluh menit  setiap hari, mereka ada di dalam kelas.  Kita bisa membayangan sebeku apa darah mereka. Guru dapat berupaya membuat siswa bangkit dan bergerak, terutama saat mereka harus berlatih secara verbal apa yang baru saja mereka pelajari.
Pengarahan multi-indrawi. Anak-anak masa kini sudah terbiasa dengan lingkungan yang multi-indrawi(melibatkan seluruh indera). Mereka akan lebih tertarik untuk memperhatikan pelajaran jika terjadi objek visual yang menarik serta berwarna-warni, serta jika mereka bisa berjalan-jalan di sekeliling kelas dan nembicarakan pelajaran yang mereka dapat.
Sudah saatnya guru tidak hanya mengunakan kapur berwarn putih saja, tetapi bisa memanfaatkan kapur berwana-warni, disertai dengan gambar dalam bentuk lingkaran kotak atau pun dalam bentuk visual.
Kuis dan Permainan. Mintalah murid-murid untuk membuat sebuah kuis atau permainan untuk saling menguji kemampuan mereka tentang konsep-konsep yang telah diajarkan. Ini merupakan startegi umum  yang sering diterapkan di kelas-kelas dasar, tetapi jarang digunakan di sekolah-sekolah menengah. Selain menyenangkan, permainan serta kuis memiliki nilai tambah, dalam arti mengharuskan murid-murid untuk berlatih dan mengerti sebuah konsep sebelum mereka bisa membuat pertanyaan-pertanyaan kuis beserta jawabannya..
Untuk menciptakan kuis, guru dapat saja memodifikasi dan mengadopsi  berbagai kuis di televise sesuai dengan kondisi dan tujuan yang ingin dicapai.
Musik. Meskipun penelitian ini masih tidak memiliki bukti-bukti lengkap, terdapat beberapa keuntungan jika kita memainkan musik di dalam kelas pada waktu-waktu tertentu  selama pelajaran
Pada umumnya, siswa dan guru menyenangi musik, musik menimbulkan kenikmatan dan kesenangan. Namun, memang bermain musik di dalam kelas , diluar pelajaran kesenian memang sesuatu yang aneh, tapi tak ada salahnya dicoba.
(Penulis guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg dan Pengelola Bapinger Education Cicalengka)



Hipnotis Masuk Sekolah? Siapa takut !



Melalaui salah satu acara di TV, Uya Kuya berhasil menghipnosis masyarakat bahwa hionosis itu adalah upaya menelanjangi atau membongkar aib orang lain. Tak terlalu mengherankan bila kemudian masyarakat alergi terhadap hypnosis. Apalagi banyak modus kejahatan dengan modus “hipnotis”. Lengkaplah sudah stigma masyarakat terhadap hypnosis sebagai sesuatu yang mesti diwaspadai, atau bila perlu dianggap sebagai “kelakuan sesat”.
Dibalik semua kesesatan yang dimilikinya, hypnosis sebenarnya merupakan kajian ilmiah. Bahkan perkembangan hypnosis yang demikian pesat pun sudah mulai membidik wilayah pendidikan. Kemudian munculah hipnoteaching. Dengan kata lain, hipnoteaching adalah pendekatan pembelajaran untuk menggali potensi siswa dan mengefektifkan proses pembelajaran, dengan menerapkan teknik  hipnotis.
Berdasarka asumsi itulah, saya mencoba memasyarakatkan hipnoteaching di sekolah. Gairah saya semakin bertambah besar saat sahabat baik saya Prof. Suherli ( guru besar di Universitas Galuh Ciamis), menulis komentar di akun fecebook saya  “metode Sugestopedia yang dikembangkan Gategno, yaitu sebuah metode yang mengangkat potensi bawah sadar seseorang untuk merambah dan terlibat di dunia imaji yang dimanipulasi melalui audio. Selamat mengembangkan metode tersebut!”. Saya penasaran ingin menggali sugestopedia dari beberapa sumber. Ternyata, sebelumnya suda ada juga yang men coba melakukan penelitian penggunaan metode sugestopedia ini.
Metode ini (sugestopedia) ditemukan oleh seorang psikiater Bulgaria, Dr. Georgi Lozanov. Bermula ketika Lozanov menganalisis pasien-pasien kejiwaan dengan musik baroque yang menenangkan dan memberi mereka sugesti positif mengenai kesembuhan mereka. Ternyata banyak pasien mengalami kemajuan besar.
Lozanov merasa bahwa metode ini juga dapat diterapkan pada pendidikan. Menurut Lozanov, “suggestology” adalah sebuah pengkondisian kegiatan belajar-mengajar yang memungkinkan para pembelajar untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan.

Intinya antara hipnoteaching dengan metode sugestopedia ini memang memliki tujuan dan prinsip yang sama. Yang menggembirakan adalah bahwa hipnoteaching adalah kajian ilmiah dan sangat bermanfaat bila diterapkan dalam dunia pendidikan. Jadi tak ada alasan untuk menolak hinpteaching di dalam dunia pendidikan. Hipnoteaching atau sugetopedia, tentu tidak sama dengan Uya Kuya. Hinponisi di sekolah? Siapa Takut.
(Artikel  ini sebagai bahan saya untuk artikel di harian Galamedia)


Memahami Otak Manusia

Judul                           : Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak
Penulis                       : Jalaludin Rakhmat
Penerbit                    : Peberbit Kaifa Bandung
Cetakan                     : Kesatu, September 2010
Tebal                           :  288 hal.

Secara fisiologis otak manusia serupa tetapi tidak sama dengan tikus dan binatang lainnya.  Berbagai penelitian yang dilakukan para ahli untuk menganalisis perkembangan otak manusia, mengambil tikus sebagai objeknya.  Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Ilmuwan saraf Fred Gage di The Salk Insitutute for Biological Studies di Lajolla, California. Bersama timnya Gage menempatkan bayi-bayi tikus dalam dua kelompok. Kelompok pertama pada sangkar laboratorium yang biasa. Sedangkan kelompok yang kedua pada lingkungan yang “diperkaya” dengan anak-anak tangga, roda-roda berputar, makanan baru dan banyak interaksi social. Dua bulan kemudian,  dengan menggunakan obat pelacak untuk mendeteksi sel-sel otak baru, diperioleh hasil yang menakjubkan. Tikus yang berada dalam sangkar yang biasa mempunyai 270.000 netron pada setiap belahan hippocampus. Sementara itu, tikus  yang tumbuh dalam sangkar yang “diperkaya”  memiliki 50.000 sel otak lebih banyak pada setiap belahan hippocampus. Artinya, lingkungan  seperti  pada tikus dalam sangkar yang diperkaya, dan  penuh rangsangan menambahkan 20 persen lebih banyak sel otak.Penelitian yang dilakukan Gage telah mematahkan  anggapan yang selama ini berkembang, bahwa potensi otak manusia disebabkan oleh keturunan. Perbadingan antara factor lingkungan dan keturunan  berada pada posisi fifty-fity.
Pada usia tua bahkan  otak manusia bisa semakin cerdas .Biarawati di School Sisters of Notre Dame, di pedesaan  Mankato, Minnesota, Amrika mencapai umur lebih dari 90 tahun. Bahkan sebagian besar ada yang mencapai usaia seratus. Resepnya adalah para biarawati tersebut terus menerus memberikan tantangan pada otaknya dengan kuis kata-kata , teka-teki dan debat tentang pemeliharaan kesehatan. Bagi mereka “Jiwa yang malas adalah mainan setan”.
Sebagaimana organ tubuh lainnya, otak memerlukan makanan. Makanan yang terbaik bagi otak bersumber dari lemak yang berasal dari ikan, seperti ikan salmon, ikan paus dan anjing laut. Lemak dari ikan tersebut mengandung zat yang disebut omega3. Kekurangan zat tersebut pada manusia akan berakibat timbulnya penyakit mental seperti : depresi, ingatan  yang jelek, kecerdasan yang rendah, kelemahan belajar, disleksia, pikun dan penyakit saraf degenartif. Dalam ungkapan yang hiperbolis, sekiranya nenek moyang kita tidak makan ikan, kita sekarang masih bergayut di pepohonan atau berjalan terbungkuk-bungkuk dengan membawa peralatan yang primitive.
Dalam hal otak ,siapapun tahu bagaimana kejeniusan otak Einstein. Hal ini mengudang para ilmuwan untuk meneliti  apa yang ada di otak Eistein. Adalah Marian C. Diamond mantan Kepala Lawrebce Hall of Science Universitas California Berkeley yang mendapat kehormatan untuk membedah otak Einstein. Para pakar berharap Dr. Diamon bisa menjawab pertanyaan  apakah otak para jenius  berbeda secara  fisik dengan otak kebanyakan orang?. Setelah membedah otak Einstein  dan membandingkannya dengan  sebelas otak manusia lainnya,ditemukan bahwa  secara fisik tidak terdapat pebedaan  berarti antara otak Einstein dengan sebelas otak lainnya, dengan pengecualian yang menarik bahwa otak Einstein  terdapat jenis sel tertentu yang berjumlah sangat banyak. Daerah tersebut disebut Area 39, para penelitia percaya bahwa Area 39 adalah  situs yang paling canggih dan paling berkembang (highly evolved).
Banyak informasi yang berharga dari buku Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak, yang ditulis Jalaludin Rakhmat ini. Paparan di atas, hanya sebagian dari berbagai hal yang menarik dan mengangumkan dari otak manusia. Begitu banyak informasi penting yang terdapat dalam buku ini, sehingga buku ini pantas menjadi referensi bagi guru, dokter, psikolog, maupun orang tua. Melalui buku itu pembaca akan disuguhi hasil penelitian para ilmuwan untuk mengungkap bagaimana otak manusia bekerja. Meski buku ini tetap menjaga ciri ilmiahnya, namun tidak berarti buku ini akan menjad buku teks yang membosankan. Jalaludin Rakhmat mengemas uraian yang serius men jadi santai bahkan dengan cara berseloroh. Buku ini dilngkapi pula dengan illustrasi, sehingga membantu pembaca untuk lebih memahami uraian yang ada di dalamnya. Meski, buku ini banyak disesaki istilah  istilah yang rumit tentang bagaimana otak bekerja, namun pembaca   seperti dikakatakan penulisnya tidak harus menjadi penghambat untuk memahami buku ini. (Iwan Ardhie Priyana, guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg, dan Pengelola Bapinger Education Cicalengka)

Mungkinkah Pelajar kita Mengidap “Nekrofillia” ?



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Fenomena kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan para pelajar belakangan ini, tampaknya memiliki kecenderungan mengalami kenaikan baik dari sisi kualitas ,maupun kuantitas. Maraknya fenomena kekerasan, anarkisme, serta kenakalan pelajar yang cenderung overdosis, dan di luar takaran kepatutan itu, oleh kalangan sosiolog ditengarai sebagai mulai berjangkitnya nekrofilia.
Nekrofilia adalah bentuk perlaku destruktif dengan mengeploitasi dan merusak orang lain atau benda-benda serta lingkungan. Gejala nekrofilia ditunjukkan dengan berbagai bentuk perilaku sadis, seperti tertarik dan berpenampilan pada segala bentuk kematian, senang berbicara penyiksaan, kamatian dan penguburan. Mereka yang diindikasikan gejala nekrofilia memilki kecenderungan untuk terikat dengan kekuasaan, dan menyelesaikan persoalan dengan menggunakan kekerasan.

Faham orang bermental nekrofilia selalu memandang orang-orang di sekitarnya sebagai objek yang harus ditaklukan. Dalam paradigma seperti ini jelas tidak mungkin bagi pribadi seperti ini mengakui eksistensi yang lain, selain berusaha menghancurkannya dengan berbagai cara.
Menurut Form, sebagaimana dikutip Mubiar Agustin dalam tulisanya “Kecenderungan Nekrophilia pada Pelajar” nekrofilia , merupakan sebuah penyakit yang ditularkan oleh sistem sisio-kultural di masyarakat. Pendapat senada dikemukakan oleh Sosiolog dari Universitas Diponegoro, Semarang, Triyono Lukmantoro bahwa nekrofilia ditentukan situasi-situasi sosial yang melingkupi kehidupan individual. Lenyapnya cinta terhadap sesama adalah salah satu pendorong kemunculan nekrofilia. Sistem kehidupan yang terarah pada relasi yang saling mengasingkan merupakan pemicu merebaknya masyarakat nekrofilia.

Model-model perilaku nekrofilia dapat dengan mudah dijumpai melalui berita media massa. Para pelajar kita disuguhi adegan tawuran politikus dalam sidang parlemen, saling hujat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, bentrokan fisik antara satu ormas dengan ormas yang lain, demontrasi yang selalu berujung ricuh, penggusuran PKL dan eksekusi rumah yang dibumbui adegan saling pukul, protes pilkada dengan membakar fasilitas umum, kasus pembunuhan dengan cara mutilasi yang menjadi “tren” -untuk menyebut beberapa contoh- telah menjadikan metode pembelajaran yang efektif atas fenomena kekerasan yang dipertontonkan tanpa filter dan sangat telanjang di depan mata para pelajar kita.

Gejala nekrofilia sesungguhnya dapat ditangkal, apabila semua komponen di masyarakat baik yang terkecil yakni individu serta keluarga sampai dengan negara dan bangsa harus secara aktif mengubah nilai ke arah yang positif. Form menyadari, bahwa masyarakat narsistik dan ekploitatif tidak akan eksis, Form pun meyakini bahwa masyarakat akan senang hidup dalam kooperasi dan harmoni, masyarakat yang sehat akan menciptakan individu yang sehat.
Akan tetapi, kita menyadari bahwa, menciptakan model kehidupan masyarakat seperti yang digambarkan Katon Bagaskara “ dimana kedamaian menjadi istananya” tidaklah mudah. Masyarakat yang demikian itu akan terwujud jika ada kesadaran kolektif bangsa ini menciptakan harmoni dan kedamaian melalui sikap toleran, saling menghargai, saling membutuhkan, mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai, kekuasaan dan kelompok. Keteladanan (sesuatu yang sudah mulai langka belakangan ini) perlu ditumbuhkan baik di level bawah, seperti guru, orang tua , sampai dengan pejabat dan pengambil keputusan seperti pejabat pemerintah, politisi, dan elit-elit parpol.

Sikap legawa untuk mau menerima kekalahan dengan gentlemen (tidak hanya sekedar ikrar belaka), demokrasi yang menjunjung tinggi sportifitas, dapat menjadi prasyarat untuk mereduksi konflik-konflik yang bernuansa kekerasan, sehinga tidak menjelma menjadi sebuah tontonan yang dapat memancing kebencian. Benar memang kata Form bahwa individu yang sehat akan dari masyarakat yang sehat.
Upaya yang sungguh-sungguh untuk menata kembali bangsa ini melalui komitmen berbagai komponen bangsa; meniscayakan lahirnya sebuah masyarakat yang sehat tempat para remaja dan pelajar kita sebagai penerus masa depan meniti kehidupannya dengan penuh rasa aman, damai dan penuh optimisme. 

Akualisasi Nilai Kepahlawanan dalam Pendidikan



Oleh Iwan A.Priyana

Selama tiga abad lebih tanah air kita dibelenggu oleh penjajah, berkat jasa dan perjuangan para pahlawan belenggu itu berhasil dilepaskan. Oleh sebab itu , benarlah kata pepatah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang meghargai pahlawannya. Sebaliknya, hanya bangsa yang kerdilah yang tidak mau menghargai jasa para pahlawan yang telah mengorbankan harta dan raganya untuk mencapai kemerdekaan. Meski secara fisik perjuangan para pahlawan telah usai seiring dengan lahirnya kemerdekaan, akan tetapi sesungguhnya semangat serta nilai-nilai kepahlawanan harus tetap dikorbankan dan diaktulisasikan oleh generasi berikutnya. Atkualisasi nilai-nilai kepahlawanan tersebut dapat diimplemesikan dalam dunia pendidikan.

Setidaknya, ada tiga nilai kepahlawanan yang  perlu diaktulisasikan dalam dunia pendidikan, yakni : 1) berjuang untuk tujuan mulia, 2) rela berkorban dan 3) semangat pantang menyerah. 

Berjuang untuk tujuan mulia.  Kemerdekaan agar  bebas dari segala macam bentuk pejajahan adalah tujuan mulia yang senantiasa menjadi spirit perjuangan para pahlawan. Dalam konteks pendidikan, siswa yang belajar pada dasarnya ingin mencapai tujuan mulia, yakni mencapai cita-cita , serta menjadi manusia yang berguna. Inilah nilai yang perlu kembali di tanamkan pada siswa. Saat ini makna pendidikan sering kali direduksi hanya sekedar memperoleh ijazah, mendapat gelar, atau bahkan lebih sempit lagi hanya sekedar lulus  ujian. Pendangkalan tujuan pendidikan ini yang menyebabkan para siswa kehilangan semangat dan gairah belajar, menjadi apatis, dan bahkan mungkin kehilangan arah dan tujuan . Harapan untuk mencapai tujuan mulia itulah hal penting yang perlu terus menerus ditanamkan pada para siswa agar mereka menjadi manusia yang memiliki visi ke depan.

Para pejuang kita dahulu berjuang untuk mencapai kemerdekaan tersebut dengan mengorbankan, harta dan nyawa. Pepatah mengatakan “ Jer besuki mawa bea”, tiada perjuangan tanpa pengorbanan. Seseorang yang sudah berniat ingin berjuang tentu harus memikul resiko untuk mau berkorban. Mustahil sebuah perjuangan dapat direbut hanya dengan berpangku tangan, atau sekedar mengharap durian runtuh. Demikian juga dalam pendidikan. Pendidikan sebagai sebuah perjungan memerlukan pengorbanan, baik berupa finansial, waktu dan tenaga. Bahwa tujuan yang ingin dicapai haruslah melalui perjuangan yang berat, penuh tantangan dan hambatan. Para siswa perlu memahami hal ini agar mereka bersungguh-sungguh dalam menempuh pendidikan.

Seorang pahlawan memilki semangat pantang menyerah. Para pahlawan kita dikenal sebagai para pejuang yang gagah berani, meskipun mereka hanya bermodal bambu runcing , atau senjata rakitan. Tetapi semangat pantang menyerah yang dimiliki para pejuang bangsa inilah yang mampu mengalahkan senjata modern para penjajah. Saat ini, semangat itu perlu kembali di tanamkan dalam dunia pendidikan. Dewasa ini banyak siswa yang terpaksa drop out atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dengan alasan ekonomi. Angka partisipasi sekolah serta  angka rata-rata melanjutkan sekolah di beberapa daerah berada pada level rendah. Anak-anak yang berusia sekolah banyak yang terpaksa menjadi anak jalanan , pengamen , pemulung dsb, dengan alasan  biaya, meski pemerintah sudah  berupaya keras dengan berbagai program , seperti bea siswa untuk siswa miskin, bantuan Biaya Operasional Sekolah (BOS), serta  berbagai program untuk rakyat miskin lainnya. Ini salah satunya disebabkan karena mental yang lemah sehingga mudah menyerah dengan keadaan.

