Selasa, 05 Juni 2012

Berhati-hatilah dengan Hypnoterapi



Oleh Iwan Apriyana
Catatan untuk Asep Haerul  Gani

Perkenalan saya dengan hypnoterapi  diperoleh  dengan cara yang “menyesatkan” dan tak terduga. Mengapa disebut menyesatkan? Karena hal itu berbeda dengan perkenalan saya dengan kata cinta misalnya. Kata cinta diperkenalkan melalui cara-cara dan peristiwa yang menyenangkan, seperti pertemuan dengan seseorang yang saya senangi, lagu-lagu yang menguras emosi, bunga-bunga yang indah, puisi yang mendayu-dayu ; serta  berbagai pengalaman yang sepenuhnya diliputi suasana hati yang riang. Meskipun sesugguhnya  peristiwa cinta sendiri tidak berarti selamanya menyenangkan, tetapi tetap saja tidak menggoyahkan pendririan dan pemahaman  saya terhadap cinta sebagai suatu “yang aduhai” meskipun cinta sendiri sering  saya anggap sebagai “Cerita Indah Namun Tiada Arti “.
Pengalaman  berkenalan dengan hypnoterapi tidak seindah saya mengenal dan memahami kata cinta. Hypnoterapi atau  yang pada awalnya saya identikkan dengan hipnotis, diperkenalkan melalui  peritiwa kriminal yang saya dengar dari mulut ke mulut atau yang  saya baca di koran. Dari situ, saya mulai mengenal hipnotis sebagai salah satu modus operandi tindakan jahat yang patut dijauhi  yang sekaligus juga tersimpan kebencian yang sangat di dalamnya. Dalam hati, saya membayangkan seseorang yang  kehilangan banyak benda berharga karena ia telah dihipnotis oleh seseorang yang mungkin wajahnya menyeramkan dan tidak memiliki perasaan.
Kebencian terhadap hypnotis semakin menguat ,saat saya mengalami peristiwa yang saya anggap sangat konyol. Siang itu, disebuah pusat pertokoan yang menjual onderdil computer di daerah Kosambi,  tiba-tiba saya ditepuk oleh seseorang yang tidak saya kenal. Namun orang itu dengan sangat meyakinkan bertanya pada tentang beberapa” temannya”  diinstansi saya . Beberapa  nama temannya itu tidak saya kenal, hanya saya mengenal satu nama yang disebutkan oleh orang itu yang kebetulan menjadi pimpinan  di kantor pusat. Sejenak kemudian saya sudah terlibat pembicaraan,meskipun saya sebenarnya lebih banyak bengongnya, ketimbang merespon ucapannya. Pada saat kebengongan saya mencapai titik kulminasinya, ia kemudian mengatakan bahwa ia butuh sejumlah uang untuk ongkos pulang ke satu daerah di Sumedang. Dan tentu sudah dibayangkan bagaimana endingnya. Dengan enteng saya mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya pada “sahabat baru” saya itu. Setelah beberapa saa orang itu berlalu dari muka saya, baru saya menyadari , apakah benar-benar ia  orang dekat dengan atasan saya  di kantor pusat? Kenapa saya  harus mau mengikuti perintahnya untuk mengeluarkan uang? Mengapa saya tidak bertanya tentang hal-hal lain untuk menguji apakah benar-benar ia mengenal teman di kantor pusat? Saya berkesimpulan saya telah di hipnotis !. Sejak itu saya katakan dalam diri “Behati-hati lah dengan hipnotis.
Kebencian saya, terhadap hipnotis serta berbagai hal yang ada disekitarnya pun terus berlangsung sampai suatu saat saya mengalami perstiwa yang tak terduga.
Sore itu, di pertengahan tahun 2009 ; seseorang mengudang saya untuk menghadiri diskusi bulanan  yang diselenggarakan oleh PPS (Pusat Studi  Sunda) dengan tema  “Tarapeutik Sastra Keur Kajembaran Diri “. Judul diskusi tersebut menarik karena berhubungan dengan dunia yang sudah lama saya geluti dan saya merasa bagian di dalamnya ; yakni sastra. Pembicara utama dalam diskusi itu disebutkan oleh moderator bernama Asep Haerul Gani  serta  Teddy AN Muhtadin. Nama yang pertama di sebut tidak saya kenal, apakah ia seorang penulis atau penggiat sastra, sedang nama yang kedua sering saya baca tulisanya  di sebuah majalah berbahasa Sunda di mana saya pernah menulis di media itu sekitar tahun 90-an.
