Selasa, 05 Juni 2012

Belajar Etika ke negeri Para Dewa



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang di ajenan, kudu ngadaban ka batur

Sejujurnya, masyarakat sebenarnya sudah enggan mengkritik keinerja anggota DPR. Sebab seperti pepatah mengatakan anjing menggonggong kafilah berlalu. Mereka benar-benar sebagai kafilah yang dicocok telinganya rapat-rapat , sehingga jangankan anjing kampung  bahkan gongongan anjing herder, maupun Doberman  , tidak mengubah perilaku mereka yang sudah cukup terkenal , yakni cuek bebek. Serbuan kiritk yang ditujukan kepada DPR pun tampaknya tidak mengubah apapun. Dari mulai soal kehadiran dalam rapat yang memprihatinkan, pengajuan dana aspirasi alias gentong babi, rencana pembangunan gedung baru, rencan renovasi rumah dinas, dan yang sekarang heboh  diberitakan adalah kegiatan  studi banding Ke Yunani, negara yang dijuluki  “negeri para dewa”.
Studi Banding BK (Badan Kehormatan) DPR ke Yunani dengan agenda utamanya ingin mempelajari “etika” benar-benar memancing reaksi keras berbagai pihak. Studi Banding yang konon menghabiskan dana 2  milyar tesebut mengundang  kecaman yang luar biasa. Sebab, publik tentu mempertanyakan urgensi  studi banding terebut  dengan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, lagi- lagi anggota DPR terebut  tetap pada pendiriannya. Anggoat BK tersebut tetap berangkat saja ke Yunani.
Dalam  wawancara di sebuah televise swasta, Nudirman Munir, salah seorang anggota BK yang akan berangkat tersebut dengan sangat PD (percaya diri)  menjelaskan bahwa  tujuan mereka ke sana adalah untuk memperlajari bagaimana etika parlemen di sana. Dari mulai soal bagaimana mereka itu tertib bersidang sehingga tidak jotos-jotosan, sampai dengan etika dalam menyampaikan interupsi dan soal bagaimana anggota parlemen di sana berpakaian ,merokok dsb. Dalam kesempatan itu, Tipta Lesmana, seorang pengamat politik dengan tegas membebebarkan bagaimana kasus-kasus studi banding sebelumnya yang tidak menghasilkan apa-apa. Juga pada kesempatan itu Tjipta Lesamana mengingatkan kembali akan hutan luar negeri kita yang sudah demikian membengkak. Sehingga para anggota DRP perlu melakukan penghematan uang Negara.
Pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, mengapa untuk memperlajari etika harus jauh-jauh ke Yunani?  Padahal sebenarnya  bangsa kita adalah bangsa yang terkenal sangat menjunjung tinggi etika. Dari sejak kecil, dalam lingkungan keluarga, pendidikan tentang etika sudah ditanamkan dengan sungguh-sungguh. Misalnya bagaimana berbicara dengan orang lain, terutama dengan yang lebih tua, bagaimana tata cara dalam hubungan dengan tetangga dan orang lain, juga tatacara dan etika dalam sebuah kelompok sehingga tidak menimbulkan persengketaan. Dalam kehidupan bermasyarakat sudah dikenal dengan etika yang tidak tertulis yang wajib ditaati oleh warga masyarakat. Bagi siapapun yang melanggar etika tersebut akan mendapat sangsi social. Hal ini sudah dijalankan oleh nenek moyang kita dan selalu ditanamkan kepada generasi penerus, termasuk juga anggota DPR tentunya.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda, dikenal sebuah paparikan atau sisindiran “ meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang diajenan, kudu ngadaban ka batur “ (Membeli  ayam  harga setalen, diberi makan bekatul, siapa yang  ingin di hargai orang lain  hendaknya bertingkah laku baik pada orang lain). Paparikan di atas menggambarkan betapa pentingnya menjaga etika dan tatakrama untuk saling menghormati dan saling menghargai dengan orang lain.  Kalau saja, pesan yang ada dalam paparikan tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, nisacaya akan terjadi harmoni dalam kehidupan masyarakat , sebab hubungan antara sesama warga masyarakat dilandasi perasaan saling menghargai dan menhormati.
Berbagai kekerasan yang terjadi baik di jalanan, maupun di gedung DPR sesunguhnya karena perasaan untuk saling menghargai dan menghormati peran dan fungsi masing-masing sudah tergusur dalam alam pikiran serta ruang batin sebagian bangsa kita. Yang mencuat  ke permukaan dewasa ini adalah egoisime kelompok maupun arogansi sektoral,  yang ujung-ujungnya sering melahirkan konflik dengan nuansa kekerasan.
 Jika dikaji  lebih dalam, sesungguhnya bangsa kita ini bangsa yang kaya dengan nilai-nilai warisan budaya yang dapat dikaji dan ditelaah lebih lanjut untuk  menghasilan rumusan tentang etika yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, juga termasuk dalam siding parelemen. Sayang, kita mungkin punya kebiasaan melihat rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput di halaman kita sendiri. Kita tidak mau bersusah payah menggali kekayaan bangsa sendiri, senang yang serba instan dan tak banyak menguras tenaga.  Apakah kalau sudah studi banding ke Yunani itu mereka menjadi lebih santun dan tidak ada lagi jotos-jotosan? Tak ada yang bisa memberikan jaminan. (Penulis Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg, Pengelola Bapinger)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text widget