Kemiskinan sebenarnya bukan hambatan untuk mencapai cita-cita. Justru dengan segala keterbatasanlah yang menyebabkan siswa harus berjuang keras demi mencapai tujuan. Sejarah membuktikan bahwa , riwayat hidup orang-orang besar itu bukan dari keluarga kaya atau berkecukupan.
Penulis guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung


Implikasi Pendidikan dalam pembentukan konsep Diri



Oleh Iwan Ardhie Priyena
Apa yang anda pikirkan tentang diri Anda? Apakah anda orang yang selalu optimis dalam mengahadapi berbagai persoalan hidup? Apakah Anda siap menghadapi resiko atas setiap keputusan yang Anda lakukan? Apakah Anda merasa orang-orang yang ada di sekeliling Anda adalah orang-orang yang menyenangkan sehingga Anda merasa nyaman berhubungan dengan mereka? Atau Anda merasakan bahwa setiap orang memusuhi Anda, dan Anda selalu merasa bodoh atas segala tindakan dan keputusan yang Anda ambil, serta  Anda merasa bahwa  hidup ini begitu tidak menyenangkan karena banyak sekali persoalan yang sulit Anda hadapi? Atau kah Anda selalu berimajinasi  bahwa hal-hal buruk akan menimpa Anda sautu saat nanti?
Jika Anda memikirkan apa "yang Anda suka", hidup Anda akan dipenuhi oleh hal itu. Dan sebaliknya , jika Anda selalu memikirkan hal-hal "yang tidak Anda suka" maka yang terjadi dalam hiudp Anda pun akan mencerminkan itu. Demikian satu pernyataan dari buku “Quantum Ikhlas” yang mungkin bisa menggugah kesadaran  kita  untuk mengolah konten pikiran Anda. Artinya betapa dahsyatnya pengaruh pikiran kita dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh pikiran tersebut juga dapat mencerminkan konsep diri seseorang.
Konsep diri  adalah  keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Ada dua macam konsep diri, yakni konsep diri negative dan konsep diri positif. Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa mendeteksi apakah kita  termasuk kelompok orang yang memiliki konsep diri negatif atau positif.
Brooks dan Emmert (dalam Rahmat, 1996), mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara orang yang meiliki  konsep diri positif dan seseorang dengan konsep diri negatif. Perbedaan tersebut dapat ditunjukkan melalui beberapa indikator yakni : orang yang memiliki konsep diri positif
 memiliki  keyakinan  akan kemampuan dalam mengatasi masalah; merasa setara atau sederajat dengan orang lain; menerima pujian tanpa rasa malu; menyadari bahwa setiap orang memilki berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya dapat diterima oleh masyarakat;  memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri sendiri; memiliki kesanggupan dalam mengungkapkan aspek yang tidak disenangi dan berusaha untuk mengubahnya.

Sedangkan orang yang memiliki  konsep diri negatif,  ditunjukkan melalui perilaku antara lain : peka terhadap kritik, namun di persespi  sebagai upaya orang lain untuk menjatuhkan harga dirinya; cenderung menghindari dialog yang terbuka;  selalu mempertahankan pendapat dengan berbagai logika yang keliru;   sangat respek terhadap berbagai pujian yang ditujukan pada dirinya dan segala atribut atau embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya;  memiliki kecenderungan bersikap hiperkritis terhadap orang lain; jarang bahkan tidak pernah mengungkapkan penghargaan atau pengakuan terhadap kelebihan orang lain; memiliki perasaan mudah marah, cenderung mengeluh dan meremehkan orang lain;  merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan oleh orang banyak, karena itulah cenderung bereaksi untuk menciptakan permusuhan;  tidak mau menyalahkan diri sendiri namun selalu memandang dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak benar; pesimis terhadap segala yang bersifat kompetitif, enggan bersaing dan berprestasi, serta tidak berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.(http://duniapsikoligi.dagdigdug.com)

Konsep diri yang di miliki oleh seseorang  bukanlah bersifat genetic atau pembawaan yang diturunkan dari orang tuanya. Dengan kata lain, konsep diri yang dimiliki seseorang baik yang negative atau yang positif bukan bakat atau karakter bawaan. Konsep diri lebih banyak ditentukan oleh fakor lingkungan sekitar, seperti keluarga, pergaulan dan pendidikan di masa kecil. Harus diingat pula, bahwa konsep diri ini tidak bersifat permanen. Sebab, bias saja seseorang mengubah konsep dirinya dari negtatif ke positif atau sebaliknya  seiring muncul keadaran baru tentang dirinya. Yang diharapkan tentu adalah perubahan dari konsep diri negative ke konsep diri positif dan bukan sebaliknya. Sebab, konsep diri negative memang dapat merugikan pribadi yang bersangkutan, terutama dalam hubungan dengan proses sosialiasasi  maupun dalam karir dan pekerjaan.
Faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan konsep diri adalah, pola asuh orangtuanya, kegagalan, serta depresi. Orang tua tanpa disadari  sering mengeluarkan stigma ,seperti “segini aja kamu ini ngga bias…bodoh amat sih kamu”, “kamu ini memang pemalas…” “kamu memang nggak punya bakat maju” dsb. Bila stigma itu  sering dikemukakan oleh orang tua, maka dalam waktu lama, terbentuklah dalam diri sang anak konsep dirinya sebagai orang yang “bodoh” “malas” dan “gagal”. Ini lah mengapa pentingnya orang tua berhati-hati dalam mengeluarkan penilaian pada anaknya.
Lingkungan keluarga dan lingkungan seseorang sekitarnya  di masa kecil memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri. Lewat sajaknya yang terkenal Dorte Law Nolte menggambarkan dengan gamblang : jika anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk menyalahkan ,jika anak hidup dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi  ,jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar untuk jadi pemalu , jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah , jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar untuk menjadi penyabar, jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar untuk percaya diri, jika anak hidup dengan pujian, ia belajar untuk menghargai , jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar untuk bersikap adil,  jika anak hidup dengan perlindungan, ia belajar untuk memiliki keadilan, jika anak hidup dengan restu, ia belajar untuk menyukai diri sendiri Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukancinta di dunia
Konsep diri positif berperan penting dalam mencapai kemajuan bagi seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika oleh Dr. Eli Ginzberg beserta timnya menemukan satu hasil yang mencengangkan. Penelitian ini melibatkan 342 subyek penelitian yang merupakan lulusan dari berbagai disiplin ilmu. Para subyek penelitian ini adalah mahasiswa yang berhasil mendapatkan bea siswa dari Colombia University. Dr. Ginzberg dan timnya meneliti seberapa sukses 342 mahasiswa itu dalam hidup mereka, lima belas tahun setelah mereka menyelesaikan studi mereka. Hasil penelitian yang benar-benar mengejutan para peneliti itu adalah: Mereka yang lulus dengan mendapat penghargaan (predikat memuaskan, cum laude atau summa cum laude), mereka yang mendapatkan penghargaan atas prestasi akademiknya, mereka yang berhasil masuk dalam Phi Beta Kappa ternyata lebih cenderung berprestasi biasa-biasa. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara keberhasilan akademik dan keberhasilan hidup. Lalu faktor apa yang menjadi kunci keberhasilan hidup manusia ?  Kunci keberhasilan hidup adalah konsep diri positip (adi@adiwgunawan.com)
Pemahaman orang tua terhadap pentingnya konsep diri bagi anak-anak, tentunya membawa implikasi dalam model pendidikan yang diterapkan di rumahnya. Sehingga, orang tua dituntut untuk menerapkan pola pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan konsep diri positif bagi anak-anaknya. Pemahaman tentang konsep diri bagi anak juga penting diketahui oleh para guru di sekolah, terutama di sekolah dasar, Proses pembentukan konsep diri dimulai sejak anak masih kecil. Masa kritis pembentukan konsep diri adalah saat anak masuk di sekolah dasar. Glasser, seorang pakar pendidikan dari Amerika, menyatakan bahwa lima tahun pertama di SD akan menentukan “nasib” anak selanjutnya. Sering kali proses pendidikan yang salah, saat di SD, berakibat pada rusaknya konsep diri anak.
(Penulis guru SMPN 1 Nagreg,  SMP YP 17 Nagreg, dan pengelola Bapinger Education Cicalengka)


Negeri Tanpa Rasa Malu




Iwan Ardhie Priyana
Beberapa tahun yang lalu kita pernah dihebohkan dengan beredarnya rekaman video porno salah seorang oknum anggota DPR dengan  wanita aktivis salah satu partai . Tak pelak lagi, video itu mengundang reaksi keras masyarakat. Sebab tidak saja Partai yang menjadi pengusung oknum anggota DPR itu yang tercemar, tetapi Senayan pun mendulang kecaman  masyarakat; ditengah menurunnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap perlemen. Sungguh mengherankan, bagaimana seorang  wakil rakyat “yang terhormat”  itu melakukan tindakan nista seperti itu. Buntut kejadian tersebut  oknum anggota DPR itu mengundurkan diri, dan kasus nya sendiri sepertinya hilang tak jelas rimbanya .Namun, yang tak kalah hebohnya adalah beberapa waktu yang lalu , wanita yang menjadi teman kencan sang mantan anggota DPR muncul lagi di tengah  public kali ini  mencalonkan diri sebagai calon bupati salah satu kabupaten di Jawa Timur.
Hari-hari ini pun kehebohan terulang lagi, menyusul  beredarnya video porno yang pelakunya “mirip” Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari. Di banding video porno mantan oknum anggota DPR, video porno mirip ketiga selebritis itu benar-benar menyedot perhatian masyarakat, bahkan mampu menggeser popularitas kasus Susno Duadji, Dana Aspirasi Masyarakat yang di gagas DPR dan Kasus Bank Century.Kasus itu pun juga menyita perhatian public mancanegara karena dikutip juga oleh media asing. Sungguh, inilah Kejadian yang menyedihkan dan menyakitkan bagi negeri yang sudah jatuh bangun didera krisis ekonomi ini. Terkait dengan kasus ini ,Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan menegaskan bahwa bangsa ini tengah mengalami krisis moral.
Krisis moral yang paling nyata dengan mengaca pada kasus video porno teserbut , salah satu nya adalah hilangnya rasa malu. Lihat saja bagaimana wanita yang menjadi pasangan mesum mantan anggota DPR itu berani tampil kembali, tak tanggung-tanggung pula untuk mencalonkan diri menjadi calon bupati;  meski sesungguhnya,  dari sisi regulasi , perundang-undang  dan HAM, setiap orang punya hak untuk mencalonkan diri dalam Pilkada. Tanpa rasa malu pula seseorang berani merekam adegan yang tidak pantas di tempat tidur, dan dengan tanpa rasa malu pula seseorang bisa tampil  untuk “membantah” dengan dalih itu hanya mirip dirinya. Bila di runtut lagi kebelakang, berbagai peristiwa yang menunjukkan hilang rasa malu juga dipertontonkan , melalui adu otot anggota DPR dalam sidang paripurna,  saling memaki  dengan mengeluarkan kata-kata kasar dalam sidang yang ditonton jutaan pemirsa televisi. Meski semua itu dibungkus dengan bingkai demokrasi dan kebebasan berpendapat. Menyedihkan karena pelakunya adalah orang-orang terhormat yang seharusnya menjaga kehormatan dirinya.
Rasa malu sejatinya merupakan fitrah manusia yang dengan itu manusia menempatkan dirinya sebagai manusia yang beradab . Melalui rasa malu manusia mampu mengontrol dirinya untuk  menghindari melakukan tindakan yang akan menghancurkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Tanpa rasa malu, manusia sudah memposisikan dirinya sejajar dengan hewan yang setiap tindakannya lebih dirorong oleh nafsunya. Lemahnya kesadaran akan fitrah itu lah yang mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan instingtif, seperti marah tak terkendali, dan meluapkan nafsu birahi tanpa kontrol diri.
Yang mengherankan adalah, rasa malu itu masih dimiliki oleh orang-orang kecil yang tertindas. Perhatikan bagaimana para PSK  , pelaku tindakan criminal, yang menutupi wajahnya saat tertangkap kamera  televisi. Pemandangan sebaliknya jutsru ditunjukkan koruptor yang masih sempat cengengesan dan tersenyum di depan kamera.
Sebagai bangsa yang besar, bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur, seharusnya rasa malu menjadi karakter bangsa yang akan mendorong bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Dengan rasa malu, politisi menghindari  korupsi, juga pejabat rela mundur karena janji-janjinya saat kampanye tidak terbukti.Tak ada lagi caci maki dan adu jotos di depan televisi, takkan ada lagi yang berani beradegan mesum di depan kamera meski dengan dalih untuk kepentingan diri sendiri.
Upaya untuk mencegah krisis moral yang lebih parah lagi,  memang memerlukan  usaha yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Salah satunya adalah keteladanan para politisi dan pemimpin negeri ini yang ditunjukkan  melalui perilakunya. Bukan hanya dengan berbagai peraturan dan Undang-undang yang sekedar tertulis saja tanpa ada realisasinya.
Hadis di bawah ini hendaknya menjadi perenungan kita bersama :
“Jika Allah ingin menghancurkan suatu kaum, maka dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang timbul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati itu membudaya, maka Allah akan mencabut dari mereka sikap amanah dan tanggung jawab. Bila sikap amanah telah lenyap maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para pengkhianat sudah merajalela maka Alaah akan mengangkat rahmat-Nya dari mereka. Bila rahmat Allah telah sirna maka akan tampillah manusia-manusia terkutuk. Bila manusia-manusia laknat itu telah berkuasa maka akan tercabutlah dari kehidupan mereka tali-tali Islam.” (HR. Ibnu Majah).


Menyoal Pendidikan Antikorupsi di Sekolah



Oleh: Iwan Ardhie Priyana

KEMENDIKNAS berencana memasukkan kurikulum antikorupsi di sekolah tahun depan. Pendidikan antikorupsi tersebut bukan dalam bentuk mata pelajaran, "Yang pasti, materi antikorupsi ini mirip oksigen. Tidak bisa dilihat mata, tetapi dibutuhkan. Di semua mata pelajaran, materi ini ada, baik matematika, sejarah, fisika, biologi, PPKN, dan pelajaran lain," kata Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (3/10) sebagaimana di kutip sebuah harian. Nuh mengatakan, korupsi disebabkan dua faktor, salah satu di antaranya manusia. Ihwal mengapa dipilih sekolah, Nuh mencontohkan bentuk korupsi dalam bentuk mencontek yang sudah jadi kultur di sekolah.

Wacana tentang pendidikan antikorupsi awalnya sayup-sayup pernah diwacanakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu yang lalu. Boleh jadi gagasan ini merupakan satu terobosan untuk memutus mata rantai korupsi hingga ke akar-akarnya. Sebab, selama ini pemberantasan korupsi telah menjadi agenda besar bangsa ini, yang harus segera dituntaskan. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi aktif semua elemen masyarakat, terutama di bidang pendidikan. Karena, pendidikan memiliki posisi strategis sebagai pembentuk karakter bangsa, sekaligus penanaman nilai-nilai kejujuran yang kelak akan mencegah perilaku korup.

Berbeda dengan KPK dan Kemendiknas yang begitu optimis dengan gagasan ini, reaksi sebaliknya bermunculan dari pengamat pendidikan dan LSM yang selama ini gigih memberantas korupsi. Argumen yang diajukan adalah, bagaimana mungkin bisa menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah, sementara sekolah sendiri adalah lembaga yang tidak steril dengan korupsi. Kendati menuai kontroversi, Kemendiknas tampaknya tetap akan melaksanakan progam ini. Oleh sebab itu, masyarakat hendaknya tidak perlu apriori dan suuzan dalam menilai langkah ini. Bagaimanapun, berbagai upaya tetap perlu dilakukan secara sungguh-sungguh guna memerangi "musuh bangsa nomor satu" ini.

Yang perlu mendapat perhatian pemerintah, apabila progam ini dilaksanakan, adalah diperlukan sikap konsistensi dan sosialisasi. Konsistensi menyangkut keberlangsungan program ini ke depan. Selama ini, lembaga pendidikan sering dijadikan kelinci percobaan oleh pemerintah untuk memasukkan program tertentu di sekolah. Setelah dijalankan, pemerintah tidak sungguh-sungguh mengawalnya, sehingga akhirnya berbagai program tersebut tak jelas ujung pangkalnya. Padahal tidak sedikit waktu dan biaya yang telah dikorbankan. Hal ini dikhawatirkan semakin mempertegas stigma yang telah melekat di masyarakat pada dunia pendidikan yang senang dengan bongkar pasang kurikulum.

Program ini akan berjalan sesuai dengan rencana yang diharapkan, bila diawali dengan sosialisasi kepada stake holder di sekolah, baik pada guru, siswa, maupun orangtua siswa. Guru menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk menunjang keberhasilan program ini. Sampai saat ini guru belum memahami benar bagaimana sebenarnya kurikulum antikorupsi tersebut. Bahkan mungkin tidak sedikit yang belum mengetahui program ini. Sosialisasi diperlukan untuk memberikan persepsi dan pemahaman yang sama dari berbagai pihak yang terlibat. Sehingga, akan terjadi kesamaan visi dalam hal korupsi sebagai musuh yang harus dihancurkan karena akan menghancurkan kehidupan masyarakat.

Di atas semua itu, yang perlu disadari adalah pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai dan sikap yang berlangsung secara sadar dan terencana. Proses penanaman nilai tersebut akan sangat efektif bila dilakukan melalui keteladanan. Apalagi ini menyangkut moralitas yang diperlukan adalah contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dijadikan panutan. Kenyataan dewasa ini, nilai-nilai keteladanan itu sudah mulai tereliminasi dalam keseharian kita, termasuk juga di lingkup pendidikan. Dengan kata lain, kunci keberhasilan program ini bergantung pada prilaku, guru, masyarakat dan pejabat, dan penegak hokum. Dilihat dari sisi ini, maka institusi pendidikan memang harus membersihkan sendiri korupsi yang ada dalam dirinya. Jika tidak, maka akan timbul konflik dan kesenjangan anatara yang diajarkan dengan kenyataan yang terjadi.

