Minggu adalah hari untuk
memanjakan istri, meski hanya sekedar mengantarnya ke pasar naik motor. Seperti hari Minggu ini. Hari ini
berbeda, karena begitu motor di naiki berdua, tiba –tiba motor seperti oleng,
pasti ada yang tidak beres. Benar saja, saat di lihat ban belakang gembos.
Terpaksa motor di dorong dan istri menemani di belakang , menyusuri jalan
sekitar pasar untuk mencari tukang tambal ban. Tenu ini bukan suasana yang indah seperti saat dua puluh
tahun yang lalu. Saat di mana pengalaman
seperti ini terasa indah, persis seperti Ratna dan Galih dalam “Gita Cinta dari
SMA”
Di dekat pangkalan ojeg, seorang
tukang ojek menunjuk ke satu arah, me nunjukkan tempat tambal ban, meski saya
belum bertanya, rupanya ia melihat saya memerlukan bantuan dan tak perlu
bertanya dulu. Sampai di tempat yan di tuju, meski di sana ada kompresor besar
yang menandakan di sana tempat tambal ban, tapi saya tak melihat si penambal
ban. Namun, tiba-tiba dari dalam kios itu muncul seorang pemuda kurus, berkurlit
gelap , dan berjaket yang menutupi sebagian kepalanya, dan sebelah tangannya
mengepit jangka untuk menopang satu kakinya yang lebih pendek. Segera ia
mengarahkan tangannya agar saya menaikkan motor ke trotoar. Beberapa saat saya
agak tercengang, saya agak ragu apakah si pemuda tadi bisa menambal ban dalam keadaan seperti itu.
Dugaan saya meleset persen, saya
lihat ia tampak gesit menyetandarkan motor, lalu membuka ban dan pergi menarik
tali kompresor dengan sebelah tangan, semuanya berjalan normal dan tidak tampak
sedikit pun terlihat “berabe” seperti yang saya khawatirkan.
Selama beberapa saat saya
memperhatikan dia menambal ban, saya
merasa kagum dengan “keterbatasan fisik” nya ia tidak menyerah dan tidak
menganggapnya sebagai rintangan. Saya membandingkannya dengan pemuda-pemuda
sebayanya yang lebih senang jadi pengamen meski fisiknya sehat. Kalau saja ia
menjadi pengamen, atau menjadi peminta-minta sekalipun, si penambal ban tadi
tentu akan menarik simpati dan rasa kasihan setiap orang. Tapi itu tidak
dilakukannya. Boleh jadi ia lebih senang bekerja keras meski dalam keadaan
cacat, sebab dengan cara itu ia lebih terhormat dan tentu saja tidak menjadi
beban kasihan orang lain. Saya berpikir , setiap pemuda meski mencotoh dan
menjadikan semangat pemuda si penambal ban tadi sebagai sumber inspirasi.
Jadi, kalau si tambal ban tadi tidak pantang
menyerah, me
Tidak ada komentar:
Posting Komentar