About

Selasa, 05 Juni 2012

Belajar Etika ke negeri Para Dewa



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang di ajenan, kudu ngadaban ka batur

Sejujurnya, masyarakat sebenarnya sudah enggan mengkritik keinerja anggota DPR. Sebab seperti pepatah mengatakan anjing menggonggong kafilah berlalu. Mereka benar-benar sebagai kafilah yang dicocok telinganya rapat-rapat , sehingga jangankan anjing kampung  bahkan gongongan anjing herder, maupun Doberman  , tidak mengubah perilaku mereka yang sudah cukup terkenal , yakni cuek bebek. Serbuan kiritk yang ditujukan kepada DPR pun tampaknya tidak mengubah apapun. Dari mulai soal kehadiran dalam rapat yang memprihatinkan, pengajuan dana aspirasi alias gentong babi, rencana pembangunan gedung baru, rencan renovasi rumah dinas, dan yang sekarang heboh  diberitakan adalah kegiatan  studi banding Ke Yunani, negara yang dijuluki  “negeri para dewa”.
Studi Banding BK (Badan Kehormatan) DPR ke Yunani dengan agenda utamanya ingin mempelajari “etika” benar-benar memancing reaksi keras berbagai pihak. Studi Banding yang konon menghabiskan dana 2  milyar tesebut mengundang  kecaman yang luar biasa. Sebab, publik tentu mempertanyakan urgensi  studi banding terebut  dengan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, lagi- lagi anggota DPR terebut  tetap pada pendiriannya. Anggoat BK tersebut tetap berangkat saja ke Yunani.
Dalam  wawancara di sebuah televise swasta, Nudirman Munir, salah seorang anggota BK yang akan berangkat tersebut dengan sangat PD (percaya diri)  menjelaskan bahwa  tujuan mereka ke sana adalah untuk memperlajari bagaimana etika parlemen di sana. Dari mulai soal bagaimana mereka itu tertib bersidang sehingga tidak jotos-jotosan, sampai dengan etika dalam menyampaikan interupsi dan soal bagaimana anggota parlemen di sana berpakaian ,merokok dsb. Dalam kesempatan itu, Tipta Lesmana, seorang pengamat politik dengan tegas membebebarkan bagaimana kasus-kasus studi banding sebelumnya yang tidak menghasilkan apa-apa. Juga pada kesempatan itu Tjipta Lesamana mengingatkan kembali akan hutan luar negeri kita yang sudah demikian membengkak. Sehingga para anggota DRP perlu melakukan penghematan uang Negara.
Pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, mengapa untuk memperlajari etika harus jauh-jauh ke Yunani?  Padahal sebenarnya  bangsa kita adalah bangsa yang terkenal sangat menjunjung tinggi etika. Dari sejak kecil, dalam lingkungan keluarga, pendidikan tentang etika sudah ditanamkan dengan sungguh-sungguh. Misalnya bagaimana berbicara dengan orang lain, terutama dengan yang lebih tua, bagaimana tata cara dalam hubungan dengan tetangga dan orang lain, juga tatacara dan etika dalam sebuah kelompok sehingga tidak menimbulkan persengketaan. Dalam kehidupan bermasyarakat sudah dikenal dengan etika yang tidak tertulis yang wajib ditaati oleh warga masyarakat. Bagi siapapun yang melanggar etika tersebut akan mendapat sangsi social. Hal ini sudah dijalankan oleh nenek moyang kita dan selalu ditanamkan kepada generasi penerus, termasuk juga anggota DPR tentunya.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda, dikenal sebuah paparikan atau sisindiran “ meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang diajenan, kudu ngadaban ka batur “ (Membeli  ayam  harga setalen, diberi makan bekatul, siapa yang  ingin di hargai orang lain  hendaknya bertingkah laku baik pada orang lain). Paparikan di atas menggambarkan betapa pentingnya menjaga etika dan tatakrama untuk saling menghormati dan saling menghargai dengan orang lain.  Kalau saja, pesan yang ada dalam paparikan tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, nisacaya akan terjadi harmoni dalam kehidupan masyarakat , sebab hubungan antara sesama warga masyarakat dilandasi perasaan saling menghargai dan menhormati.
Berbagai kekerasan yang terjadi baik di jalanan, maupun di gedung DPR sesunguhnya karena perasaan untuk saling menghargai dan menghormati peran dan fungsi masing-masing sudah tergusur dalam alam pikiran serta ruang batin sebagian bangsa kita. Yang mencuat  ke permukaan dewasa ini adalah egoisime kelompok maupun arogansi sektoral,  yang ujung-ujungnya sering melahirkan konflik dengan nuansa kekerasan.
 Jika dikaji  lebih dalam, sesungguhnya bangsa kita ini bangsa yang kaya dengan nilai-nilai warisan budaya yang dapat dikaji dan ditelaah lebih lanjut untuk  menghasilan rumusan tentang etika yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, juga termasuk dalam siding parelemen. Sayang, kita mungkin punya kebiasaan melihat rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput di halaman kita sendiri. Kita tidak mau bersusah payah menggali kekayaan bangsa sendiri, senang yang serba instan dan tak banyak menguras tenaga.  Apakah kalau sudah studi banding ke Yunani itu mereka menjadi lebih santun dan tidak ada lagi jotos-jotosan? Tak ada yang bisa memberikan jaminan. (Penulis Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg, Pengelola Bapinger)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.