Semua pihak tentu berharap kurikulum antikorupsi tersebut bukan berisi "kata-kata mutiara" atau sejumlah instruksi dan larangan yang harus ditaati dan dipatuhi siswa. Jika ini terjadi, maka kurikulum antikorupsi akan menjadi hafalan semata. Ini pernah terjadi pada penataran P4 yang gencar dilakukan pada zaman Orde Baru, di mana siswa dituntut memahami butir-butir pemahaman Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Rangkaian kata-kata itu tidak memiliki makna apa pun, sebab memang dalam praktiknya menanamkan moral tidak semudah menyusun kata-kata. (Penulis, guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg, dan pengelola Bapinger Education Cicalengka)**

Kaputusan



Ku Iwan Ardhie Prieyana

(di muat dina Mangle, Juni 1988)


BEDUG Asar di tajug Mang. Romli.
Teu karasa waktu asa nyerelek. Ret kana jam nu ngadaplok luhureun lawang enggon, geus jam tilu Ieuwih. Geus aya tilu jamna meureun diuk di dieu teh. Luhureun meja majalah patulayah, hiji ge euweuh nu dibaca, asa ku wararegah.
"Geura mandi atuh Ida, geus burit ieu teh," cek Ema ti dapur. Tara-tara ti sasari Ema make nitah mandi, da biasana ge mun rek mandi mah tara kudu dibejaan, gebrus-gebrus was sadaekna. Mandi entong nya? Enya awak mah asa bayeungyang jeung hareudang, padahal mah poe teh asa teu panas-panas teuing.
Di dapur kadenge sora nu keur popolah, mani brongbrang, kaambeu selengsengna pais gurame, tapi teu dibere hayang, najan ti isuk beuteung can kararaban nanaon ge.
Bangun nu rek hajat rongkah Ema popolah teh. Hayang nyugemakeun semah bakuna mah, komo semah nu bakal datang engke peuting mah semah nu bakal jadi baraya, kitu soteh cek pikiran Ema, da teu kitu cek kuring mah. Malah kahayang kuring mah semah teh tong jadi datangna, lantaran tamu nu bakal datang engke peuting teh nu maksa kuring pikeun ngayakeun perang tan- ding antara sora batin jeung sora-sora nu jolna ti luar diri kuring.
Peuting engke teh meureun kuring jadi hakimna, hakim nu bakal mere putusan. Hejo atawa bulao cek biwir kuring, bakal aya balukama, boh keur kuring atawa keur kulawarga. Mun inget ka dinya, leketey. hate teh lir nu dipupul bayu. Da cacak mun teu inget ka Ema jeung ka Ceu Edah mah nu sakitu haatna ka kuring, kahayang mah kuring teh ngejat ti imah, teuing rek ka mendi, hayang nyingkahan karudet nu ngukuntit ti poe ka poe.
Sakapeung sok jol aya rasa ngewa ka Ceu Edah teh, enya atuda manehna nu ngalantarankeun kuring kudu wawuh jeung Kang Endin. Nyaho balukarna bakal pikieueun mah baheula teh moal daek diajak nyiar ubar ka Bandung. Da enya baheula mah maksud teh rek ngadon tatamba, da di lembur kuring mah euweuh Rumah Sakit nu gede, paling ge ukur Puskesmas, an panyakit kuring tea lain ubaraneun Puskesmas. Di Bandung ge ketah boa bisa kaubaran bisa henteu. Ngadenge teh di Jakarta aya Rumah Sakit gede nu bisa ngubaran panyakit kuring teh. Ti mana waragadna kudu ka Jakarta."Tatamba mah jojodoan Ida, lain kudu di Rumah Sakit wae, ari geus kuduna cageur mah najan ukur dibalur ku cikur ge cageur we," cek Bi Edah Bi Edah nyarita kitu teh pedah wae cenah di Bandung teh lain rek diubaran ka rumah sakit.

"Ari ukur ka dukun mah atuh teu kudu ka Bandung Bi, di dieu ge balatak," tembal kuring.
"Cek Bibi ge ieu mah jojodoan, keun wae sakalian titirah di ditu. Ulah nguluwut wae di dieu. Sugan we di Bandung mah bisa ngabangbrangkeun pikir."
"Ah sieun ngaripuhkeun Bibi, apan meureun tatamba teh kudu make biaya.".
“Na ari Ida, pan di Bandung teh lain jeung dulur?" tembal Bi Edah.

Bakat ku mindeng mah Bi Edah ngolona, nya antukna hate kuring ge teu burung leah. Keur mah eukeur Ema bangun nu atoheun aya nu rek nulungan teh. Malah pan Ema pisan nu ngajurung jurung kuring sangkan kuring daek ka Bandung. Ari kuring lain teu hayang ka Bandung teh, ngan nu kapikir teh pasti wae kudu ngari puhkeun Bi Edah. Can ku biaya sapopoe, katambah biaya keur tatam¬ba meureun teu cukup saeutik. Jeungna deui, asana ceuk kuring mah geus pondok pangharepan panyakit kuring bisa cageur sabihara sabihari deui teh. Da panyakit teh lain saminggu dua minggu atawa bubulanan. Geus meh ampir lima taun. Enya lima taun. Waktu nu lain sakeudeung. Eta ge enggeus diubar¬aber ka ditu ka dieu, geus puguh ari rumah sakit mah, cek paribasana ka dukun nu panglepusna ge geus dilakonan. Tapi nepi ka kiwari can aya tapak-tapakna.

Lajengkeuneun
Teuing geus beak sabarahaeun waragad nu dikaluarkeun. Sedeng an Ema da teu boga pangasilan nu kaitung gede. Ukur ngandelkeun tina pangsiun Bapa almarhum. Jeungna deui uruseun teh lain kuring wungkul. Adi-adi kuring ge pan biayaaneun da eukeur sakola. Ngadon hayoh we ngagugulung nu gering an nu cageur kaluli-luli mah kuring ge teu mikeun. Mending boga duit mah pake ngabiayaan adi-adi nu keur sakola, daripada dipake ngubaran kuring mah. Da puguh nu sakola mah aya arep-arepeunana, lamun geus tamat teh bisa talang tulung. Sedeng ari kuring? Mending mun bisa cageur, kumaha lamun henteu? Hanas biaya we gede.
Nyaho bakal kieu balukama mah mending baheula teh siga Ena we jeung Tuti nu geus taya dikieuna. Jigana moal nyusahkeun kolot jeung dulur-dulur. Sakapeung mun aya pikiran kitu sok geuwat istigfar. Gusti geuning abdi tos teu tumarima kana takdir Anjeun. Meureun mana kieu ge ieu teh takdir ti Mantenna. Da dibere salamet tur bisa hirup ge mangrupa barokah ti Anjeunna.

Mun keur kieu teh sok ras we inget kajadian lima taun ka tukang. Asa cikeneh basa Ena jeung Tuti nganjang ka imah. Poe Ahad harita teh. Biasana babaturan sakola teh sok silih anjangan, ngadon ngobrol atawa ngarujak.
"Urang ka Jubaedah yu," cek Tuti. "Ah embung jauh teuing," walon kuring.
"Pan make motor," cek Ena.
"Enya da motor ge ngan keur duaaneun, ari Ida moal diajak?" cek Tuti.
"Tiluan we atuh boncengan, da moal aya pulisi sugan."
Satadina mah kuring moal milu ari numpak motor kudu tiluan mah, sieun kuma onam. Poe Ahad mah biasana rame di jalan teh, sieun aya tilang jeungna deui Ena can boga sim. Pokona mah pikahariwangeun we. Ngan Ena keukeuh maksa, meung¬peung aya motor cenah, urang mapay jalan lembur we ari sieun kapegat pulisi mah. Antukna najan haroream ge kuring kapaksa ngilu. Ena di hareup Tuti jeung kuring dibonceng ti tukang.
"Tong gancang teuing Ena," cekeng teh.
“-Bereslah, jangan kuwatir."
Motor nyemprung ka kidul mapay jalan lembur. Kuring tipepereket mun¬tang kana cangkeng Tuti, da kuring pangtukangna. Beak jalan lembur bras ka jalan gede. Ti dinya kudu meuntas da jalan anu ka lembur Jubaedah teh aya dina peuntaseun jalan. Ti beh kidul kadenge sora klakson beus, motor eureun heula, gerung gerung gas dilangsamkeun. Clak Ena min¬dahkeun gigi kana gigi hiji, karasa siga nu disentakkeun bangun nu kararagok. Bareng jeung pindah gigi gas ngagerung tarik, belesat motor mangprung motong jalan, bareng jeung datangna beus nu maju tarik pisan, beus teu kaburu ngerem, "Ena..!!!" cek kuring jeung Tuti meh bareng. jerit sora nu ting jarerit, les kuring teu inget.

***
Basa beunta teh geus aya di imah, pada ngariung-riung. Karasa leungeun jeung suku pareurih.
"Ida sukur bageur salamet," cek Ema bari carinakdak. Sakur nu aya harita kabeh melong ka kuring.
Masih keneh kaitung salamet kuring mah, da ukur bared saeutik urut kapangpengkeun. Basa motor nyem¬prung teh kuring mah kabalangkeun kana jukut gigireun jalan, ngan Ena jeung Tuti mah melesat maju jeung motorna, persis basa beus rek ngaliwat. Kitu beja nu katarima ku kuring. Saminggu ti harita aya beja ti ramah sakit, Ena jeung Tuti mah teu ckatulungan, da kaleyek ku beus. Ti saprak katabrak nepi ka hanteuna wkuring teu kungsi panggih,heula jeung maranehna, pileuleuyan Ena, Tuti.
Sabulan saprak kajadian tabrakan, kuring mah geus sabihara sabihari Najan masih keneh baluas.
Ka dieunakeun karasa suku kenca sok cararangkeul, sugan teh cangkeul biasa we, boro tara dikukumaha, ngan beuki lila angot beuki rongkah. Karasa cangkeul jeung singsireumeun, diurut sababaraha kali ku M paraji di lembur teu aya men¬dingna. Antukna dibawa ka dokter, kakara kanyahoan yen suku kuring teh jadi kitu alatan tabrakan baheula keuna kana sarap. Beuki dieu suku kenca teh teu bisa dihojahkeun, nya lamun leumpang teh kapaksa kudu digugusur. Diubar aber ka ditu ka dieu euweuh robahna, suku kenca lumpuh teu katulungan deui.
Ti harita mah dunya teh asahieureut, ti poe ka poe teh idek liher di imah wae da teu wani ari kaluar mah era, sieun pada moyokan.
Mun baheula bisa udar-ider ka ditu ka dieu suka bungah nyacapkeun mangsa rumaja, saprak suku kuring lumpuh mah kaendahan jeung kagumbiraan teh leungit, nu aya ting¬gal kasedih jeung katunggara nu taya wates wangenna.
Dina kaayaan kuring siga kitu, karasa kanyaah Ema nu ngocor lir cai pancuran nu taya halodona. Ema nu ngurus jeung ngarasanan kuring kalayan ihlas bari teu aral subaha atawa ngarasula. Katambah deuih kanyaah Bi Edah nu ngilu prihatin kana nasib kuring, pan Bi Edah nu ngajak kuring ka Bandung sangkan kuring daek cicing jeung manehna di Bandung.
Ngaliwatan Bi Edah kuring wawuh jeung Kang Endin, malah Kang Endin nu sok nganganteur kuring mun kuring tatamba teh. Meh unggal poe manehna ngalongokan kuring, bari rebo ku babawaan. Beurat pikeun kuring mah rek narima kanyaah batur teh. Beurat da can tangtu bisa ngawalesna. Model kanyaah Kang Endin ka kuring. Lain, lain kuring boga hate goreng ka manehna, ngan sok sieun aya balukarna keur kuring.
Komo ieu ti lalaki, da saha lalakina atuh nu mere kahadean bari teu miharep pamulang tarima.
Teu mencog geuning panyangka da basa hiji poe manehna ngebrehkeun eusi hatena.
“Kang Endin mah ngiring . prihatin kana nasib Ida." Cenah.
"Nuhun, katampi pisan," walon teh.
"Mun diwidian mah Kang Endin teh palay mikanyaah teh langkung ti nu atos-atos."
"Maksad Kang Endin?" cekeng teh, api-api teu nyaho padahal sangkaan mah geus teg ka dinya.
"Palay satungtung kumalendang Kang Endin namplokeun kanyaah jeung kasatiaan ka Ida."
Can tammiat Kang Endin nyarita. hate mah geus miheulaan ngajerit. Gusti Nu Maha Agung, kudu kumaha nya pijawabeun. Teu teu tega ari rek nampik kanyaahna mah ngan ku naon atuh lelembutan teh teu daek narima jirimna dina sanubari kuring nu pangjerona. Sagala kasaean Kang Endin jeung kanyaah Kang Endin teh katampi ku asta galih kasuhun kalingga murda, mung perkawis nu bieu didugikeun, abdi mah teu tiasa ngawaler.
"Ku naon ngabetem Id, ulah gurung gusuh bisi kaduhung. mangga we emutan heula," cenah.



Ti harita mah asa teu betah cicing di Bi Edah teh. Da ayeuna mah pikiran teh jadi ngarancabang. mikiran suku jeung mikiran Kang Endin. Suku mah jigana moal cageur da geus am¬pir sabulan can aya tapakna. Bi Edah mah sigana geus ti anggalna nyaho yen Kang Endin teh neundeun hate ka kuring. Malah ka dieunakeun kanyahoan yen sakabeh biaya kuring teh ditangkes ku manehna.
"Eta mah kari kumaha Ida. Ida nu bakal ngalakonan. Ngan ceuk Bi Edah mah Kang Endin teh rek enya-enya mikanyaah ka Ida, najan waruga Ida kasebut teu sampurna ge. Pan alatan eta pisan nu nyababkeun Kang Endin rek mikanyaah ka Ida," cek Bi Edah.
Cukup Bi, cukup, Ida ge nyaho. lamun Ida nolak kana maksud Kang Endin, meureun Ida teh kacida dipikaceuceubna ku Bibi. Teu meunang dipikanyaah, teu daek mulang tarima, ah pokona mah Bibi bakal ngewa ka Ida lantaran mawa wirang ka Kang Endin. Tapi Bibi moal ngarasakeun jeung ngarampa hate Ida nu pangjerona. Najan dina kaayaan waruga Ida siga kieu, Ida hayang nembongkeun yen Ida bisa mandiri. Najan waruga Ida teu sampurna tapi ka tau sampurnaan eta ulah dijieun cukang pikeun ngadikte Ida. Najan kumaha wae oge, kahayang Ida sarua jeung kahayang,batur nu normal. Teu bisa batur ngawasa atawa ngatur nasib Ida jeung kahayang Ida, komo nu aya patula patalina jeung urusan jodomah.'Ida lain jalma nu salawasna kudu dialas ku batur. Hampura Bi. sakali deui hampura, Ida geus ngalan¬tarankeun Bibi jeung Kang Endin ngilu riweuh jeung prihatin.
Sababaraha bulan cicing di Ban¬dung kalah nambahan baluweng. Mending menta batik we ka lembur, bebeja we ka Bi Edah mah sono ka Ema. keun ari pareng engke tatamba mah rek dituluykeun deui. Kitu soteh poma ka Bi Edah, da ari ceuk hate mah teu teu hayang deui ka Ban¬dung. Meureun mana kitu ge kuring mah geus ditakdirkeun jadi jalma cacad.
Najan bari beurat, Bi Edah ngidinan, memeh batik deui ka Ban¬dung Bi Edah ngaharewos, "Omat ulah nguciwakeun Kang Endin."
Dua minggu sabada cicing di lem¬bur jol aya surat ngabejaan yen Kang Endin rek datang. Hayang nganjang cenah. Ah lain nganjang kitu wae,tapi rek menta kaputusan ti kuring cek pikir teh.
***
"Ituh Si Ida. lain geura mandi, geus rek magrib ieu teh," cek Ema.
Ih geuning teu karasa geus magrib, enya meureun sakeudeung deui teh isa. pan jangjina ge datangna Kang Endin teh bada Isa, ayeuna mah keur di jalan meureun.
Leos ka cai, basa ngaliwat ka dapur nu masak geus rengse, Ema keur cakah cikih ngatur suguhkeuneun. Emh Ema hampura, meureun Ema kudu ngilu susah mun kaputusan kuring teh tojaiyah jeung kahayang Ema. Tapi kuring yakin Ema boga hate nu jembar jeung bisa ngarampa eusi hate kuring nu pangjerona.
Dur magrib di Masigit Mang Romli, sora Adan Jang Ahdi nu halimpu kadenge hawar-hawar kabawa hiliwir angin, hate nambahan ketir.
Allohu Akbar, Gusti paparin abdi kakiatan. **

Sertifikasi Guru dan Peningkatan Kualitas Pendidikan



Iwan Ardhie Priyana
Menyedihkan, itulah komentar yang muncul menanggapi pernyataan Mendiknas sebagaimana di kutip sebuah harian nasional Senin (1/11) bahwa  “Guru-guru yang sudah lolos sertifikasi umumnya tidak menunjukkan kemajuan, baik dari sisi pedagogis, kepribadian, profesional, maupun sosial. Guru hanya aktif menjelang sertifikasi, tetapi setelah dinyatakan lolos, kualitas mereka justru semakin menurun”.
Sinyaleman Mendiknas, tampaknya sejalan dengan hasil evaluasi yang di laksanakan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebagaiman diungkapkan Rektor UPI . Berdasarkan hasil evaluasi terhadap guru yang telah lolos sertifikasi, sebanyak 10 persen dari 200.000 guru bersertifikat di Jawa Barat mengalami penurunan kinerja. Sebanyak 70 persen lainnya stagnan atau tetap, dan 20 persen sisanya mengalami peningkatan. Mereka yang mengalami peningkatan kualitas adalah guru yang lulus melalui pendidikan dan pelatihan, sementara yang mengalami penurunan kualitas adalah guru yang lulus langsung melalui portofolio. (PR, 9/11)
Mendiknas boleh jadi merasa gerah dengan penurunan kulitas tersebut , mengingat dana  yang telah digelontorkan pemerintah untuk membayar tunjangan sertifikasi guru relative besar. Pada tahhun in saja, pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar 60 triliun anggaran pendidikan, yang diperntukkan untuk gaji  PNS termasuk tunjangan.
Sertifikasi merupakan implementasi UU Sisdiknas Tahun  2003 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan meningkatkan kesejahteraan guru diharapkan meningkat pula kualitas pendidikan kita. Akan tetapi, tesis itu untuk sementara terpaksa harus ditunda jika dikaitkan dengan pernyataan Mendiknas serta hasil evalusi oleh UPI di atas. Dengan kata lain, harapan peningkatan mutu pendidikan seiring dengan peningkatan kesejahtaraan guru , tampaknya belum benar-benar akan terwujud.  Padahal , berbagai pihak beraharap, mutu pendidikan meningkat, seriring dengan kucuran dana bagi guru.
Sejak digulirkan program sertifikasi bagi guru baik melalui jalur forto polio, maupun jalur PLPG ( Pendidikan dan Latihan Profesionalisme guru), berbagai pesimisme kerap disuarakan oleh para pemerhati pendidikan. Mampu kah mengubah kultur guru dalam sepuluh hari melalui PLPG ? Meski banyak yang bersuara sumbang, namun di pihak lain, dalam hal ini , pemerintah tetap optimis bahwa program sertfikasi akan meningkatkan kualias pendidikan. Program sertifikasi ini pun tetap bergulir setiap tahun.
Menyikapi menurunnya kualitas guru yang telah mengikuti sertifikasi tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Prov. Jawa Barat mencoba bersikap bijak dengan tidak menyalahkan guru. Menurutnya sangat wajar jika untuk sementara ini para guru masih memikirkan dulu masalah kesejahteraan daripada kualitas profesionalismenya. Namun, hal itu akan berubah seiring dengan kebijakan pemerintah tentang pencairan tunjangan profesi.

