Oleh Iwan Ardhie Priyana
Meuli hayam satalenan, diparaban ku bakatul, lamun hayang di ajenan,
kudu ngadaban ka batur
Sejujurnya, masyarakat sebenarnya
sudah enggan mengkritik keinerja anggota DPR. Sebab seperti pepatah mengatakan
anjing menggonggong kafilah berlalu. Mereka benar-benar sebagai kafilah yang
dicocok telinganya rapat-rapat , sehingga jangankan anjing kampung bahkan gongongan anjing herder, maupun Doberman
, tidak mengubah perilaku mereka yang
sudah cukup terkenal , yakni cuek bebek. Serbuan kiritk yang ditujukan kepada
DPR pun tampaknya tidak mengubah apapun. Dari mulai soal kehadiran dalam rapat
yang memprihatinkan, pengajuan dana aspirasi alias gentong babi, rencana pembangunan
gedung baru, rencan renovasi rumah dinas, dan yang sekarang heboh diberitakan adalah kegiatan studi banding Ke Yunani, negara yang
dijuluki “negeri para dewa”.
Studi Banding BK (Badan
Kehormatan) DPR ke Yunani dengan agenda utamanya ingin mempelajari “etika”
benar-benar memancing reaksi keras berbagai pihak. Studi Banding yang konon
menghabiskan dana 2 milyar tesebut
mengundang kecaman yang luar biasa.
Sebab, publik tentu mempertanyakan urgensi
studi banding terebut dengan
kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, lagi- lagi anggota DPR terebut tetap pada pendiriannya. Anggoat BK tersebut
tetap berangkat saja ke Yunani.
Dalam wawancara di sebuah televise swasta, Nudirman
Munir, salah seorang anggota BK yang akan berangkat tersebut dengan sangat PD
(percaya diri) menjelaskan bahwa tujuan mereka ke sana adalah untuk
memperlajari bagaimana etika parlemen di sana. Dari mulai soal bagaimana mereka
itu tertib bersidang sehingga tidak jotos-jotosan, sampai dengan etika dalam
menyampaikan interupsi dan soal bagaimana anggota parlemen di sana berpakaian
,merokok dsb. Dalam kesempatan itu, Tipta Lesmana, seorang pengamat politik
dengan tegas membebebarkan bagaimana kasus-kasus studi banding sebelumnya yang
tidak menghasilkan apa-apa. Juga pada kesempatan itu Tjipta Lesamana
mengingatkan kembali akan hutan luar negeri kita yang sudah demikian
membengkak. Sehingga para anggota DRP perlu melakukan penghematan uang Negara.
Pertanyaan yang cukup menggelitik
adalah, mengapa untuk memperlajari etika harus jauh-jauh ke Yunani? Padahal sebenarnya bangsa kita adalah bangsa yang terkenal
sangat menjunjung tinggi etika. Dari sejak kecil, dalam lingkungan keluarga,
pendidikan tentang etika sudah ditanamkan dengan sungguh-sungguh. Misalnya
bagaimana berbicara dengan orang lain, terutama dengan yang lebih tua,
bagaimana tata cara dalam hubungan dengan tetangga dan orang lain, juga tatacara
dan etika dalam sebuah kelompok sehingga tidak menimbulkan persengketaan. Dalam
kehidupan bermasyarakat sudah dikenal dengan etika yang tidak tertulis yang
wajib ditaati oleh warga masyarakat. Bagi siapapun yang melanggar etika
tersebut akan mendapat sangsi social. Hal ini sudah dijalankan oleh nenek
moyang kita dan selalu ditanamkan kepada generasi penerus, termasuk juga
anggota DPR tentunya.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda,
dikenal sebuah paparikan atau sisindiran “ meuli hayam satalenan, diparaban ku
bakatul, lamun hayang diajenan, kudu ngadaban ka batur “ (Membeli ayam harga setalen, diberi makan bekatul, siapa
yang ingin di hargai orang lain hendaknya bertingkah laku baik pada orang
lain). Paparikan di atas menggambarkan betapa pentingnya menjaga etika dan
tatakrama untuk saling menghormati dan saling menghargai dengan orang lain. Kalau saja, pesan yang ada dalam paparikan
tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, nisacaya akan terjadi
harmoni dalam kehidupan masyarakat , sebab hubungan antara sesama warga
masyarakat dilandasi perasaan saling menghargai dan menhormati.
Berbagai kekerasan yang terjadi
baik di jalanan, maupun di gedung DPR sesunguhnya karena perasaan untuk saling
menghargai dan menghormati peran dan fungsi masing-masing sudah tergusur dalam
alam pikiran serta ruang batin sebagian bangsa kita. Yang mencuat ke permukaan dewasa ini adalah egoisime
kelompok maupun arogansi sektoral, yang
ujung-ujungnya sering melahirkan konflik dengan nuansa kekerasan.
Jika dikaji
lebih dalam, sesungguhnya bangsa kita ini bangsa yang kaya dengan
nilai-nilai warisan budaya yang dapat dikaji dan ditelaah lebih lanjut untuk menghasilan rumusan tentang etika yang dapat
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, juga termasuk dalam siding parelemen.
Sayang, kita mungkin punya kebiasaan melihat rumput tetangga selalu lebih hijau
dari rumput di halaman kita sendiri. Kita tidak mau bersusah payah menggali kekayaan
bangsa sendiri, senang yang serba instan dan tak banyak menguras tenaga. Apakah kalau sudah studi banding ke Yunani
itu mereka menjadi lebih santun dan tidak ada lagi jotos-jotosan? Tak ada yang
bisa memberikan jaminan. (Penulis Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg,
Pengelola Bapinger)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar