Jumat, 08 Juni 2012

Si Penambal Ban




Minggu adalah hari untuk memanjakan istri, meski hanya sekedar mengantarnya ke pasar  naik motor. Seperti hari Minggu ini. Hari ini berbeda, karena begitu motor di naiki berdua, tiba –tiba motor seperti oleng, pasti ada yang tidak beres. Benar saja, saat di lihat ban belakang gembos. Terpaksa motor di dorong dan istri menemani di belakang , menyusuri jalan sekitar pasar untuk mencari tukang tambal ban. Tenu ini bukan  suasana yang indah seperti saat dua puluh tahun  yang lalu. Saat di mana pengalaman seperti ini terasa indah, persis seperti Ratna dan Galih dalam “Gita Cinta dari SMA”
Di dekat pangkalan ojeg, seorang tukang ojek menunjuk ke satu arah, me nunjukkan tempat tambal ban, meski saya belum bertanya, rupanya ia melihat saya memerlukan bantuan dan tak perlu bertanya dulu. Sampai di tempat yan di tuju, meski di sana ada kompresor besar yang menandakan di sana tempat tambal ban, tapi saya tak melihat si penambal ban. Namun, tiba-tiba dari dalam kios itu muncul seorang pemuda kurus, berkurlit gelap , dan berjaket yang menutupi sebagian kepalanya, dan sebelah tangannya mengepit jangka untuk menopang satu kakinya yang lebih pendek. Segera ia mengarahkan tangannya agar saya menaikkan motor ke trotoar. Beberapa saat saya agak tercengang, saya agak ragu apakah si pemuda tadi bisa menambal  ban dalam keadaan seperti itu.
Dugaan saya meleset persen, saya lihat ia tampak gesit menyetandarkan motor, lalu membuka ban dan pergi menarik tali kompresor dengan sebelah tangan, semuanya berjalan normal dan tidak tampak sedikit pun terlihat “berabe” seperti yang saya khawatirkan.
Selama beberapa saat saya memperhatikan dia menambal  ban, saya merasa kagum dengan “keterbatasan fisik” nya ia tidak menyerah dan tidak menganggapnya sebagai rintangan. Saya membandingkannya dengan pemuda-pemuda sebayanya yang lebih senang jadi pengamen meski fisiknya sehat. Kalau saja ia menjadi pengamen, atau menjadi peminta-minta sekalipun, si penambal ban tadi tentu akan menarik simpati dan rasa kasihan setiap orang. Tapi itu tidak dilakukannya. Boleh jadi ia lebih senang bekerja keras meski dalam keadaan cacat, sebab dengan cara itu ia lebih terhormat dan tentu saja tidak menjadi beban kasihan orang lain. Saya berpikir , setiap pemuda meski mencotoh dan menjadikan semangat pemuda si penambal ban tadi sebagai sumber inspirasi.
Jadi, kalau si tambal ban tadi tidak pantang menyerah, me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text widget

About

Jumat, 08 Juni 2012

Si Penambal Ban




Minggu adalah hari untuk memanjakan istri, meski hanya sekedar mengantarnya ke pasar  naik motor. Seperti hari Minggu ini. Hari ini berbeda, karena begitu motor di naiki berdua, tiba –tiba motor seperti oleng, pasti ada yang tidak beres. Benar saja, saat di lihat ban belakang gembos. Terpaksa motor di dorong dan istri menemani di belakang , menyusuri jalan sekitar pasar untuk mencari tukang tambal ban. Tenu ini bukan  suasana yang indah seperti saat dua puluh tahun  yang lalu. Saat di mana pengalaman seperti ini terasa indah, persis seperti Ratna dan Galih dalam “Gita Cinta dari SMA”
Di dekat pangkalan ojeg, seorang tukang ojek menunjuk ke satu arah, me nunjukkan tempat tambal ban, meski saya belum bertanya, rupanya ia melihat saya memerlukan bantuan dan tak perlu bertanya dulu. Sampai di tempat yan di tuju, meski di sana ada kompresor besar yang menandakan di sana tempat tambal ban, tapi saya tak melihat si penambal ban. Namun, tiba-tiba dari dalam kios itu muncul seorang pemuda kurus, berkurlit gelap , dan berjaket yang menutupi sebagian kepalanya, dan sebelah tangannya mengepit jangka untuk menopang satu kakinya yang lebih pendek. Segera ia mengarahkan tangannya agar saya menaikkan motor ke trotoar. Beberapa saat saya agak tercengang, saya agak ragu apakah si pemuda tadi bisa menambal  ban dalam keadaan seperti itu.
Dugaan saya meleset persen, saya lihat ia tampak gesit menyetandarkan motor, lalu membuka ban dan pergi menarik tali kompresor dengan sebelah tangan, semuanya berjalan normal dan tidak tampak sedikit pun terlihat “berabe” seperti yang saya khawatirkan.
Selama beberapa saat saya memperhatikan dia menambal  ban, saya merasa kagum dengan “keterbatasan fisik” nya ia tidak menyerah dan tidak menganggapnya sebagai rintangan. Saya membandingkannya dengan pemuda-pemuda sebayanya yang lebih senang jadi pengamen meski fisiknya sehat. Kalau saja ia menjadi pengamen, atau menjadi peminta-minta sekalipun, si penambal ban tadi tentu akan menarik simpati dan rasa kasihan setiap orang. Tapi itu tidak dilakukannya. Boleh jadi ia lebih senang bekerja keras meski dalam keadaan cacat, sebab dengan cara itu ia lebih terhormat dan tentu saja tidak menjadi beban kasihan orang lain. Saya berpikir , setiap pemuda meski mencotoh dan menjadikan semangat pemuda si penambal ban tadi sebagai sumber inspirasi.
Jadi, kalau si tambal ban tadi tidak pantang menyerah, me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.