Kembali ke pernyaraan Mendiknas di atas, rasanya itu merupakan sinyal. Artinya ada yang perlu dibenahi menyangkut komitmen guru terhadap tugasnya. Sebab mereka yang sudah memperoleh sertifikasi dan menikmati tunjangan, memiliki tanggung  jawab moral di pundaknya untuk menunjukkan bahwa mereka memang pantas di sebut sebagai guru professional. Apabila komitmen tersebut diabaikan, dikhawatirkan terjadinya degradasi kepercayaan masyarakat terhadap guru pada umumnya. Masyarakat tentu akan mempertanyakan tun jangan besar yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk para guru jika hasilnya jauh dari harapan. Ketidakpercayaan masyarakat pada guru khusunya maupun pada dunia pendidikan pada umumnya dikhawatirkan akan semakin meperburuk citra dunia pendidikan di tana air.
Pernyataan dan hasil evaluasi UPI merupakan masukan berharga bagi para guru yang sudah memperoleh tunjangan sertifikasi. Hal itu dapat dijadikan koreksi dan instrospeksi. Ini menunjukkan bahwa memang pemerintah, serta perguruan tinggi  menaruh harapan besar pada dunia pendidikan. Sebagaimana telah dimaklumi bersama bahwa, menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan rendahnya kesejahteraan guru. Rendahnya kesejahteraan guru tidak sebanding dengan tugas yang diembanya yang me nyebabkan guru tidak focus pada pekerjaannya. Dengan telah bergurlirnya sertifikasi, guru memperoleh tunjangan, sehingga penghasilannya meningkat. Oleh sebab itu, tak ada lagi alasan untuk tidak meningkatkan kualitas profesionalismenya.
Di samping komitmen yang kuat terhadap tugas dan kewajibannya, pengawasan dan pembinaan dari pihak terkait memang diperlukan. Menurut  rektor UPI, penurunan kualitas tersebet disebabkan belum adanya pembinaan.(Penulis guru dan pengamat masalah pendidikan)

Konsep Diri




Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup.

Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain. 

Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.

Proses Pembentukan Konsep Diri

Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk.

Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb - dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif. 

Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai.

Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang, seperti :

Pola asuh orang tua

Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.

Kegagalan

Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.

Depresi  

Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang.

Kritik internal  

Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.

Merubah Konsep Diri

Seringkali diri kita sendirilah yang menyebabkan persoalan bertambah rumit dengan berpikir yang tidak-tidak terhadap suatu keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun, dengan sifatnya yang dinamis, konsep diri dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif :

Bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri

Jangan abaikan pengalaman positif atau pun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat membahagiakan semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus. You can’t be all things to all people, you can’t do all things at once, you just do the best you could in every way....

Hargailah diri sendiri

Tidak ada orang lain yang lebih menghargai diri kita selain diri sendiri. Jikalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang hal-hal baik dan positif terhadap diri, bagaimana kita bisa menghargai orang lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain secara positif? Jika kita tidak bisa menghargai orang lain, bagaimana orang lain bisa menghargai diri kita?

Jangan memusuhi diri sendiri

Peperangan terbesar dan paling melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif konsep dirinya.

Berpikir positif dan rasional

We are what we think. All that we are arises with our thoughts. With our thoughts, we make the world (The Buddha).  Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi, kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.

ika anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk menyalahkan

Jika anak hidup dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi

Jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar untuk jadi pemalu

Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah

Jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar untuk menjadi penyabar

Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar untuk percaya diri

Jika anak hidup dengan pujian, ia belajar untuk menghargai

Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar untuk bersikap adil

Jika anak hidup dengan perlindungan, ia belajar untuk memiliki keadilan

Jika anak hidup dengan restu, ia belajar untuk menyukai diri sendiri

Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukancinta di dunia

“Wah , besok bakal perang , nih !”




Oleh Iwan Ardhie Priyana

“Besok giliran ulangan fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” kalimat tersebut saya intip dari status yang ditulis di dinding  akun FB teman anak saya. Saya tercenung dengan isi kalimat tersebut. Saya mencoba untuk menebak, apa makna di balik kata-kata itu. “Perang” dapat diartikan bahwa anak tersebut akan mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi dua mata pelajaran tersebut. Bila demikian maksudnya, tentu ini adalah afirmasi positif. Tapi makna perang bisa juga  diartikan bahwa kedua mata pelajaran itu sebagai musuh yang menakutkan. Ini tentu bisa negatif.
Selama ini memang sudah menjadi anggapan umum bahwa mata pelajaran eksak, seperti kimia, matematika dan fisika ditambah lagi pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang menakutkan. Kata “menakutkan” sendiri boleh jadi mucul karena memang perlakuan atau persepsi yang sengaja dihembuskan oleh para guru. Maksudnya tentu positif, agar siswa harus bersungguh-sungguh focus pada mata pelajaran tersebut. Bahwa, siswa harus sunggugh-sungguh memang benar. Tetapi kesungguhan itu  telah memenjara berbagai pihak, seperti siswa, guru, orang tua, bahkan masyarakat umum. Semuanya menjadi serius, guru yang mengajar, siswa yang belajar dan masyarakat di luar, termasuk juga pemerintah yang telah memasukkan mata pelajaran itu sebagai mata pelajaran yang wajib di Ujian Nasionalkan . Terlebih lagi, karena mata pelajaran itu menjadi kartu mati kelulusan siswa dari mulai SMP dan SMA.
Sebagai mata pelajaran yang menakutkan, kemasan pembelajaran di dalam kelaspun seakan-akan melengkapi anggapan yang sudah berkembang. Pembelajaran untuk mata pelajaran tersebut menjadi suasana yang menegangkan. Tak mengherankan bila kemudian diperspesikan sebagai “perang”.
Sampai kapankah anak-anak sekolah kita mengkahiri perang dengan pelajaran tersebut? Jawabannya sebenarnya ada di pihak guru. Guru lah yang harus bisa memepersipkan bahwa, fisika, matematika, dan kimia juga bahasa Inggris bisa menyenangkan. Hal itu bergantung pada metode pembelajaran guru yang digunakan. Dan yang lebih sederhana adalah dengan menanamkan keyakinan atau semacam sugesti bahwa mata pelajaran tersebut sebenarnya memang , “mudah” dan “menyenangan”. Bagaimana siswa akan memiliki persepsi bahwa pelajaran itu mudah jika gurunya saja sering mengeluarkan kata-kata , sulit , atau sukar?.
Yang juga perlu diubah adalah persepsi bahwa pelajaran eksak itu berkaitan dengan profesi yang akan menjanjikan di masa datang. Dengan kata lain, bahwa kemampuan menguasai mata pelajaran eksak menjadi pintu gerbang untuk meraih kesuksesan di masa depan adalah hanya mitos belaka. Sehingga, seakan-akan siswa yang berada di jalur eksak adalah siswa unggulan. Inilah persepsi keliru yang telah melhirkan dikotomi antara eksak dan noneksak, antara IPA versus IPS. Entah sudah berapa generasi, masyarakat kita terjebak dalam dikotomi yang salah kaprah ini. Padahal, rezeki yang diturunkan oleh Tuhan kepada ummat-Nya, berdasarkan usaha dan kerja kerasnya,. Sungguh Tuhan tidak adil bila sebelum member kesuksesan Tuhan bertanya “Apakah kamu dulu berijasah IPA atau IPS?”
“Perang” terhadap dikotomi ini memang harus segera di akhiri. Kesuskesan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk mengerahkan segenap  potensinya, baik potensi intelektualnya maupun potensi emosionalnya. Penelitian Goleman bahkan menyebutkan bahwa 80 % keberhasilan ditentukan oleh faktor emosional quetion ketimbang faktor IQ.
“Besok ujian fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” . Nak, yang perlu kalian perangi sebenarnya adalah rasa takut dan kemalasan. Bukan mata pelajarannya.


Nagreg, 13 Desember 2010

Lepaskan emosi sesaat


Anda pernah punya pengalaman begini : saat di kantor sang bos menungomentari pekerjaan Anda yang kurang baik, Anda merasa kesal dan kepala Anda tiba tiba sakit. Atau saat pulang kantor wajah wajah istri Anda tampak cemberut serta ngomel tidak karu-karuan, sehingga ada sesuatu yang dirasakan di bagian dada Anda. Kedua pengalaman tadi mungkin saja memandak emosi negative yang tersimpan begitu lama . Atau, ada berbagai peristiwa lain yang kita alami akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan bekas berupa emosi negative dalam tubuh kita.
Bila Anda mau, Anda dapat melakukan trik berikut untuk melepaskan emosi negative tersebut.
Pertama, duduklah dengan tenang dan nyaman di kursi.
Tarik nafas perlahan dan hembuskan dengan perlahan. (lakukan beberapa kali)
Fokuskan pikiran Anda hanya pada nafas Anda.
Niatkan saja Anda akan melepaskan emosi negative yang ada dalam tubuh kita.
Katakan dalam hati, saya menghitung satu sampai dengan lima dan setiap kali saya menghitung saya merasa rileks.

12 kata "Jangan menunggu " yg perlu dihindari :



------------------------------------------------------------------
1. Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu kian bahagia.

2. Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah, maka kamu semakin kaya.

3. Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah, maka kamu akan termotivasi.

4. Jangan menunggu dipedulikan orang baru kamu peduli, tapi pedulilah dengan orang lain! Maka kamu akan dipedulikan...

5. Jangan menunggu orang memahami kamu baru kamu memahami dia, tâÞi pahamilah orang itu, maka orang itu paham dengan kamu.

6. Jangan menunggu terinspirasi baru menulis. tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam tulisanmu.

7. Jangan menunggu proyek baru bekerja, tapi bekerjalah, maka proyek akan menunggumu.

8. Jangan menunggu dicintai baru mencintai, tapi belajarlah mencintai,maka kamu akan dicintai.

9. Jangan menunggu banyak uang baru hidup tenang, tapi hiduplah dengan tenang. Percayalah,. bukan sekadar uang yang datang tapi juga rejeki yang lainnya.

10. Jangan menunggu contoh baru bergerak mengikuti, tapi bergeraklah,maka kamu akan menjadi contoh yang diikuti.

11. Jangan menunggu sukses baru bersyukur. tapi bersyukurlah, maka bertambah kesuksesanmu.

12. Jangan menunggu bisa baru melakukan, tapi lakukanlah! Kamu pasti bisa!

Sepuluh Sifat Guru yang Tidak Disukai Siswa



1.       Terlampau sering marah, tak pernah senyum, sering mencela, mengecam.
2.       Tak suka membantu murid melakukan pekerjaan rumah, tak  jelas menerangkan pelajaran dan tugas, tidak membuat persiapan data akan mengajar.
3.       Pilih kasih, menekan murid-murid tertentu.
4.       Tinggi hati (maksudnya tinggi diri) sombong, tak mengenakan murid.
5.       Tak karuan, kejam, tak toleran, kasar, terlampu keras, menyuramkan kehidupan murid.
6.       Tak adil member angka dalam ulangan dan ujian.
7.       Tak menjaga perasaan anak, membentak-bentak murid dihadapan teman sekelas sehingga murid-murid takut, merasa taka man.
8.       Tidak menaruh perhatian kepada murid dan tidak memahami murid.
9.       Memberi tugas dan pekerjaan rumah yang tidak sepantasnya.
10.   Tidak sanggup menjaga disiplin di dalam kelas, tidak  dapat mengontrol kelas , dan tidak menimbulkan rasa hormat untuk dirinya.
Sepuluh Sifat yang Disukai Siswa
1.       Suka membantu dalam pekerjaan sekolah, menerangkan pelajaran dengan jelas serta mendalam dan menggunakan contoh-contoh waktu mengajar.
2.       Riang gembira, mempunyai perasaan humor, dan suka menerima lelucon atas dirinya.
3.       Bersikap akrab seperti sahabat, merasa sebagai anggota dalam kelompok kelas.
4.       Menunjukkan perhatian pada murid dan memahami mereka.
5.       Berusaha agar pekerjaan sekolah menarik, membangkitkan keinginan belajar.
6.       Tegas, sanggup menguasai kelas, membangkitkan rasa hormat pada murid.
7.       Tak pilih kasih, tidak mempunyai anak kesayangan.
8.       Tidak suke mengomel, mencela, mengejek , menyindir.
9.       Betul-betul mengajarkans sesuatu yang berharga bagi murid.
10.   Mempunyai pribadi yang menyenangkan.
Sumber : Menjadi Guru Efektif, Drs Suparlan, M. Ed.

Fikmin # Mas Sampah#




Euweuh nu apalaeun ngaran aslina, di landih Mas Sampah teh bane wae pagaweanana mulungan runtah di RW. Sabulan sakali meunang gajih tina uduna warga. Dumukna di sosompang masigit, nyorangan. Teu anak  teu bojo, estu nunggeulis. Minggu harita Mas Sampah kalintang sibukna, pedah rek aya lomba kebersihan tingkat kacamatan. Isuk sore ngadorong roda runtah pulang anting. Awak nu regeng ketingali beuki begung, katambah deuih panyakit asma na sok remen jadi ari gawe beurat teuing teh. Sabada beres di peunteun di umumkeun dina speker masjid ku ibu RW  yen kebersihan di eta  RW pinunjul juara kahiji sakecamatan. Beres ngumumkeun, soloyong Ibu RW teh ka sosompang masjid panasaran pedah si Mas Sampah geus dua poe teu tembong. Diketrok sababaraha kali euweuh nu nembelan, Ibu PKK maksa asup ka sosompang nu rupek. Kasampak Si Mas Sampah keur nangkuban, sabada di guyahkeun awakna oyag kabeh, Bu RW ngoceak, bari teu lila ngucapkeu n “Inna lillahi waina ilaihi rojiun”

Trik Sederhana untuk Sukses Mengeluh



Anda mau mengeluh? Bila jawabannya ya, trik berikut siapa tahu berguna.
1.       Kedipkan mata Anda dan pastikan bahwa mata Anda bisa melihat benda yang ada di depan Anda dengan baik.
2.       Perhatikan telingan Anda, dan pastikan bahwa telinga Anda masih bisa mendengar.
3.       Perhatikan hidung Anda, tarik nafas perlahan-lahan dan rasakan bahwa hidung Anda masih berfungsi untuk dilewati udara yang akan masuk ke dalam paru-paru. (supaya yakin, lakukan ini beberapa kali)
4.       Masukkan makanan ke dalam mulut, dan rasakan bahwa mulut dan  lidah Anda masih bisa merasakan cita rasa makanan. (bila perlu yang pahit, agar benar-benar terasa)
5.       Rasakan dada Anda, dan rasakan bahwa denyut jantung Anda masih berdegup, (boleh juga cari reman , suruh teman Anda menempelkan telinganya di dada Anda untuk memastikan bahwa jantung Anda benar-benar berfungsi.)
6.       Jika semunya memang sudah bekerja sesuai dengan fungsinya, saatnya Anda berterima kasih dan bersyukur karena indera Anda masih lengkap )
Inilah saatnya Anda benar-benar mengeluh, lakukan langkah berikut :
1.       Ambil kertas , pensil balpoin, atau spidol.
2.       Tuliskan keluhan Anda pada kertas tadi, biarkan tangan Anda bekerja menuliskan keluhan Anda, jangan berpikir dengan tata bahasa,, ejaan, strutktur kalimat dan penggunaan kata, (Ingat Anda sedang mengeluh dan bukan membuat makalah atau tugas karya tulis). Semuanya dibiarkan mengalir begitu saja, lakukan sampai benar benar tangan Anda lelah dan Anda sudah kehabisan kata-kata.
3.       Bila sudah selesai, remas lah kertas tadi dengan kedua tangan sampai betul-betul mengerut  di genggaman tangan.
4.       Ambil keranjang sampah, berdirilah beberapa meter dari keranjang sampah, lalu siap-siaplah melempar.
5.       Lemparkan kertas tadi dengan sekencang-kencangnya seperti  seorang pemain basket menembakkan bola ke dalam keranjang.
6.       Ingat kertas tadi harus masuk ke dalam keranjang sampah, bila belum ulangi lagi sampai kertas Anda berhasil masuk ke dalam keranjang sampah.
7.       Kalau  kertas sudah masuk ke dalam keranjang, dan Anda merasa plong, berarti Anda telah berhasil m engeluh, bila gagal ulangi lagi.
8.       Selamat mencoba !