Ada hal yang menarik perhatian saya dalam diskusi itu, yakni paparan yang dikemukakan Asep Haerul Gani  , bahwa selama ini satsra  teutama puisi hanya diselisik dari aspek   bahasanya yang mengandung rima, metaphor dan gaya bahasa yang ada di dalamnya. Padahal sesuguhhnya puisi mengandung unsure pengobatan (terapi). Contoh yang paling nyata dalam kasus ini adalah penggunaan mantera-mantera yang banyak digunakan para dukun untuk melakukan terapi. Sebagai seorang yang penikmat sastra, saya memperoleh pemahaman dan kesadaran baru tentang dunia  sastra lewat diskusi itu. Khususnya, bagaimana sastra mampu memberikan efek terapi bagi orang lain.
Diskusi tersebut, dalam perkembangannya kemudian menggoda saya untuk lebih memahami  hubungan antara sastra dengan terapi. Beruntunglah waktu  itu Asep Haerul Gani memberikan  soft kopi beberapa tulisan yang berkaitan dengan terapi. Saat saya pelajari tulisan itu, sebenarnya tidak secara khusus menyingung peranan sastra dengan terapi, tetapi lebih menekankan bagaimana proses terapi dengan  mengguakan pendekatakan hyponterapi.  Tapi aneh bin ajaib, saat saya membaca tulisan itu yang sebagian besar  berbicara soal hipnotis dan hypnoterapi , kebencian saya terhadap kata hipnotis yang entah berapa lama tersimpan dalam memori saya seakan akan mmenguap begitu saja. Saat itu boleh jadi saya jadi amnesia terhadap hipnotis. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ,timbulnya  perasaan  tertarik dengan berbagai penanganan kasus yang dialami klien dalam tulisan itu yang mengalami masalah yang berhubungan dengan pribadinya dengan menggunakan pendekatan hypnoterapi.
Entah jin mana  yang ditiupkan oleh Asep Haerul Gani dalam diri saya , sehingga mulai saat itu saya begitu rajin  membaca berbagai hal yang berhubunan dengan hipnotis dan hipnoterapi, saya juga begitu rajin menjelajahi poral NLP di internet, rajin mendownload berbagai uraian yang berhubungan dengan hypnosis, dan meskipun agak  malas terpaksa membeli buku  yang didalamnya menguraikan  hipnotis dengan segala macam pernak-perniknya.
“Buat apa membaca bukunya kalau nggak ikut praktik?” Membaca buku saja tak berarti apa-apa kalau tidak ikut pelatihan” kata-kata itulah yang sering diungkapkan kan oleh Asep pada saat saat saya berkomunkisi denganya. Kalaupun saya bertanya banyak hal jawabanya singkat saja “ikut saja pelatihannya”.  Saya ini kan cuma pegawai yang gajinya  gak cukup memadai untuk ikut pelatihan?  Jawabnnya tetap saja pendek “ikut saja pelatihannya”.
Benar, saya berasumsi bahwa pengetahuan sepraktis dan semudah apapun yang beruhubungan dengan hypnoterapi tidak berarti bila tidak ikut pelatihan. Bagaimana seorang dikatakan pendekar kalau selamanya tapa di atas gunung  dan tidak pernah ikut bertarung dengan pendekar lainnya nuntuk menguji sejauh mana kemahiran jurusnya?
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa  dan didorong oleh keinginan yang luhur (koq jadi  mirip alinea ketiga Pembukaan UUD 45 ya?) serta atas provokasi Kang Asep Haerul Gani, saya berksempatan mengkuti pelatihan selama dua hari di Bandung (meski ada bolongnya karena terganggu kegiatan saya yang lain). Selama dua hari itu, pemahaman saya tentang hypnoterapi lebih terbuka dari sebelumnya. Lewat berbagai bentuk latihan Asep menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan hypnoterapi, berbagai metode latihan tersebut memunculkan wawasan dan pemahaman baru tentang tubuh, kecerdasan tubuh, memberdayakan diri, dan berbagai hal lain yang tidak saya jumpai sebelumnya termasuk dalam buku sekalipun.
Hal yang penting dari hypnoterapi adalah melakukan praktik. Beruntunglah saya sebagai guru karena banyak memiliki murid. Sebagian metode yang pernah  diajarkan saya coba praktikkan pada puluhan murid saya. (Nak maafkan Bapak karena telah menjadikan kalian kelinci percobaan…!). Hasilnya, sungguh luar biasa, saya punya pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya, dan saya merasakan kegembraan serta “keberdayaan diri ” yang tidak saya rasakan sebelumnya,  terlebih karena respon dari teman-teman pun demikian bagusnya termasuk dari kepala sekolah yang berkali-kali mengakatan “bagus” dan “nuhun Pak Iwan” dan telah memprogramkan kegiatan yang saya lakukan itu pada anak-anak dalam persiapan menghadapi ujian nasional pekan depan.
Tidak hanya itu, seorang teman dengan keikhlasan yang penuh berharap pada saya untuk membantu memecahkan masalah yang dia alami. Dengan keberanian yang penuh pula  sambil “nyambat” guru saya Asep Haerul Gani, saya mencoba melakukan terapi. Alhamdulah dia berhasil mengalam trance, ia mengalami peristiwa yang sangat luar biasa, tanganya terasa berat dan kaku padahal ia ingin sekali merangkul ibunya yang dihadirkan dalam imajinasinya. Ada gurat-gurat kelegaan di dalam wajahnya yang sangat berbeda saat ia belum mengalami terapi, dengan berapi-api ia ceritakan pengalaman itu kepada rekan yang lain.
Banyak hal yang sesungguhnya ingin saya paparkan dalam catatan ini.  Namun sengaja tidak saya paparkan di sini sebab yakin teman-teman yang lain memiliki pengalam an yang lebih spketuakuler dan lebih dahsyat dari pengalaman saya .
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya sebenarnya ingin berkata “ Berhati-hatilah dengan hypnoterapi”  mengapa? Karena kita akan mengalami hal-hal yang terduga dan sangat luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text widget

About

Selasa, 05 Juni 2012

Berhati-hatilah dengan Hypnoterapi



Oleh Iwan Apriyana
Catatan untuk Asep Haerul  Gani

Perkenalan saya dengan hypnoterapi  diperoleh  dengan cara yang “menyesatkan” dan tak terduga. Mengapa disebut menyesatkan? Karena hal itu berbeda dengan perkenalan saya dengan kata cinta misalnya. Kata cinta diperkenalkan melalui cara-cara dan peristiwa yang menyenangkan, seperti pertemuan dengan seseorang yang saya senangi, lagu-lagu yang menguras emosi, bunga-bunga yang indah, puisi yang mendayu-dayu ; serta  berbagai pengalaman yang sepenuhnya diliputi suasana hati yang riang. Meskipun sesugguhnya  peristiwa cinta sendiri tidak berarti selamanya menyenangkan, tetapi tetap saja tidak menggoyahkan pendririan dan pemahaman  saya terhadap cinta sebagai suatu “yang aduhai” meskipun cinta sendiri sering  saya anggap sebagai “Cerita Indah Namun Tiada Arti “.
Pengalaman  berkenalan dengan hypnoterapi tidak seindah saya mengenal dan memahami kata cinta. Hypnoterapi atau  yang pada awalnya saya identikkan dengan hipnotis, diperkenalkan melalui  peritiwa kriminal yang saya dengar dari mulut ke mulut atau yang  saya baca di koran. Dari situ, saya mulai mengenal hipnotis sebagai salah satu modus operandi tindakan jahat yang patut dijauhi  yang sekaligus juga tersimpan kebencian yang sangat di dalamnya. Dalam hati, saya membayangkan seseorang yang  kehilangan banyak benda berharga karena ia telah dihipnotis oleh seseorang yang mungkin wajahnya menyeramkan dan tidak memiliki perasaan.
Kebencian terhadap hypnotis semakin menguat ,saat saya mengalami peristiwa yang saya anggap sangat konyol. Siang itu, disebuah pusat pertokoan yang menjual onderdil computer di daerah Kosambi,  tiba-tiba saya ditepuk oleh seseorang yang tidak saya kenal. Namun orang itu dengan sangat meyakinkan bertanya pada tentang beberapa” temannya”  diinstansi saya . Beberapa  nama temannya itu tidak saya kenal, hanya saya mengenal satu nama yang disebutkan oleh orang itu yang kebetulan menjadi pimpinan  di kantor pusat. Sejenak kemudian saya sudah terlibat pembicaraan,meskipun saya sebenarnya lebih banyak bengongnya, ketimbang merespon ucapannya. Pada saat kebengongan saya mencapai titik kulminasinya, ia kemudian mengatakan bahwa ia butuh sejumlah uang untuk ongkos pulang ke satu daerah di Sumedang. Dan tentu sudah dibayangkan bagaimana endingnya. Dengan enteng saya mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya pada “sahabat baru” saya itu. Setelah beberapa saa orang itu berlalu dari muka saya, baru saya menyadari , apakah benar-benar ia  orang dekat dengan atasan saya  di kantor pusat? Kenapa saya  harus mau mengikuti perintahnya untuk mengeluarkan uang? Mengapa saya tidak bertanya tentang hal-hal lain untuk menguji apakah benar-benar ia mengenal teman di kantor pusat? Saya berkesimpulan saya telah di hipnotis !. Sejak itu saya katakan dalam diri “Behati-hati lah dengan hipnotis.
Kebencian saya, terhadap hipnotis serta berbagai hal yang ada disekitarnya pun terus berlangsung sampai suatu saat saya mengalami perstiwa yang tak terduga.
Sore itu, di pertengahan tahun 2009 ; seseorang mengudang saya untuk menghadiri diskusi bulanan  yang diselenggarakan oleh PPS (Pusat Studi  Sunda) dengan tema  “Tarapeutik Sastra Keur Kajembaran Diri “. Judul diskusi tersebut menarik karena berhubungan dengan dunia yang sudah lama saya geluti dan saya merasa bagian di dalamnya ; yakni sastra. Pembicara utama dalam diskusi itu disebutkan oleh moderator bernama Asep Haerul Gani  serta  Teddy AN Muhtadin. Nama yang pertama di sebut tidak saya kenal, apakah ia seorang penulis atau penggiat sastra, sedang nama yang kedua sering saya baca tulisanya  di sebuah majalah berbahasa Sunda di mana saya pernah menulis di media itu sekitar tahun 90-an.
Ada hal yang menarik perhatian saya dalam diskusi itu, yakni paparan yang dikemukakan Asep Haerul Gani  , bahwa selama ini satsra  teutama puisi hanya diselisik dari aspek   bahasanya yang mengandung rima, metaphor dan gaya bahasa yang ada di dalamnya. Padahal sesuguhhnya puisi mengandung unsure pengobatan (terapi). Contoh yang paling nyata dalam kasus ini adalah penggunaan mantera-mantera yang banyak digunakan para dukun untuk melakukan terapi. Sebagai seorang yang penikmat sastra, saya memperoleh pemahaman dan kesadaran baru tentang dunia  sastra lewat diskusi itu. Khususnya, bagaimana sastra mampu memberikan efek terapi bagi orang lain.
Diskusi tersebut, dalam perkembangannya kemudian menggoda saya untuk lebih memahami  hubungan antara sastra dengan terapi. Beruntunglah waktu  itu Asep Haerul Gani memberikan  soft kopi beberapa tulisan yang berkaitan dengan terapi. Saat saya pelajari tulisan itu, sebenarnya tidak secara khusus menyingung peranan sastra dengan terapi, tetapi lebih menekankan bagaimana proses terapi dengan  mengguakan pendekatakan hyponterapi.  Tapi aneh bin ajaib, saat saya membaca tulisan itu yang sebagian besar  berbicara soal hipnotis dan hypnoterapi , kebencian saya terhadap kata hipnotis yang entah berapa lama tersimpan dalam memori saya seakan akan mmenguap begitu saja. Saat itu boleh jadi saya jadi amnesia terhadap hipnotis. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ,timbulnya  perasaan  tertarik dengan berbagai penanganan kasus yang dialami klien dalam tulisan itu yang mengalami masalah yang berhubungan dengan pribadinya dengan menggunakan pendekatan hypnoterapi.