Text widget

About

Senin, 04 Juni 2012


Membebaskan Siswa dari “Penjara” Kelas

Ketika berada di dalam kelas , seorang guru mengkondisikan  kelas agar nyaman  dengan cara menginstruksikan siswa duduk dengan tenang di bangkunya, tidak mengeluarkan gerakan maupun suara. Mengapa? Karena suara dan gerakan akan dipersepsikan sebagai gangguan yang akan menyebabkan “kerja otak” terganggu, sehingga tujuan belajar tidak tercapai.  Kondisi pembalajaran dalam kelas seperti itu tampaknya telah menjadi  satu formula dalam kegiatan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Walhasil,  kegiatan belajar mengajar dalam kelas menjadi monoton dan tidak menggairahkan sehingga lebih mirip “penjara” bagi siswa.
Proses belajar sesungguhnya merupakan  proses yang melibatkan kerja otak. Penelitian dan studi tentang otak sebagaimana di tulis oleh Jalauldin Rakmat lewat buku “Belajar  Cerdas , Belajar Berbasiskan Otak”, bisa mengubah persepsi dan pandangan kita tentang belajar. Berbagai eksperimen yang telah dilakukan  untuk mengetahui bagaimana kerja otak, menunjukkan bahwa  otak bekerja dengan baik bila disertai dengan gerakan serta di beri tantangan. Pendeknya,  budaya belajar yang monoton ternyata menyebabkan pekerjaan otak kurang berkembang. Untuk itu , guru perlu m elepaskan “kepercayaan “ tentang konsep belajar yang monoton menjadi kegiatan yang penuh gerakan dan tantangan, dan pada batas-batas tertentu toleransi pada kegaduhan. “Tikus-tikus pada usia berapapun dapat meningkatkan kecerdasannya jika diberi pengalaman belajar baru yang menantang dan berulangkali “ tuis Jalaludin Rakhmat mengutip Eric Jensen.
Lalu, bagaimanakah proses belajar mengajar yang dapat merangsang kerja otak? Tak ada salahnya  saran-saran David Saousa di bawah ini  dapat dijadikan referensi  berharga bagi para guru, dalam menciptakan suasana kelas yang menggairahkan, dan penuh tantangan.
Humor , humor di  dalam kelas  banyak memberikan keuntungan positif.  Berkaitan dengan saran ini Guru perlu menguji kembali anggapan bahwa humor bisa menurunkan wibawa guru.
Pergerakan. Ketika kita duduk diam selama lebih dari dua puluh menit, darah dalam tubuh terkumpul di pantat  serta di kaki kita. Dengan bangkit dan bergerak, kita melancarkan aliran darah. Dalam satu menit saja, kita akan memiliki 15 persen lebih banyak darah dalam otak. Kita benar-benar bisa berpikir lebih jernih sambil berdiri daripada sambil duduk.
Berapa jam kah pata siswa berada di sekolah? Khususny di dalam kelas ? Kurang lebih 4 jam  dikurangi waktu istirahat dua puluh menit  setiap hari, mereka ada di dalam kelas.  Kita bisa membayangan sebeku apa darah mereka. Guru dapat berupaya membuat siswa bangkit dan bergerak, terutama saat mereka harus berlatih secara verbal apa yang baru saja mereka pelajari.
Pengarahan multi-indrawi. Anak-anak masa kini sudah terbiasa dengan lingkungan yang multi-indrawi(melibatkan seluruh indera). Mereka akan lebih tertarik untuk memperhatikan pelajaran jika terjadi objek visual yang menarik serta berwarna-warni, serta jika mereka bisa berjalan-jalan di sekeliling kelas dan nembicarakan pelajaran yang mereka dapat.
Sudah saatnya guru tidak hanya mengunakan kapur berwarn putih saja, tetapi bisa memanfaatkan kapur berwana-warni, disertai dengan gambar dalam bentuk lingkaran kotak atau pun dalam bentuk visual.
Kuis dan Permainan. Mintalah murid-murid untuk membuat sebuah kuis atau permainan untuk saling menguji kemampuan mereka tentang konsep-konsep yang telah diajarkan. Ini merupakan startegi umum  yang sering diterapkan di kelas-kelas dasar, tetapi jarang digunakan di sekolah-sekolah menengah. Selain menyenangkan, permainan serta kuis memiliki nilai tambah, dalam arti mengharuskan murid-murid untuk berlatih dan mengerti sebuah konsep sebelum mereka bisa membuat pertanyaan-pertanyaan kuis beserta jawabannya..
Untuk menciptakan kuis, guru dapat saja memodifikasi dan mengadopsi  berbagai kuis di televise sesuai dengan kondisi dan tujuan yang ingin dicapai.
Musik. Meskipun penelitian ini masih tidak memiliki bukti-bukti lengkap, terdapat beberapa keuntungan jika kita memainkan musik di dalam kelas pada waktu-waktu tertentu  selama pelajaran
Pada umumnya, siswa dan guru menyenangi musik, musik menimbulkan kenikmatan dan kesenangan. Namun, memang bermain musik di dalam kelas , diluar pelajaran kesenian memang sesuatu yang aneh, tapi tak ada salahnya dicoba.
(Penulis guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg dan Pengelola Bapinger Education Cicalengka)



Hipnotis Masuk Sekolah? Siapa takut !



Melalaui salah satu acara di TV, Uya Kuya berhasil menghipnosis masyarakat bahwa hionosis itu adalah upaya menelanjangi atau membongkar aib orang lain. Tak terlalu mengherankan bila kemudian masyarakat alergi terhadap hypnosis. Apalagi banyak modus kejahatan dengan modus “hipnotis”. Lengkaplah sudah stigma masyarakat terhadap hypnosis sebagai sesuatu yang mesti diwaspadai, atau bila perlu dianggap sebagai “kelakuan sesat”.
Dibalik semua kesesatan yang dimilikinya, hypnosis sebenarnya merupakan kajian ilmiah. Bahkan perkembangan hypnosis yang demikian pesat pun sudah mulai membidik wilayah pendidikan. Kemudian munculah hipnoteaching. Dengan kata lain, hipnoteaching adalah pendekatan pembelajaran untuk menggali potensi siswa dan mengefektifkan proses pembelajaran, dengan menerapkan teknik  hipnotis.
Berdasarka asumsi itulah, saya mencoba memasyarakatkan hipnoteaching di sekolah. Gairah saya semakin bertambah besar saat sahabat baik saya Prof. Suherli ( guru besar di Universitas Galuh Ciamis), menulis komentar di akun fecebook saya  “metode Sugestopedia yang dikembangkan Gategno, yaitu sebuah metode yang mengangkat potensi bawah sadar seseorang untuk merambah dan terlibat di dunia imaji yang dimanipulasi melalui audio. Selamat mengembangkan metode tersebut!”. Saya penasaran ingin menggali sugestopedia dari beberapa sumber. Ternyata, sebelumnya suda ada juga yang men coba melakukan penelitian penggunaan metode sugestopedia ini.
Metode ini (sugestopedia) ditemukan oleh seorang psikiater Bulgaria, Dr. Georgi Lozanov. Bermula ketika Lozanov menganalisis pasien-pasien kejiwaan dengan musik baroque yang menenangkan dan memberi mereka sugesti positif mengenai kesembuhan mereka. Ternyata banyak pasien mengalami kemajuan besar.
Lozanov merasa bahwa metode ini juga dapat diterapkan pada pendidikan. Menurut Lozanov, “suggestology” adalah sebuah pengkondisian kegiatan belajar-mengajar yang memungkinkan para pembelajar untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan.

Intinya antara hipnoteaching dengan metode sugestopedia ini memang memliki tujuan dan prinsip yang sama. Yang menggembirakan adalah bahwa hipnoteaching adalah kajian ilmiah dan sangat bermanfaat bila diterapkan dalam dunia pendidikan. Jadi tak ada alasan untuk menolak hinpteaching di dalam dunia pendidikan. Hipnoteaching atau sugetopedia, tentu tidak sama dengan Uya Kuya. Hinponisi di sekolah? Siapa Takut.
(Artikel  ini sebagai bahan saya untuk artikel di harian Galamedia)


Memahami Otak Manusia

Judul                           : Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak
Penulis                       : Jalaludin Rakhmat
Penerbit                    : Peberbit Kaifa Bandung
Cetakan                     : Kesatu, September 2010
Tebal                           :  288 hal.

Secara fisiologis otak manusia serupa tetapi tidak sama dengan tikus dan binatang lainnya.  Berbagai penelitian yang dilakukan para ahli untuk menganalisis perkembangan otak manusia, mengambil tikus sebagai objeknya.  Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Ilmuwan saraf Fred Gage di The Salk Insitutute for Biological Studies di Lajolla, California. Bersama timnya Gage menempatkan bayi-bayi tikus dalam dua kelompok. Kelompok pertama pada sangkar laboratorium yang biasa. Sedangkan kelompok yang kedua pada lingkungan yang “diperkaya” dengan anak-anak tangga, roda-roda berputar, makanan baru dan banyak interaksi social. Dua bulan kemudian,  dengan menggunakan obat pelacak untuk mendeteksi sel-sel otak baru, diperioleh hasil yang menakjubkan. Tikus yang berada dalam sangkar yang biasa mempunyai 270.000 netron pada setiap belahan hippocampus. Sementara itu, tikus  yang tumbuh dalam sangkar yang “diperkaya”  memiliki 50.000 sel otak lebih banyak pada setiap belahan hippocampus. Artinya, lingkungan  seperti  pada tikus dalam sangkar yang diperkaya, dan  penuh rangsangan menambahkan 20 persen lebih banyak sel otak.Penelitian yang dilakukan Gage telah mematahkan  anggapan yang selama ini berkembang, bahwa potensi otak manusia disebabkan oleh keturunan. Perbadingan antara factor lingkungan dan keturunan  berada pada posisi fifty-fity.
Pada usia tua bahkan  otak manusia bisa semakin cerdas .Biarawati di School Sisters of Notre Dame, di pedesaan  Mankato, Minnesota, Amrika mencapai umur lebih dari 90 tahun. Bahkan sebagian besar ada yang mencapai usaia seratus. Resepnya adalah para biarawati tersebut terus menerus memberikan tantangan pada otaknya dengan kuis kata-kata , teka-teki dan debat tentang pemeliharaan kesehatan. Bagi mereka “Jiwa yang malas adalah mainan setan”.
Sebagaimana organ tubuh lainnya, otak memerlukan makanan. Makanan yang terbaik bagi otak bersumber dari lemak yang berasal dari ikan, seperti ikan salmon, ikan paus dan anjing laut. Lemak dari ikan tersebut mengandung zat yang disebut omega3. Kekurangan zat tersebut pada manusia akan berakibat timbulnya penyakit mental seperti : depresi, ingatan  yang jelek, kecerdasan yang rendah, kelemahan belajar, disleksia, pikun dan penyakit saraf degenartif. Dalam ungkapan yang hiperbolis, sekiranya nenek moyang kita tidak makan ikan, kita sekarang masih bergayut di pepohonan atau berjalan terbungkuk-bungkuk dengan membawa peralatan yang primitive.
Dalam hal otak ,siapapun tahu bagaimana kejeniusan otak Einstein. Hal ini mengudang para ilmuwan untuk meneliti  apa yang ada di otak Eistein. Adalah Marian C. Diamond mantan Kepala Lawrebce Hall of Science Universitas California Berkeley yang mendapat kehormatan untuk membedah otak Einstein. Para pakar berharap Dr. Diamon bisa menjawab pertanyaan  apakah otak para jenius  berbeda secara  fisik dengan otak kebanyakan orang?. Setelah membedah otak Einstein  dan membandingkannya dengan  sebelas otak manusia lainnya,ditemukan bahwa  secara fisik tidak terdapat pebedaan  berarti antara otak Einstein dengan sebelas otak lainnya, dengan pengecualian yang menarik bahwa otak Einstein  terdapat jenis sel tertentu yang berjumlah sangat banyak. Daerah tersebut disebut Area 39, para penelitia percaya bahwa Area 39 adalah  situs yang paling canggih dan paling berkembang (highly evolved).
Banyak informasi yang berharga dari buku Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak, yang ditulis Jalaludin Rakhmat ini. Paparan di atas, hanya sebagian dari berbagai hal yang menarik dan mengangumkan dari otak manusia. Begitu banyak informasi penting yang terdapat dalam buku ini, sehingga buku ini pantas menjadi referensi bagi guru, dokter, psikolog, maupun orang tua. Melalui buku itu pembaca akan disuguhi hasil penelitian para ilmuwan untuk mengungkap bagaimana otak manusia bekerja. Meski buku ini tetap menjaga ciri ilmiahnya, namun tidak berarti buku ini akan menjad buku teks yang membosankan. Jalaludin Rakhmat mengemas uraian yang serius men jadi santai bahkan dengan cara berseloroh. Buku ini dilngkapi pula dengan illustrasi, sehingga membantu pembaca untuk lebih memahami uraian yang ada di dalamnya. Meski, buku ini banyak disesaki istilah  istilah yang rumit tentang bagaimana otak bekerja, namun pembaca   seperti dikakatakan penulisnya tidak harus menjadi penghambat untuk memahami buku ini. (Iwan Ardhie Priyana, guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg, dan Pengelola Bapinger Education Cicalengka)

Mungkinkah Pelajar kita Mengidap “Nekrofillia” ?



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Fenomena kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan para pelajar belakangan ini, tampaknya memiliki kecenderungan mengalami kenaikan baik dari sisi kualitas ,maupun kuantitas. Maraknya fenomena kekerasan, anarkisme, serta kenakalan pelajar yang cenderung overdosis, dan di luar takaran kepatutan itu, oleh kalangan sosiolog ditengarai sebagai mulai berjangkitnya nekrofilia.
Nekrofilia adalah bentuk perlaku destruktif dengan mengeploitasi dan merusak orang lain atau benda-benda serta lingkungan. Gejala nekrofilia ditunjukkan dengan berbagai bentuk perilaku sadis, seperti tertarik dan berpenampilan pada segala bentuk kematian, senang berbicara penyiksaan, kamatian dan penguburan. Mereka yang diindikasikan gejala nekrofilia memilki kecenderungan untuk terikat dengan kekuasaan, dan menyelesaikan persoalan dengan menggunakan kekerasan.

Faham orang bermental nekrofilia selalu memandang orang-orang di sekitarnya sebagai objek yang harus ditaklukan. Dalam paradigma seperti ini jelas tidak mungkin bagi pribadi seperti ini mengakui eksistensi yang lain, selain berusaha menghancurkannya dengan berbagai cara.
Menurut Form, sebagaimana dikutip Mubiar Agustin dalam tulisanya “Kecenderungan Nekrophilia pada Pelajar” nekrofilia , merupakan sebuah penyakit yang ditularkan oleh sistem sisio-kultural di masyarakat. Pendapat senada dikemukakan oleh Sosiolog dari Universitas Diponegoro, Semarang, Triyono Lukmantoro bahwa nekrofilia ditentukan situasi-situasi sosial yang melingkupi kehidupan individual. Lenyapnya cinta terhadap sesama adalah salah satu pendorong kemunculan nekrofilia. Sistem kehidupan yang terarah pada relasi yang saling mengasingkan merupakan pemicu merebaknya masyarakat nekrofilia.

Model-model perilaku nekrofilia dapat dengan mudah dijumpai melalui berita media massa. Para pelajar kita disuguhi adegan tawuran politikus dalam sidang parlemen, saling hujat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, bentrokan fisik antara satu ormas dengan ormas yang lain, demontrasi yang selalu berujung ricuh, penggusuran PKL dan eksekusi rumah yang dibumbui adegan saling pukul, protes pilkada dengan membakar fasilitas umum, kasus pembunuhan dengan cara mutilasi yang menjadi “tren” -untuk menyebut beberapa contoh- telah menjadikan metode pembelajaran yang efektif atas fenomena kekerasan yang dipertontonkan tanpa filter dan sangat telanjang di depan mata para pelajar kita.

Gejala nekrofilia sesungguhnya dapat ditangkal, apabila semua komponen di masyarakat baik yang terkecil yakni individu serta keluarga sampai dengan negara dan bangsa harus secara aktif mengubah nilai ke arah yang positif. Form menyadari, bahwa masyarakat narsistik dan ekploitatif tidak akan eksis, Form pun meyakini bahwa masyarakat akan senang hidup dalam kooperasi dan harmoni, masyarakat yang sehat akan menciptakan individu yang sehat.
Akan tetapi, kita menyadari bahwa, menciptakan model kehidupan masyarakat seperti yang digambarkan Katon Bagaskara “ dimana kedamaian menjadi istananya” tidaklah mudah. Masyarakat yang demikian itu akan terwujud jika ada kesadaran kolektif bangsa ini menciptakan harmoni dan kedamaian melalui sikap toleran, saling menghargai, saling membutuhkan, mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai, kekuasaan dan kelompok. Keteladanan (sesuatu yang sudah mulai langka belakangan ini) perlu ditumbuhkan baik di level bawah, seperti guru, orang tua , sampai dengan pejabat dan pengambil keputusan seperti pejabat pemerintah, politisi, dan elit-elit parpol.

Sikap legawa untuk mau menerima kekalahan dengan gentlemen (tidak hanya sekedar ikrar belaka), demokrasi yang menjunjung tinggi sportifitas, dapat menjadi prasyarat untuk mereduksi konflik-konflik yang bernuansa kekerasan, sehinga tidak menjelma menjadi sebuah tontonan yang dapat memancing kebencian. Benar memang kata Form bahwa individu yang sehat akan dari masyarakat yang sehat.
Upaya yang sungguh-sungguh untuk menata kembali bangsa ini melalui komitmen berbagai komponen bangsa; meniscayakan lahirnya sebuah masyarakat yang sehat tempat para remaja dan pelajar kita sebagai penerus masa depan meniti kehidupannya dengan penuh rasa aman, damai dan penuh optimisme. 

Akualisasi Nilai Kepahlawanan dalam Pendidikan



Oleh Iwan A.Priyana

Selama tiga abad lebih tanah air kita dibelenggu oleh penjajah, berkat jasa dan perjuangan para pahlawan belenggu itu berhasil dilepaskan. Oleh sebab itu , benarlah kata pepatah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang meghargai pahlawannya. Sebaliknya, hanya bangsa yang kerdilah yang tidak mau menghargai jasa para pahlawan yang telah mengorbankan harta dan raganya untuk mencapai kemerdekaan. Meski secara fisik perjuangan para pahlawan telah usai seiring dengan lahirnya kemerdekaan, akan tetapi sesungguhnya semangat serta nilai-nilai kepahlawanan harus tetap dikorbankan dan diaktulisasikan oleh generasi berikutnya. Atkualisasi nilai-nilai kepahlawanan tersebut dapat diimplemesikan dalam dunia pendidikan.

Setidaknya, ada tiga nilai kepahlawanan yang  perlu diaktulisasikan dalam dunia pendidikan, yakni : 1) berjuang untuk tujuan mulia, 2) rela berkorban dan 3) semangat pantang menyerah. 

Berjuang untuk tujuan mulia.  Kemerdekaan agar  bebas dari segala macam bentuk pejajahan adalah tujuan mulia yang senantiasa menjadi spirit perjuangan para pahlawan. Dalam konteks pendidikan, siswa yang belajar pada dasarnya ingin mencapai tujuan mulia, yakni mencapai cita-cita , serta menjadi manusia yang berguna. Inilah nilai yang perlu kembali di tanamkan pada siswa. Saat ini makna pendidikan sering kali direduksi hanya sekedar memperoleh ijazah, mendapat gelar, atau bahkan lebih sempit lagi hanya sekedar lulus  ujian. Pendangkalan tujuan pendidikan ini yang menyebabkan para siswa kehilangan semangat dan gairah belajar, menjadi apatis, dan bahkan mungkin kehilangan arah dan tujuan . Harapan untuk mencapai tujuan mulia itulah hal penting yang perlu terus menerus ditanamkan pada para siswa agar mereka menjadi manusia yang memiliki visi ke depan.

Para pejuang kita dahulu berjuang untuk mencapai kemerdekaan tersebut dengan mengorbankan, harta dan nyawa. Pepatah mengatakan “ Jer besuki mawa bea”, tiada perjuangan tanpa pengorbanan. Seseorang yang sudah berniat ingin berjuang tentu harus memikul resiko untuk mau berkorban. Mustahil sebuah perjuangan dapat direbut hanya dengan berpangku tangan, atau sekedar mengharap durian runtuh. Demikian juga dalam pendidikan. Pendidikan sebagai sebuah perjungan memerlukan pengorbanan, baik berupa finansial, waktu dan tenaga. Bahwa tujuan yang ingin dicapai haruslah melalui perjuangan yang berat, penuh tantangan dan hambatan. Para siswa perlu memahami hal ini agar mereka bersungguh-sungguh dalam menempuh pendidikan.

Seorang pahlawan memilki semangat pantang menyerah. Para pahlawan kita dikenal sebagai para pejuang yang gagah berani, meskipun mereka hanya bermodal bambu runcing , atau senjata rakitan. Tetapi semangat pantang menyerah yang dimiliki para pejuang bangsa inilah yang mampu mengalahkan senjata modern para penjajah. Saat ini, semangat itu perlu kembali di tanamkan dalam dunia pendidikan. Dewasa ini banyak siswa yang terpaksa drop out atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dengan alasan ekonomi. Angka partisipasi sekolah serta  angka rata-rata melanjutkan sekolah di beberapa daerah berada pada level rendah. Anak-anak yang berusia sekolah banyak yang terpaksa menjadi anak jalanan , pengamen , pemulung dsb, dengan alasan  biaya, meski pemerintah sudah  berupaya keras dengan berbagai program , seperti bea siswa untuk siswa miskin, bantuan Biaya Operasional Sekolah (BOS), serta  berbagai program untuk rakyat miskin lainnya. Ini salah satunya disebabkan karena mental yang lemah sehingga mudah menyerah dengan keadaan.

Kemiskinan sebenarnya bukan hambatan untuk mencapai cita-cita. Justru dengan segala keterbatasanlah yang menyebabkan siswa harus berjuang keras demi mencapai tujuan. Sejarah membuktikan bahwa , riwayat hidup orang-orang besar itu bukan dari keluarga kaya atau berkecukupan.
Penulis guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung


Implikasi Pendidikan dalam pembentukan konsep Diri



Oleh Iwan Ardhie Priyena
Apa yang anda pikirkan tentang diri Anda? Apakah anda orang yang selalu optimis dalam mengahadapi berbagai persoalan hidup? Apakah Anda siap menghadapi resiko atas setiap keputusan yang Anda lakukan? Apakah Anda merasa orang-orang yang ada di sekeliling Anda adalah orang-orang yang menyenangkan sehingga Anda merasa nyaman berhubungan dengan mereka? Atau Anda merasakan bahwa setiap orang memusuhi Anda, dan Anda selalu merasa bodoh atas segala tindakan dan keputusan yang Anda ambil, serta  Anda merasa bahwa  hidup ini begitu tidak menyenangkan karena banyak sekali persoalan yang sulit Anda hadapi? Atau kah Anda selalu berimajinasi  bahwa hal-hal buruk akan menimpa Anda sautu saat nanti?
Jika Anda memikirkan apa "yang Anda suka", hidup Anda akan dipenuhi oleh hal itu. Dan sebaliknya , jika Anda selalu memikirkan hal-hal "yang tidak Anda suka" maka yang terjadi dalam hiudp Anda pun akan mencerminkan itu. Demikian satu pernyataan dari buku “Quantum Ikhlas” yang mungkin bisa menggugah kesadaran  kita  untuk mengolah konten pikiran Anda. Artinya betapa dahsyatnya pengaruh pikiran kita dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh pikiran tersebut juga dapat mencerminkan konsep diri seseorang.
Konsep diri  adalah  keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Ada dua macam konsep diri, yakni konsep diri negative dan konsep diri positif. Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa mendeteksi apakah kita  termasuk kelompok orang yang memiliki konsep diri negatif atau positif.
Brooks dan Emmert (dalam Rahmat, 1996), mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara orang yang meiliki  konsep diri positif dan seseorang dengan konsep diri negatif. Perbedaan tersebut dapat ditunjukkan melalui beberapa indikator yakni : orang yang memiliki konsep diri positif
 memiliki  keyakinan  akan kemampuan dalam mengatasi masalah; merasa setara atau sederajat dengan orang lain; menerima pujian tanpa rasa malu; menyadari bahwa setiap orang memilki berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya dapat diterima oleh masyarakat;  memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri sendiri; memiliki kesanggupan dalam mengungkapkan aspek yang tidak disenangi dan berusaha untuk mengubahnya.

Sedangkan orang yang memiliki  konsep diri negatif,  ditunjukkan melalui perilaku antara lain : peka terhadap kritik, namun di persespi  sebagai upaya orang lain untuk menjatuhkan harga dirinya; cenderung menghindari dialog yang terbuka;  selalu mempertahankan pendapat dengan berbagai logika yang keliru;   sangat respek terhadap berbagai pujian yang ditujukan pada dirinya dan segala atribut atau embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya;  memiliki kecenderungan bersikap hiperkritis terhadap orang lain; jarang bahkan tidak pernah mengungkapkan penghargaan atau pengakuan terhadap kelebihan orang lain; memiliki perasaan mudah marah, cenderung mengeluh dan meremehkan orang lain;  merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan oleh orang banyak, karena itulah cenderung bereaksi untuk menciptakan permusuhan;  tidak mau menyalahkan diri sendiri namun selalu memandang dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak benar; pesimis terhadap segala yang bersifat kompetitif, enggan bersaing dan berprestasi, serta tidak berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.(http://duniapsikoligi.dagdigdug.com)

Konsep diri yang di miliki oleh seseorang  bukanlah bersifat genetic atau pembawaan yang diturunkan dari orang tuanya. Dengan kata lain, konsep diri yang dimiliki seseorang baik yang negative atau yang positif bukan bakat atau karakter bawaan. Konsep diri lebih banyak ditentukan oleh fakor lingkungan sekitar, seperti keluarga, pergaulan dan pendidikan di masa kecil. Harus diingat pula, bahwa konsep diri ini tidak bersifat permanen. Sebab, bias saja seseorang mengubah konsep dirinya dari negtatif ke positif atau sebaliknya  seiring muncul keadaran baru tentang dirinya. Yang diharapkan tentu adalah perubahan dari konsep diri negative ke konsep diri positif dan bukan sebaliknya. Sebab, konsep diri negative memang dapat merugikan pribadi yang bersangkutan, terutama dalam hubungan dengan proses sosialiasasi  maupun dalam karir dan pekerjaan.
Faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan konsep diri adalah, pola asuh orangtuanya, kegagalan, serta depresi. Orang tua tanpa disadari  sering mengeluarkan stigma ,seperti “segini aja kamu ini ngga bias…bodoh amat sih kamu”, “kamu ini memang pemalas…” “kamu memang nggak punya bakat maju” dsb. Bila stigma itu  sering dikemukakan oleh orang tua, maka dalam waktu lama, terbentuklah dalam diri sang anak konsep dirinya sebagai orang yang “bodoh” “malas” dan “gagal”. Ini lah mengapa pentingnya orang tua berhati-hati dalam mengeluarkan penilaian pada anaknya.
Lingkungan keluarga dan lingkungan seseorang sekitarnya  di masa kecil memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri. Lewat sajaknya yang terkenal Dorte Law Nolte menggambarkan dengan gamblang : jika anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk menyalahkan ,jika anak hidup dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi  ,jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar untuk jadi pemalu , jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah , jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar untuk menjadi penyabar, jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar untuk percaya diri, jika anak hidup dengan pujian, ia belajar untuk menghargai , jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar untuk bersikap adil,  jika anak hidup dengan perlindungan, ia belajar untuk memiliki keadilan, jika anak hidup dengan restu, ia belajar untuk menyukai diri sendiri Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukancinta di dunia
Konsep diri positif berperan penting dalam mencapai kemajuan bagi seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika oleh Dr. Eli Ginzberg beserta timnya menemukan satu hasil yang mencengangkan. Penelitian ini melibatkan 342 subyek penelitian yang merupakan lulusan dari berbagai disiplin ilmu. Para subyek penelitian ini adalah mahasiswa yang berhasil mendapatkan bea siswa dari Colombia University. Dr. Ginzberg dan timnya meneliti seberapa sukses 342 mahasiswa itu dalam hidup mereka, lima belas tahun setelah mereka menyelesaikan studi mereka. Hasil penelitian yang benar-benar mengejutan para peneliti itu adalah: Mereka yang lulus dengan mendapat penghargaan (predikat memuaskan, cum laude atau summa cum laude), mereka yang mendapatkan penghargaan atas prestasi akademiknya, mereka yang berhasil masuk dalam Phi Beta Kappa ternyata lebih cenderung berprestasi biasa-biasa. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara keberhasilan akademik dan keberhasilan hidup. Lalu faktor apa yang menjadi kunci keberhasilan hidup manusia ?  Kunci keberhasilan hidup adalah konsep diri positip (adi@adiwgunawan.com)
Pemahaman orang tua terhadap pentingnya konsep diri bagi anak-anak, tentunya membawa implikasi dalam model pendidikan yang diterapkan di rumahnya. Sehingga, orang tua dituntut untuk menerapkan pola pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan konsep diri positif bagi anak-anaknya. Pemahaman tentang konsep diri bagi anak juga penting diketahui oleh para guru di sekolah, terutama di sekolah dasar, Proses pembentukan konsep diri dimulai sejak anak masih kecil. Masa kritis pembentukan konsep diri adalah saat anak masuk di sekolah dasar. Glasser, seorang pakar pendidikan dari Amerika, menyatakan bahwa lima tahun pertama di SD akan menentukan “nasib” anak selanjutnya. Sering kali proses pendidikan yang salah, saat di SD, berakibat pada rusaknya konsep diri anak.
(Penulis guru SMPN 1 Nagreg,  SMP YP 17 Nagreg, dan pengelola Bapinger Education Cicalengka)


Negeri Tanpa Rasa Malu




Iwan Ardhie Priyana
Beberapa tahun yang lalu kita pernah dihebohkan dengan beredarnya rekaman video porno salah seorang oknum anggota DPR dengan  wanita aktivis salah satu partai . Tak pelak lagi, video itu mengundang reaksi keras masyarakat. Sebab tidak saja Partai yang menjadi pengusung oknum anggota DPR itu yang tercemar, tetapi Senayan pun mendulang kecaman  masyarakat; ditengah menurunnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap perlemen. Sungguh mengherankan, bagaimana seorang  wakil rakyat “yang terhormat”  itu melakukan tindakan nista seperti itu. Buntut kejadian tersebut  oknum anggota DPR itu mengundurkan diri, dan kasus nya sendiri sepertinya hilang tak jelas rimbanya .Namun, yang tak kalah hebohnya adalah beberapa waktu yang lalu , wanita yang menjadi teman kencan sang mantan anggota DPR muncul lagi di tengah  public kali ini  mencalonkan diri sebagai calon bupati salah satu kabupaten di Jawa Timur.
Hari-hari ini pun kehebohan terulang lagi, menyusul  beredarnya video porno yang pelakunya “mirip” Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari. Di banding video porno mantan oknum anggota DPR, video porno mirip ketiga selebritis itu benar-benar menyedot perhatian masyarakat, bahkan mampu menggeser popularitas kasus Susno Duadji, Dana Aspirasi Masyarakat yang di gagas DPR dan Kasus Bank Century.Kasus itu pun juga menyita perhatian public mancanegara karena dikutip juga oleh media asing. Sungguh, inilah Kejadian yang menyedihkan dan menyakitkan bagi negeri yang sudah jatuh bangun didera krisis ekonomi ini. Terkait dengan kasus ini ,Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan menegaskan bahwa bangsa ini tengah mengalami krisis moral.
Krisis moral yang paling nyata dengan mengaca pada kasus video porno teserbut , salah satu nya adalah hilangnya rasa malu. Lihat saja bagaimana wanita yang menjadi pasangan mesum mantan anggota DPR itu berani tampil kembali, tak tanggung-tanggung pula untuk mencalonkan diri menjadi calon bupati;  meski sesungguhnya,  dari sisi regulasi , perundang-undang  dan HAM, setiap orang punya hak untuk mencalonkan diri dalam Pilkada. Tanpa rasa malu pula seseorang berani merekam adegan yang tidak pantas di tempat tidur, dan dengan tanpa rasa malu pula seseorang bisa tampil  untuk “membantah” dengan dalih itu hanya mirip dirinya. Bila di runtut lagi kebelakang, berbagai peristiwa yang menunjukkan hilang rasa malu juga dipertontonkan , melalui adu otot anggota DPR dalam sidang paripurna,  saling memaki  dengan mengeluarkan kata-kata kasar dalam sidang yang ditonton jutaan pemirsa televisi. Meski semua itu dibungkus dengan bingkai demokrasi dan kebebasan berpendapat. Menyedihkan karena pelakunya adalah orang-orang terhormat yang seharusnya menjaga kehormatan dirinya.
Rasa malu sejatinya merupakan fitrah manusia yang dengan itu manusia menempatkan dirinya sebagai manusia yang beradab . Melalui rasa malu manusia mampu mengontrol dirinya untuk  menghindari melakukan tindakan yang akan menghancurkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Tanpa rasa malu, manusia sudah memposisikan dirinya sejajar dengan hewan yang setiap tindakannya lebih dirorong oleh nafsunya. Lemahnya kesadaran akan fitrah itu lah yang mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan instingtif, seperti marah tak terkendali, dan meluapkan nafsu birahi tanpa kontrol diri.
Yang mengherankan adalah, rasa malu itu masih dimiliki oleh orang-orang kecil yang tertindas. Perhatikan bagaimana para PSK  , pelaku tindakan criminal, yang menutupi wajahnya saat tertangkap kamera  televisi. Pemandangan sebaliknya jutsru ditunjukkan koruptor yang masih sempat cengengesan dan tersenyum di depan kamera.
Sebagai bangsa yang besar, bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur, seharusnya rasa malu menjadi karakter bangsa yang akan mendorong bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Dengan rasa malu, politisi menghindari  korupsi, juga pejabat rela mundur karena janji-janjinya saat kampanye tidak terbukti.Tak ada lagi caci maki dan adu jotos di depan televisi, takkan ada lagi yang berani beradegan mesum di depan kamera meski dengan dalih untuk kepentingan diri sendiri.
Upaya untuk mencegah krisis moral yang lebih parah lagi,  memang memerlukan  usaha yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Salah satunya adalah keteladanan para politisi dan pemimpin negeri ini yang ditunjukkan  melalui perilakunya. Bukan hanya dengan berbagai peraturan dan Undang-undang yang sekedar tertulis saja tanpa ada realisasinya.
Hadis di bawah ini hendaknya menjadi perenungan kita bersama :
“Jika Allah ingin menghancurkan suatu kaum, maka dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang timbul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati itu membudaya, maka Allah akan mencabut dari mereka sikap amanah dan tanggung jawab. Bila sikap amanah telah lenyap maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para pengkhianat sudah merajalela maka Alaah akan mengangkat rahmat-Nya dari mereka. Bila rahmat Allah telah sirna maka akan tampillah manusia-manusia terkutuk. Bila manusia-manusia laknat itu telah berkuasa maka akan tercabutlah dari kehidupan mereka tali-tali Islam.” (HR. Ibnu Majah).


Menyoal Pendidikan Antikorupsi di Sekolah



Oleh: Iwan Ardhie Priyana

KEMENDIKNAS berencana memasukkan kurikulum antikorupsi di sekolah tahun depan. Pendidikan antikorupsi tersebut bukan dalam bentuk mata pelajaran, "Yang pasti, materi antikorupsi ini mirip oksigen. Tidak bisa dilihat mata, tetapi dibutuhkan. Di semua mata pelajaran, materi ini ada, baik matematika, sejarah, fisika, biologi, PPKN, dan pelajaran lain," kata Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (3/10) sebagaimana di kutip sebuah harian. Nuh mengatakan, korupsi disebabkan dua faktor, salah satu di antaranya manusia. Ihwal mengapa dipilih sekolah, Nuh mencontohkan bentuk korupsi dalam bentuk mencontek yang sudah jadi kultur di sekolah.

Wacana tentang pendidikan antikorupsi awalnya sayup-sayup pernah diwacanakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu yang lalu. Boleh jadi gagasan ini merupakan satu terobosan untuk memutus mata rantai korupsi hingga ke akar-akarnya. Sebab, selama ini pemberantasan korupsi telah menjadi agenda besar bangsa ini, yang harus segera dituntaskan. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi aktif semua elemen masyarakat, terutama di bidang pendidikan. Karena, pendidikan memiliki posisi strategis sebagai pembentuk karakter bangsa, sekaligus penanaman nilai-nilai kejujuran yang kelak akan mencegah perilaku korup.

Berbeda dengan KPK dan Kemendiknas yang begitu optimis dengan gagasan ini, reaksi sebaliknya bermunculan dari pengamat pendidikan dan LSM yang selama ini gigih memberantas korupsi. Argumen yang diajukan adalah, bagaimana mungkin bisa menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah, sementara sekolah sendiri adalah lembaga yang tidak steril dengan korupsi. Kendati menuai kontroversi, Kemendiknas tampaknya tetap akan melaksanakan progam ini. Oleh sebab itu, masyarakat hendaknya tidak perlu apriori dan suuzan dalam menilai langkah ini. Bagaimanapun, berbagai upaya tetap perlu dilakukan secara sungguh-sungguh guna memerangi "musuh bangsa nomor satu" ini.

Yang perlu mendapat perhatian pemerintah, apabila progam ini dilaksanakan, adalah diperlukan sikap konsistensi dan sosialisasi. Konsistensi menyangkut keberlangsungan program ini ke depan. Selama ini, lembaga pendidikan sering dijadikan kelinci percobaan oleh pemerintah untuk memasukkan program tertentu di sekolah. Setelah dijalankan, pemerintah tidak sungguh-sungguh mengawalnya, sehingga akhirnya berbagai program tersebut tak jelas ujung pangkalnya. Padahal tidak sedikit waktu dan biaya yang telah dikorbankan. Hal ini dikhawatirkan semakin mempertegas stigma yang telah melekat di masyarakat pada dunia pendidikan yang senang dengan bongkar pasang kurikulum.

Program ini akan berjalan sesuai dengan rencana yang diharapkan, bila diawali dengan sosialisasi kepada stake holder di sekolah, baik pada guru, siswa, maupun orangtua siswa. Guru menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk menunjang keberhasilan program ini. Sampai saat ini guru belum memahami benar bagaimana sebenarnya kurikulum antikorupsi tersebut. Bahkan mungkin tidak sedikit yang belum mengetahui program ini. Sosialisasi diperlukan untuk memberikan persepsi dan pemahaman yang sama dari berbagai pihak yang terlibat. Sehingga, akan terjadi kesamaan visi dalam hal korupsi sebagai musuh yang harus dihancurkan karena akan menghancurkan kehidupan masyarakat.