Entah jin mana  yang ditiupkan oleh Asep Haerul Gani dalam diri saya , sehingga mulai saat itu saya begitu rajin  membaca berbagai hal yang berhubunan dengan hipnotis dan hipnoterapi, saya juga begitu rajin menjelajahi poral NLP di internet, rajin mendownload berbagai uraian yang berhubungan dengan hypnosis, dan meskipun agak  malas terpaksa membeli buku  yang didalamnya menguraikan  hipnotis dengan segala macam pernak-perniknya.
“Buat apa membaca bukunya kalau nggak ikut praktik?” Membaca buku saja tak berarti apa-apa kalau tidak ikut pelatihan” kata-kata itulah yang sering diungkapkan kan oleh Asep pada saat saat saya berkomunkisi denganya. Kalaupun saya bertanya banyak hal jawabanya singkat saja “ikut saja pelatihannya”.  Saya ini kan cuma pegawai yang gajinya  gak cukup memadai untuk ikut pelatihan?  Jawabnnya tetap saja pendek “ikut saja pelatihannya”.
Benar, saya berasumsi bahwa pengetahuan sepraktis dan semudah apapun yang beruhubungan dengan hypnoterapi tidak berarti bila tidak ikut pelatihan. Bagaimana seorang dikatakan pendekar kalau selamanya tapa di atas gunung  dan tidak pernah ikut bertarung dengan pendekar lainnya nuntuk menguji sejauh mana kemahiran jurusnya?
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa  dan didorong oleh keinginan yang luhur (koq jadi  mirip alinea ketiga Pembukaan UUD 45 ya?) serta atas provokasi Kang Asep Haerul Gani, saya berksempatan mengkuti pelatihan selama dua hari di Bandung (meski ada bolongnya karena terganggu kegiatan saya yang lain). Selama dua hari itu, pemahaman saya tentang hypnoterapi lebih terbuka dari sebelumnya. Lewat berbagai bentuk latihan Asep menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan hypnoterapi, berbagai metode latihan tersebut memunculkan wawasan dan pemahaman baru tentang tubuh, kecerdasan tubuh, memberdayakan diri, dan berbagai hal lain yang tidak saya jumpai sebelumnya termasuk dalam buku sekalipun.
Hal yang penting dari hypnoterapi adalah melakukan praktik. Beruntunglah saya sebagai guru karena banyak memiliki murid. Sebagian metode yang pernah  diajarkan saya coba praktikkan pada puluhan murid saya. (Nak maafkan Bapak karena telah menjadikan kalian kelinci percobaan…!). Hasilnya, sungguh luar biasa, saya punya pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya, dan saya merasakan kegembraan serta “keberdayaan diri ” yang tidak saya rasakan sebelumnya,  terlebih karena respon dari teman-teman pun demikian bagusnya termasuk dari kepala sekolah yang berkali-kali mengakatan “bagus” dan “nuhun Pak Iwan” dan telah memprogramkan kegiatan yang saya lakukan itu pada anak-anak dalam persiapan menghadapi ujian nasional pekan depan.
Tidak hanya itu, seorang teman dengan keikhlasan yang penuh berharap pada saya untuk membantu memecahkan masalah yang dia alami. Dengan keberanian yang penuh pula  sambil “nyambat” guru saya Asep Haerul Gani, saya mencoba melakukan terapi. Alhamdulah dia berhasil mengalam trance, ia mengalami peristiwa yang sangat luar biasa, tanganya terasa berat dan kaku padahal ia ingin sekali merangkul ibunya yang dihadirkan dalam imajinasinya. Ada gurat-gurat kelegaan di dalam wajahnya yang sangat berbeda saat ia belum mengalami terapi, dengan berapi-api ia ceritakan pengalaman itu kepada rekan yang lain.
Banyak hal yang sesungguhnya ingin saya paparkan dalam catatan ini.  Namun sengaja tidak saya paparkan di sini sebab yakin teman-teman yang lain memiliki pengalam an yang lebih spketuakuler dan lebih dahsyat dari pengalaman saya .
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya sebenarnya ingin berkata “ Berhati-hatilah dengan hypnoterapi”  mengapa? Karena kita akan mengalami hal-hal yang terduga dan sangat luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.