Di atas semua itu, yang perlu disadari adalah pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai dan sikap yang berlangsung secara sadar dan terencana. Proses penanaman nilai tersebut akan sangat efektif bila dilakukan melalui keteladanan. Apalagi ini menyangkut moralitas yang diperlukan adalah contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dijadikan panutan. Kenyataan dewasa ini, nilai-nilai keteladanan itu sudah mulai tereliminasi dalam keseharian kita, termasuk juga di lingkup pendidikan. Dengan kata lain, kunci keberhasilan program ini bergantung pada prilaku, guru, masyarakat dan pejabat, dan penegak hokum. Dilihat dari sisi ini, maka institusi pendidikan memang harus membersihkan sendiri korupsi yang ada dalam dirinya. Jika tidak, maka akan timbul konflik dan kesenjangan anatara yang diajarkan dengan kenyataan yang terjadi.

Semua pihak tentu berharap kurikulum antikorupsi tersebut bukan berisi "kata-kata mutiara" atau sejumlah instruksi dan larangan yang harus ditaati dan dipatuhi siswa. Jika ini terjadi, maka kurikulum antikorupsi akan menjadi hafalan semata. Ini pernah terjadi pada penataran P4 yang gencar dilakukan pada zaman Orde Baru, di mana siswa dituntut memahami butir-butir pemahaman Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Rangkaian kata-kata itu tidak memiliki makna apa pun, sebab memang dalam praktiknya menanamkan moral tidak semudah menyusun kata-kata. (Penulis, guru SMPN 1 Nagreg, SMP YP 17 Nagreg, dan pengelola Bapinger Education Cicalengka)**

Kaputusan



Ku Iwan Ardhie Prieyana

(di muat dina Mangle, Juni 1988)


BEDUG Asar di tajug Mang. Romli.
Teu karasa waktu asa nyerelek. Ret kana jam nu ngadaplok luhureun lawang enggon, geus jam tilu Ieuwih. Geus aya tilu jamna meureun diuk di dieu teh. Luhureun meja majalah patulayah, hiji ge euweuh nu dibaca, asa ku wararegah.
"Geura mandi atuh Ida, geus burit ieu teh," cek Ema ti dapur. Tara-tara ti sasari Ema make nitah mandi, da biasana ge mun rek mandi mah tara kudu dibejaan, gebrus-gebrus was sadaekna. Mandi entong nya? Enya awak mah asa bayeungyang jeung hareudang, padahal mah poe teh asa teu panas-panas teuing.
Di dapur kadenge sora nu keur popolah, mani brongbrang, kaambeu selengsengna pais gurame, tapi teu dibere hayang, najan ti isuk beuteung can kararaban nanaon ge.
Bangun nu rek hajat rongkah Ema popolah teh. Hayang nyugemakeun semah bakuna mah, komo semah nu bakal datang engke peuting mah semah nu bakal jadi baraya, kitu soteh cek pikiran Ema, da teu kitu cek kuring mah. Malah kahayang kuring mah semah teh tong jadi datangna, lantaran tamu nu bakal datang engke peuting teh nu maksa kuring pikeun ngayakeun perang tan- ding antara sora batin jeung sora-sora nu jolna ti luar diri kuring.
Peuting engke teh meureun kuring jadi hakimna, hakim nu bakal mere putusan. Hejo atawa bulao cek biwir kuring, bakal aya balukama, boh keur kuring atawa keur kulawarga. Mun inget ka dinya, leketey. hate teh lir nu dipupul bayu. Da cacak mun teu inget ka Ema jeung ka Ceu Edah mah nu sakitu haatna ka kuring, kahayang mah kuring teh ngejat ti imah, teuing rek ka mendi, hayang nyingkahan karudet nu ngukuntit ti poe ka poe.
Sakapeung sok jol aya rasa ngewa ka Ceu Edah teh, enya atuda manehna nu ngalantarankeun kuring kudu wawuh jeung Kang Endin. Nyaho balukarna bakal pikieueun mah baheula teh moal daek diajak nyiar ubar ka Bandung. Da enya baheula mah maksud teh rek ngadon tatamba, da di lembur kuring mah euweuh Rumah Sakit nu gede, paling ge ukur Puskesmas, an panyakit kuring tea lain ubaraneun Puskesmas. Di Bandung ge ketah boa bisa kaubaran bisa henteu. Ngadenge teh di Jakarta aya Rumah Sakit gede nu bisa ngubaran panyakit kuring teh. Ti mana waragadna kudu ka Jakarta."Tatamba mah jojodoan Ida, lain kudu di Rumah Sakit wae, ari geus kuduna cageur mah najan ukur dibalur ku cikur ge cageur we," cek Bi Edah Bi Edah nyarita kitu teh pedah wae cenah di Bandung teh lain rek diubaran ka rumah sakit.

"Ari ukur ka dukun mah atuh teu kudu ka Bandung Bi, di dieu ge balatak," tembal kuring.
"Cek Bibi ge ieu mah jojodoan, keun wae sakalian titirah di ditu. Ulah nguluwut wae di dieu. Sugan we di Bandung mah bisa ngabangbrangkeun pikir."
"Ah sieun ngaripuhkeun Bibi, apan meureun tatamba teh kudu make biaya.".
“Na ari Ida, pan di Bandung teh lain jeung dulur?" tembal Bi Edah.

Bakat ku mindeng mah Bi Edah ngolona, nya antukna hate kuring ge teu burung leah. Keur mah eukeur Ema bangun nu atoheun aya nu rek nulungan teh. Malah pan Ema pisan nu ngajurung jurung kuring sangkan kuring daek ka Bandung. Ari kuring lain teu hayang ka Bandung teh, ngan nu kapikir teh pasti wae kudu ngari puhkeun Bi Edah. Can ku biaya sapopoe, katambah biaya keur tatam¬ba meureun teu cukup saeutik. Jeungna deui, asana ceuk kuring mah geus pondok pangharepan panyakit kuring bisa cageur sabihara sabihari deui teh. Da panyakit teh lain saminggu dua minggu atawa bubulanan. Geus meh ampir lima taun. Enya lima taun. Waktu nu lain sakeudeung. Eta ge enggeus diubar¬aber ka ditu ka dieu, geus puguh ari rumah sakit mah, cek paribasana ka dukun nu panglepusna ge geus dilakonan. Tapi nepi ka kiwari can aya tapak-tapakna.

Lajengkeuneun
Teuing geus beak sabarahaeun waragad nu dikaluarkeun. Sedeng an Ema da teu boga pangasilan nu kaitung gede. Ukur ngandelkeun tina pangsiun Bapa almarhum. Jeungna deui uruseun teh lain kuring wungkul. Adi-adi kuring ge pan biayaaneun da eukeur sakola. Ngadon hayoh we ngagugulung nu gering an nu cageur kaluli-luli mah kuring ge teu mikeun. Mending boga duit mah pake ngabiayaan adi-adi nu keur sakola, daripada dipake ngubaran kuring mah. Da puguh nu sakola mah aya arep-arepeunana, lamun geus tamat teh bisa talang tulung. Sedeng ari kuring? Mending mun bisa cageur, kumaha lamun henteu? Hanas biaya we gede.
Nyaho bakal kieu balukama mah mending baheula teh siga Ena we jeung Tuti nu geus taya dikieuna. Jigana moal nyusahkeun kolot jeung dulur-dulur. Sakapeung mun aya pikiran kitu sok geuwat istigfar. Gusti geuning abdi tos teu tumarima kana takdir Anjeun. Meureun mana kieu ge ieu teh takdir ti Mantenna. Da dibere salamet tur bisa hirup ge mangrupa barokah ti Anjeunna.

Mun keur kieu teh sok ras we inget kajadian lima taun ka tukang. Asa cikeneh basa Ena jeung Tuti nganjang ka imah. Poe Ahad harita teh. Biasana babaturan sakola teh sok silih anjangan, ngadon ngobrol atawa ngarujak.
"Urang ka Jubaedah yu," cek Tuti. "Ah embung jauh teuing," walon kuring.
"Pan make motor," cek Ena.
"Enya da motor ge ngan keur duaaneun, ari Ida moal diajak?" cek Tuti.
"Tiluan we atuh boncengan, da moal aya pulisi sugan."
Satadina mah kuring moal milu ari numpak motor kudu tiluan mah, sieun kuma onam. Poe Ahad mah biasana rame di jalan teh, sieun aya tilang jeungna deui Ena can boga sim. Pokona mah pikahariwangeun we. Ngan Ena keukeuh maksa, meung¬peung aya motor cenah, urang mapay jalan lembur we ari sieun kapegat pulisi mah. Antukna najan haroream ge kuring kapaksa ngilu. Ena di hareup Tuti jeung kuring dibonceng ti tukang.
"Tong gancang teuing Ena," cekeng teh.
“-Bereslah, jangan kuwatir."
Motor nyemprung ka kidul mapay jalan lembur. Kuring tipepereket mun¬tang kana cangkeng Tuti, da kuring pangtukangna. Beak jalan lembur bras ka jalan gede. Ti dinya kudu meuntas da jalan anu ka lembur Jubaedah teh aya dina peuntaseun jalan. Ti beh kidul kadenge sora klakson beus, motor eureun heula, gerung gerung gas dilangsamkeun. Clak Ena min¬dahkeun gigi kana gigi hiji, karasa siga nu disentakkeun bangun nu kararagok. Bareng jeung pindah gigi gas ngagerung tarik, belesat motor mangprung motong jalan, bareng jeung datangna beus nu maju tarik pisan, beus teu kaburu ngerem, "Ena..!!!" cek kuring jeung Tuti meh bareng. jerit sora nu ting jarerit, les kuring teu inget.

***
Basa beunta teh geus aya di imah, pada ngariung-riung. Karasa leungeun jeung suku pareurih.
"Ida sukur bageur salamet," cek Ema bari carinakdak. Sakur nu aya harita kabeh melong ka kuring.
Masih keneh kaitung salamet kuring mah, da ukur bared saeutik urut kapangpengkeun. Basa motor nyem¬prung teh kuring mah kabalangkeun kana jukut gigireun jalan, ngan Ena jeung Tuti mah melesat maju jeung motorna, persis basa beus rek ngaliwat. Kitu beja nu katarima ku kuring. Saminggu ti harita aya beja ti ramah sakit, Ena jeung Tuti mah teu ckatulungan, da kaleyek ku beus. Ti saprak katabrak nepi ka hanteuna wkuring teu kungsi panggih,heula jeung maranehna, pileuleuyan Ena, Tuti.
Sabulan saprak kajadian tabrakan, kuring mah geus sabihara sabihari Najan masih keneh baluas.
Ka dieunakeun karasa suku kenca sok cararangkeul, sugan teh cangkeul biasa we, boro tara dikukumaha, ngan beuki lila angot beuki rongkah. Karasa cangkeul jeung singsireumeun, diurut sababaraha kali ku M paraji di lembur teu aya men¬dingna. Antukna dibawa ka dokter, kakara kanyahoan yen suku kuring teh jadi kitu alatan tabrakan baheula keuna kana sarap. Beuki dieu suku kenca teh teu bisa dihojahkeun, nya lamun leumpang teh kapaksa kudu digugusur. Diubar aber ka ditu ka dieu euweuh robahna, suku kenca lumpuh teu katulungan deui.
Ti harita mah dunya teh asahieureut, ti poe ka poe teh idek liher di imah wae da teu wani ari kaluar mah era, sieun pada moyokan.
Mun baheula bisa udar-ider ka ditu ka dieu suka bungah nyacapkeun mangsa rumaja, saprak suku kuring lumpuh mah kaendahan jeung kagumbiraan teh leungit, nu aya ting¬gal kasedih jeung katunggara nu taya wates wangenna.
Dina kaayaan kuring siga kitu, karasa kanyaah Ema nu ngocor lir cai pancuran nu taya halodona. Ema nu ngurus jeung ngarasanan kuring kalayan ihlas bari teu aral subaha atawa ngarasula. Katambah deuih kanyaah Bi Edah nu ngilu prihatin kana nasib kuring, pan Bi Edah nu ngajak kuring ka Bandung sangkan kuring daek cicing jeung manehna di Bandung.
Ngaliwatan Bi Edah kuring wawuh jeung Kang Endin, malah Kang Endin nu sok nganganteur kuring mun kuring tatamba teh. Meh unggal poe manehna ngalongokan kuring, bari rebo ku babawaan. Beurat pikeun kuring mah rek narima kanyaah batur teh. Beurat da can tangtu bisa ngawalesna. Model kanyaah Kang Endin ka kuring. Lain, lain kuring boga hate goreng ka manehna, ngan sok sieun aya balukarna keur kuring.
Komo ieu ti lalaki, da saha lalakina atuh nu mere kahadean bari teu miharep pamulang tarima.
Teu mencog geuning panyangka da basa hiji poe manehna ngebrehkeun eusi hatena.
“Kang Endin mah ngiring . prihatin kana nasib Ida." Cenah.
"Nuhun, katampi pisan," walon teh.
"Mun diwidian mah Kang Endin teh palay mikanyaah teh langkung ti nu atos-atos."
"Maksad Kang Endin?" cekeng teh, api-api teu nyaho padahal sangkaan mah geus teg ka dinya.
"Palay satungtung kumalendang Kang Endin namplokeun kanyaah jeung kasatiaan ka Ida."
Can tammiat Kang Endin nyarita. hate mah geus miheulaan ngajerit. Gusti Nu Maha Agung, kudu kumaha nya pijawabeun. Teu teu tega ari rek nampik kanyaahna mah ngan ku naon atuh lelembutan teh teu daek narima jirimna dina sanubari kuring nu pangjerona. Sagala kasaean Kang Endin jeung kanyaah Kang Endin teh katampi ku asta galih kasuhun kalingga murda, mung perkawis nu bieu didugikeun, abdi mah teu tiasa ngawaler.
"Ku naon ngabetem Id, ulah gurung gusuh bisi kaduhung. mangga we emutan heula," cenah.



Ti harita mah asa teu betah cicing di Bi Edah teh. Da ayeuna mah pikiran teh jadi ngarancabang. mikiran suku jeung mikiran Kang Endin. Suku mah jigana moal cageur da geus am¬pir sabulan can aya tapakna. Bi Edah mah sigana geus ti anggalna nyaho yen Kang Endin teh neundeun hate ka kuring. Malah ka dieunakeun kanyahoan yen sakabeh biaya kuring teh ditangkes ku manehna.
"Eta mah kari kumaha Ida. Ida nu bakal ngalakonan. Ngan ceuk Bi Edah mah Kang Endin teh rek enya-enya mikanyaah ka Ida, najan waruga Ida kasebut teu sampurna ge. Pan alatan eta pisan nu nyababkeun Kang Endin rek mikanyaah ka Ida," cek Bi Edah.
Cukup Bi, cukup, Ida ge nyaho. lamun Ida nolak kana maksud Kang Endin, meureun Ida teh kacida dipikaceuceubna ku Bibi. Teu meunang dipikanyaah, teu daek mulang tarima, ah pokona mah Bibi bakal ngewa ka Ida lantaran mawa wirang ka Kang Endin. Tapi Bibi moal ngarasakeun jeung ngarampa hate Ida nu pangjerona. Najan dina kaayaan waruga Ida siga kieu, Ida hayang nembongkeun yen Ida bisa mandiri. Najan waruga Ida teu sampurna tapi ka tau sampurnaan eta ulah dijieun cukang pikeun ngadikte Ida. Najan kumaha wae oge, kahayang Ida sarua jeung kahayang,batur nu normal. Teu bisa batur ngawasa atawa ngatur nasib Ida jeung kahayang Ida, komo nu aya patula patalina jeung urusan jodomah.'Ida lain jalma nu salawasna kudu dialas ku batur. Hampura Bi. sakali deui hampura, Ida geus ngalan¬tarankeun Bibi jeung Kang Endin ngilu riweuh jeung prihatin.
Sababaraha bulan cicing di Ban¬dung kalah nambahan baluweng. Mending menta batik we ka lembur, bebeja we ka Bi Edah mah sono ka Ema. keun ari pareng engke tatamba mah rek dituluykeun deui. Kitu soteh poma ka Bi Edah, da ari ceuk hate mah teu teu hayang deui ka Ban¬dung. Meureun mana kitu ge kuring mah geus ditakdirkeun jadi jalma cacad.
Najan bari beurat, Bi Edah ngidinan, memeh batik deui ka Ban¬dung Bi Edah ngaharewos, "Omat ulah nguciwakeun Kang Endin."
Dua minggu sabada cicing di lem¬bur jol aya surat ngabejaan yen Kang Endin rek datang. Hayang nganjang cenah. Ah lain nganjang kitu wae,tapi rek menta kaputusan ti kuring cek pikir teh.
***
"Ituh Si Ida. lain geura mandi, geus rek magrib ieu teh," cek Ema.
Ih geuning teu karasa geus magrib, enya meureun sakeudeung deui teh isa. pan jangjina ge datangna Kang Endin teh bada Isa, ayeuna mah keur di jalan meureun.
Leos ka cai, basa ngaliwat ka dapur nu masak geus rengse, Ema keur cakah cikih ngatur suguhkeuneun. Emh Ema hampura, meureun Ema kudu ngilu susah mun kaputusan kuring teh tojaiyah jeung kahayang Ema. Tapi kuring yakin Ema boga hate nu jembar jeung bisa ngarampa eusi hate kuring nu pangjerona.
Dur magrib di Masigit Mang Romli, sora Adan Jang Ahdi nu halimpu kadenge hawar-hawar kabawa hiliwir angin, hate nambahan ketir.
Allohu Akbar, Gusti paparin abdi kakiatan. **

Sertifikasi Guru dan Peningkatan Kualitas Pendidikan



Iwan Ardhie Priyana
Menyedihkan, itulah komentar yang muncul menanggapi pernyataan Mendiknas sebagaimana di kutip sebuah harian nasional Senin (1/11) bahwa  “Guru-guru yang sudah lolos sertifikasi umumnya tidak menunjukkan kemajuan, baik dari sisi pedagogis, kepribadian, profesional, maupun sosial. Guru hanya aktif menjelang sertifikasi, tetapi setelah dinyatakan lolos, kualitas mereka justru semakin menurun”.
Sinyaleman Mendiknas, tampaknya sejalan dengan hasil evaluasi yang di laksanakan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebagaiman diungkapkan Rektor UPI . Berdasarkan hasil evaluasi terhadap guru yang telah lolos sertifikasi, sebanyak 10 persen dari 200.000 guru bersertifikat di Jawa Barat mengalami penurunan kinerja. Sebanyak 70 persen lainnya stagnan atau tetap, dan 20 persen sisanya mengalami peningkatan. Mereka yang mengalami peningkatan kualitas adalah guru yang lulus melalui pendidikan dan pelatihan, sementara yang mengalami penurunan kualitas adalah guru yang lulus langsung melalui portofolio. (PR, 9/11)
Mendiknas boleh jadi merasa gerah dengan penurunan kulitas tersebut , mengingat dana  yang telah digelontorkan pemerintah untuk membayar tunjangan sertifikasi guru relative besar. Pada tahhun in saja, pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar 60 triliun anggaran pendidikan, yang diperntukkan untuk gaji  PNS termasuk tunjangan.
Sertifikasi merupakan implementasi UU Sisdiknas Tahun  2003 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan meningkatkan kesejahteraan guru diharapkan meningkat pula kualitas pendidikan kita. Akan tetapi, tesis itu untuk sementara terpaksa harus ditunda jika dikaitkan dengan pernyataan Mendiknas serta hasil evalusi oleh UPI di atas. Dengan kata lain, harapan peningkatan mutu pendidikan seiring dengan peningkatan kesejahtaraan guru , tampaknya belum benar-benar akan terwujud.  Padahal , berbagai pihak beraharap, mutu pendidikan meningkat, seriring dengan kucuran dana bagi guru.
Sejak digulirkan program sertifikasi bagi guru baik melalui jalur forto polio, maupun jalur PLPG ( Pendidikan dan Latihan Profesionalisme guru), berbagai pesimisme kerap disuarakan oleh para pemerhati pendidikan. Mampu kah mengubah kultur guru dalam sepuluh hari melalui PLPG ? Meski banyak yang bersuara sumbang, namun di pihak lain, dalam hal ini , pemerintah tetap optimis bahwa program sertfikasi akan meningkatkan kualias pendidikan. Program sertifikasi ini pun tetap bergulir setiap tahun.
Menyikapi menurunnya kualitas guru yang telah mengikuti sertifikasi tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Prov. Jawa Barat mencoba bersikap bijak dengan tidak menyalahkan guru. Menurutnya sangat wajar jika untuk sementara ini para guru masih memikirkan dulu masalah kesejahteraan daripada kualitas profesionalismenya. Namun, hal itu akan berubah seiring dengan kebijakan pemerintah tentang pencairan tunjangan profesi.

Kembali ke pernyaraan Mendiknas di atas, rasanya itu merupakan sinyal. Artinya ada yang perlu dibenahi menyangkut komitmen guru terhadap tugasnya. Sebab mereka yang sudah memperoleh sertifikasi dan menikmati tunjangan, memiliki tanggung  jawab moral di pundaknya untuk menunjukkan bahwa mereka memang pantas di sebut sebagai guru professional. Apabila komitmen tersebut diabaikan, dikhawatirkan terjadinya degradasi kepercayaan masyarakat terhadap guru pada umumnya. Masyarakat tentu akan mempertanyakan tun jangan besar yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk para guru jika hasilnya jauh dari harapan. Ketidakpercayaan masyarakat pada guru khusunya maupun pada dunia pendidikan pada umumnya dikhawatirkan akan semakin meperburuk citra dunia pendidikan di tana air.
Pernyataan dan hasil evaluasi UPI merupakan masukan berharga bagi para guru yang sudah memperoleh tunjangan sertifikasi. Hal itu dapat dijadikan koreksi dan instrospeksi. Ini menunjukkan bahwa memang pemerintah, serta perguruan tinggi  menaruh harapan besar pada dunia pendidikan. Sebagaimana telah dimaklumi bersama bahwa, menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan rendahnya kesejahteraan guru. Rendahnya kesejahteraan guru tidak sebanding dengan tugas yang diembanya yang me nyebabkan guru tidak focus pada pekerjaannya. Dengan telah bergurlirnya sertifikasi, guru memperoleh tunjangan, sehingga penghasilannya meningkat. Oleh sebab itu, tak ada lagi alasan untuk tidak meningkatkan kualitas profesionalismenya.
Di samping komitmen yang kuat terhadap tugas dan kewajibannya, pengawasan dan pembinaan dari pihak terkait memang diperlukan. Menurut  rektor UPI, penurunan kualitas tersebet disebabkan belum adanya pembinaan.(Penulis guru dan pengamat masalah pendidikan)

Konsep Diri




Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup.

Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain. 

Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.

Proses Pembentukan Konsep Diri

Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk.

Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb - dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif. 

Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai.

Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang, seperti :

Pola asuh orang tua

Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.

Kegagalan

Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.

Depresi  

Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang.

Kritik internal  

Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.

Merubah Konsep Diri

Seringkali diri kita sendirilah yang menyebabkan persoalan bertambah rumit dengan berpikir yang tidak-tidak terhadap suatu keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun, dengan sifatnya yang dinamis, konsep diri dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif :

Bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri

Jangan abaikan pengalaman positif atau pun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat membahagiakan semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus. You can’t be all things to all people, you can’t do all things at once, you just do the best you could in every way....

Hargailah diri sendiri

Tidak ada orang lain yang lebih menghargai diri kita selain diri sendiri. Jikalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang hal-hal baik dan positif terhadap diri, bagaimana kita bisa menghargai orang lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain secara positif? Jika kita tidak bisa menghargai orang lain, bagaimana orang lain bisa menghargai diri kita?

Jangan memusuhi diri sendiri

Peperangan terbesar dan paling melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif konsep dirinya.

Berpikir positif dan rasional

We are what we think. All that we are arises with our thoughts. With our thoughts, we make the world (The Buddha).  Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi, kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.

ika anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk menyalahkan

Jika anak hidup dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi

Jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar untuk jadi pemalu

Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah

Jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar untuk menjadi penyabar

Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar untuk percaya diri

Jika anak hidup dengan pujian, ia belajar untuk menghargai

Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar untuk bersikap adil

Jika anak hidup dengan perlindungan, ia belajar untuk memiliki keadilan

Jika anak hidup dengan restu, ia belajar untuk menyukai diri sendiri

Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukancinta di dunia

“Wah , besok bakal perang , nih !”




Oleh Iwan Ardhie Priyana

“Besok giliran ulangan fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” kalimat tersebut saya intip dari status yang ditulis di dinding  akun FB teman anak saya. Saya tercenung dengan isi kalimat tersebut. Saya mencoba untuk menebak, apa makna di balik kata-kata itu. “Perang” dapat diartikan bahwa anak tersebut akan mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi dua mata pelajaran tersebut. Bila demikian maksudnya, tentu ini adalah afirmasi positif. Tapi makna perang bisa juga  diartikan bahwa kedua mata pelajaran itu sebagai musuh yang menakutkan. Ini tentu bisa negatif.
Selama ini memang sudah menjadi anggapan umum bahwa mata pelajaran eksak, seperti kimia, matematika dan fisika ditambah lagi pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang menakutkan. Kata “menakutkan” sendiri boleh jadi mucul karena memang perlakuan atau persepsi yang sengaja dihembuskan oleh para guru. Maksudnya tentu positif, agar siswa harus bersungguh-sungguh focus pada mata pelajaran tersebut. Bahwa, siswa harus sunggugh-sungguh memang benar. Tetapi kesungguhan itu  telah memenjara berbagai pihak, seperti siswa, guru, orang tua, bahkan masyarakat umum. Semuanya menjadi serius, guru yang mengajar, siswa yang belajar dan masyarakat di luar, termasuk juga pemerintah yang telah memasukkan mata pelajaran itu sebagai mata pelajaran yang wajib di Ujian Nasionalkan . Terlebih lagi, karena mata pelajaran itu menjadi kartu mati kelulusan siswa dari mulai SMP dan SMA.
Sebagai mata pelajaran yang menakutkan, kemasan pembelajaran di dalam kelaspun seakan-akan melengkapi anggapan yang sudah berkembang. Pembelajaran untuk mata pelajaran tersebut menjadi suasana yang menegangkan. Tak mengherankan bila kemudian diperspesikan sebagai “perang”.
Sampai kapankah anak-anak sekolah kita mengkahiri perang dengan pelajaran tersebut? Jawabannya sebenarnya ada di pihak guru. Guru lah yang harus bisa memepersipkan bahwa, fisika, matematika, dan kimia juga bahasa Inggris bisa menyenangkan. Hal itu bergantung pada metode pembelajaran guru yang digunakan. Dan yang lebih sederhana adalah dengan menanamkan keyakinan atau semacam sugesti bahwa mata pelajaran tersebut sebenarnya memang , “mudah” dan “menyenangan”. Bagaimana siswa akan memiliki persepsi bahwa pelajaran itu mudah jika gurunya saja sering mengeluarkan kata-kata , sulit , atau sukar?.
Yang juga perlu diubah adalah persepsi bahwa pelajaran eksak itu berkaitan dengan profesi yang akan menjanjikan di masa datang. Dengan kata lain, bahwa kemampuan menguasai mata pelajaran eksak menjadi pintu gerbang untuk meraih kesuksesan di masa depan adalah hanya mitos belaka. Sehingga, seakan-akan siswa yang berada di jalur eksak adalah siswa unggulan. Inilah persepsi keliru yang telah melhirkan dikotomi antara eksak dan noneksak, antara IPA versus IPS. Entah sudah berapa generasi, masyarakat kita terjebak dalam dikotomi yang salah kaprah ini. Padahal, rezeki yang diturunkan oleh Tuhan kepada ummat-Nya, berdasarkan usaha dan kerja kerasnya,. Sungguh Tuhan tidak adil bila sebelum member kesuksesan Tuhan bertanya “Apakah kamu dulu berijasah IPA atau IPS?”
“Perang” terhadap dikotomi ini memang harus segera di akhiri. Kesuskesan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk mengerahkan segenap  potensinya, baik potensi intelektualnya maupun potensi emosionalnya. Penelitian Goleman bahkan menyebutkan bahwa 80 % keberhasilan ditentukan oleh faktor emosional quetion ketimbang faktor IQ.
“Besok ujian fisika dan kimia, wah bakal perang nih !” . Nak, yang perlu kalian perangi sebenarnya adalah rasa takut dan kemalasan. Bukan mata pelajarannya.


Nagreg, 13 Desember 2010

Lepaskan emosi sesaat


Anda pernah punya pengalaman begini : saat di kantor sang bos menungomentari pekerjaan Anda yang kurang baik, Anda merasa kesal dan kepala Anda tiba tiba sakit. Atau saat pulang kantor wajah wajah istri Anda tampak cemberut serta ngomel tidak karu-karuan, sehingga ada sesuatu yang dirasakan di bagian dada Anda. Kedua pengalaman tadi mungkin saja memandak emosi negative yang tersimpan begitu lama . Atau, ada berbagai peristiwa lain yang kita alami akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan bekas berupa emosi negative dalam tubuh kita.
Bila Anda mau, Anda dapat melakukan trik berikut untuk melepaskan emosi negative tersebut.
Pertama, duduklah dengan tenang dan nyaman di kursi.
Tarik nafas perlahan dan hembuskan dengan perlahan. (lakukan beberapa kali)
Fokuskan pikiran Anda hanya pada nafas Anda.
Niatkan saja Anda akan melepaskan emosi negative yang ada dalam tubuh kita.
Katakan dalam hati, saya menghitung satu sampai dengan lima dan setiap kali saya menghitung saya merasa rileks.

12 kata "Jangan menunggu " yg perlu dihindari :



------------------------------------------------------------------
1. Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu kian bahagia.

2. Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah, maka kamu semakin kaya.

3. Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah, maka kamu akan termotivasi.

4. Jangan menunggu dipedulikan orang baru kamu peduli, tapi pedulilah dengan orang lain! Maka kamu akan dipedulikan...

5. Jangan menunggu orang memahami kamu baru kamu memahami dia, tâÞi pahamilah orang itu, maka orang itu paham dengan kamu.

6. Jangan menunggu terinspirasi baru menulis. tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam tulisanmu.

7. Jangan menunggu proyek baru bekerja, tapi bekerjalah, maka proyek akan menunggumu.

8. Jangan menunggu dicintai baru mencintai, tapi belajarlah mencintai,maka kamu akan dicintai.

9. Jangan menunggu banyak uang baru hidup tenang, tapi hiduplah dengan tenang. Percayalah,. bukan sekadar uang yang datang tapi juga rejeki yang lainnya.

10. Jangan menunggu contoh baru bergerak mengikuti, tapi bergeraklah,maka kamu akan menjadi contoh yang diikuti.

11. Jangan menunggu sukses baru bersyukur. tapi bersyukurlah, maka bertambah kesuksesanmu.

12. Jangan menunggu bisa baru melakukan, tapi lakukanlah! Kamu pasti bisa!

Sepuluh Sifat Guru yang Tidak Disukai Siswa



1.       Terlampau sering marah, tak pernah senyum, sering mencela, mengecam.
2.       Tak suka membantu murid melakukan pekerjaan rumah, tak  jelas menerangkan pelajaran dan tugas, tidak membuat persiapan data akan mengajar.
3.       Pilih kasih, menekan murid-murid tertentu.
4.       Tinggi hati (maksudnya tinggi diri) sombong, tak mengenakan murid.
5.       Tak karuan, kejam, tak toleran, kasar, terlampu keras, menyuramkan kehidupan murid.
6.       Tak adil member angka dalam ulangan dan ujian.
7.       Tak menjaga perasaan anak, membentak-bentak murid dihadapan teman sekelas sehingga murid-murid takut, merasa taka man.
8.       Tidak menaruh perhatian kepada murid dan tidak memahami murid.
9.       Memberi tugas dan pekerjaan rumah yang tidak sepantasnya.
10.   Tidak sanggup menjaga disiplin di dalam kelas, tidak  dapat mengontrol kelas , dan tidak menimbulkan rasa hormat untuk dirinya.
Sepuluh Sifat yang Disukai Siswa
1.       Suka membantu dalam pekerjaan sekolah, menerangkan pelajaran dengan jelas serta mendalam dan menggunakan contoh-contoh waktu mengajar.
2.       Riang gembira, mempunyai perasaan humor, dan suka menerima lelucon atas dirinya.
3.       Bersikap akrab seperti sahabat, merasa sebagai anggota dalam kelompok kelas.
4.       Menunjukkan perhatian pada murid dan memahami mereka.
5.       Berusaha agar pekerjaan sekolah menarik, membangkitkan keinginan belajar.
6.       Tegas, sanggup menguasai kelas, membangkitkan rasa hormat pada murid.
7.       Tak pilih kasih, tidak mempunyai anak kesayangan.
8.       Tidak suke mengomel, mencela, mengejek , menyindir.
9.       Betul-betul mengajarkans sesuatu yang berharga bagi murid.
10.   Mempunyai pribadi yang menyenangkan.
Sumber : Menjadi Guru Efektif, Drs Suparlan, M. Ed.

Fikmin # Mas Sampah#




Euweuh nu apalaeun ngaran aslina, di landih Mas Sampah teh bane wae pagaweanana mulungan runtah di RW. Sabulan sakali meunang gajih tina uduna warga. Dumukna di sosompang masigit, nyorangan. Teu anak  teu bojo, estu nunggeulis. Minggu harita Mas Sampah kalintang sibukna, pedah rek aya lomba kebersihan tingkat kacamatan. Isuk sore ngadorong roda runtah pulang anting. Awak nu regeng ketingali beuki begung, katambah deuih panyakit asma na sok remen jadi ari gawe beurat teuing teh. Sabada beres di peunteun di umumkeun dina speker masjid ku ibu RW  yen kebersihan di eta  RW pinunjul juara kahiji sakecamatan. Beres ngumumkeun, soloyong Ibu RW teh ka sosompang masjid panasaran pedah si Mas Sampah geus dua poe teu tembong. Diketrok sababaraha kali euweuh nu nembelan, Ibu PKK maksa asup ka sosompang nu rupek. Kasampak Si Mas Sampah keur nangkuban, sabada di guyahkeun awakna oyag kabeh, Bu RW ngoceak, bari teu lila ngucapkeu n “Inna lillahi waina ilaihi rojiun”

Trik Sederhana untuk Sukses Mengeluh



Anda mau mengeluh? Bila jawabannya ya, trik berikut siapa tahu berguna.
1.       Kedipkan mata Anda dan pastikan bahwa mata Anda bisa melihat benda yang ada di depan Anda dengan baik.
2.       Perhatikan telingan Anda, dan pastikan bahwa telinga Anda masih bisa mendengar.
3.       Perhatikan hidung Anda, tarik nafas perlahan-lahan dan rasakan bahwa hidung Anda masih berfungsi untuk dilewati udara yang akan masuk ke dalam paru-paru. (supaya yakin, lakukan ini beberapa kali)
4.       Masukkan makanan ke dalam mulut, dan rasakan bahwa mulut dan  lidah Anda masih bisa merasakan cita rasa makanan. (bila perlu yang pahit, agar benar-benar terasa)
5.       Rasakan dada Anda, dan rasakan bahwa denyut jantung Anda masih berdegup, (boleh juga cari reman , suruh teman Anda menempelkan telinganya di dada Anda untuk memastikan bahwa jantung Anda benar-benar berfungsi.)
6.       Jika semunya memang sudah bekerja sesuai dengan fungsinya, saatnya Anda berterima kasih dan bersyukur karena indera Anda masih lengkap )
Inilah saatnya Anda benar-benar mengeluh, lakukan langkah berikut :
1.       Ambil kertas , pensil balpoin, atau spidol.
2.       Tuliskan keluhan Anda pada kertas tadi, biarkan tangan Anda bekerja menuliskan keluhan Anda, jangan berpikir dengan tata bahasa,, ejaan, strutktur kalimat dan penggunaan kata, (Ingat Anda sedang mengeluh dan bukan membuat makalah atau tugas karya tulis). Semuanya dibiarkan mengalir begitu saja, lakukan sampai benar benar tangan Anda lelah dan Anda sudah kehabisan kata-kata.
3.       Bila sudah selesai, remas lah kertas tadi dengan kedua tangan sampai betul-betul mengerut  di genggaman tangan.
4.       Ambil keranjang sampah, berdirilah beberapa meter dari keranjang sampah, lalu siap-siaplah melempar.
5.       Lemparkan kertas tadi dengan sekencang-kencangnya seperti  seorang pemain basket menembakkan bola ke dalam keranjang.
6.       Ingat kertas tadi harus masuk ke dalam keranjang sampah, bila belum ulangi lagi sampai kertas Anda berhasil masuk ke dalam keranjang sampah.
7.       Kalau  kertas sudah masuk ke dalam keranjang, dan Anda merasa plong, berarti Anda telah berhasil m engeluh, bila gagal ulangi lagi.
8.       Selamat mencoba !
Diberdayakan oleh Blogger.