Selasa, 05 Juni 2012

PHOBIA SEKOLAH



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Sekolah berasal dari “skul” artinya tempat yang menyenangkan. Akan tetapi, di sekolah seorang siswa sering  merasa tertekan karena disiplin sekolah yang sangat ketat, pemberian tugas (PR) oleh guru  yang menyiksa,  belajar yang membosankan karena cara mengajar guru yang tidak menarik, belum lagi siksaan duduk berjam-jam saat guru “menjelaskan” materi pelajaran. Penambahan pelajaran tambahan yang dipaksakan. Sikap bapak ibu guru yang “killer”. Ditambah berbagai aturan lain yang  harus ditaati, serta berbagai sangsi yang menyakitkan.Walhasil, sekolah dengan kondisi seperti   itu bukan menjadi tempat yang menyenangkan, tapi malah menyiksa.
Jika orang tua melihat anaknya tidak bergairah untuk sekolah, sering bolos, menghindari sekolah dengan alasan sakit atau alasan kepura-puraan, jangan buru-buru memvonis anak dengan kata “malas”, kurang motivasi, manja dsb. Siapa tahu kondisi tersebut lebih disebabkan oleh situasi sekolah yang menyiksa tersebut. Tidak selamanya problem belajar  siswa tersebut  dipicu  fakor intrinsik, yakni kondisi di dalam diri si anak, namun bisa juga berumber dari lingkungan belajar siswa sendiri. Faktor lingkungan belajar yang tidak menyenangkan itu dapat menimbulkan phobia sekolah. Inilah kondisi yang tidak diharapkan oleh semua orang tua. Phobia sekolah merupakan gejala ketakutan seorang siswa pada apapun yang  berhubungan dengan sekolah.
Kasus phobia sekolah  dilaporkan pernah terjadi di Jepang. Sekitar lima ratus siswa sekolah dasar merasa takut bila melihat guru dan lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena tuntuan yang tinggi pada setiap siswa di sekolah tersebut sehingga menimbulkan tekanan psikologis bagi siswa. Di Indonesia kasus tersebut belum ditemukan. Akan tetapi, gejala phobia sekolah sudah muncul.  Kasus ini dapat dilihat banyaknya siswa yang bolos saat jam pelajaran,  tidak memiliki gairah untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sekolah, sering mogok sekolah, mencari alas an untuk tidak sekolah, malas mengerjakan PR, bahkan kadang-kadang membenci pada guru,serta  mencurat-coret sekolah. Perlu pula dicermati, mengapa banyak siswa  yang terpaksa DO. Tentu ini bukan semata-mata karena alasan ekonomi, sebab pemeritah telah membebaskan biaya pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah.
Pendidikan merupakan barometer kemajuan bangsa. Melalui sekolah dicetak manusia yang memiliki sumber daya yang unggul untuk siap berkompetensi dalam kancah persaingan. Bagaimana cita-cita luhur itu terwujud apabila sekolah “dimusuhi”. Bagaimana nasib Wajar Dikdas sembilan tahun  mencapai sasaran, apabila sebagian siswa mengalami phobia sekolah. Bagaimana siswa bisa belajar dengan nyaman bila sekolah dianggap sebagai tempat yang menakutkan.
Menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang  yaman. Tidak hanya lingkungan fisik semata, tetapi suasana kondusif di mana siswa merasa dia berada di tempat yang disukainya. Perlu diciptakan suasana komunikasi yang hangat antara siswa dan guru, sehingga siswa menganggap guru tidak hanya seb agai orang tua, tetapi juga sekaligus sahabat.
Di pihak lain, orang tua juga perlu memperhatikan siswanya di rumah, peka terhadap keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh siswa, serta mau menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua tidak langsung menyalahkan pihak sekolah bila ada hal yang menurutnya tidak sesuai, juga tidak bisa men”stigma”  siswa , sehingga menyebabkan siswa semakin tertekan. Orang tua bisa berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk memecahkan berbagai masalah yang berhubungan dengan kemajuan siswanya di sekolah. Bila perlu, orang tua  mendapat informasi apapun yang berhubungan dengan aktivitas sekolah, sehingga  terjadi saling pengertian.
Ujung tombak pendidikan adalah guru. Di sinilah pentingnya guru mampu menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menarik dan menantang. Di samping harus menciptakan metode pembelajaran yang bervariasi dan menarik, sedapat mungkin juga guru menghindari tugas-tugas yang bisa memberikan beban bagi siswa, seperti memberi  PR yang memberatkan, memberikan tugas tambahan yang menyulitkan. Kalaupun harus member tugas dipilih tugas yang menantang kreativitas siswa.


Iwan Ardhie Prieyana, Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text widget

About

Selasa, 05 Juni 2012

PHOBIA SEKOLAH



Oleh Iwan Ardhie Priyana

Sekolah berasal dari “skul” artinya tempat yang menyenangkan. Akan tetapi, di sekolah seorang siswa sering  merasa tertekan karena disiplin sekolah yang sangat ketat, pemberian tugas (PR) oleh guru  yang menyiksa,  belajar yang membosankan karena cara mengajar guru yang tidak menarik, belum lagi siksaan duduk berjam-jam saat guru “menjelaskan” materi pelajaran. Penambahan pelajaran tambahan yang dipaksakan. Sikap bapak ibu guru yang “killer”. Ditambah berbagai aturan lain yang  harus ditaati, serta berbagai sangsi yang menyakitkan.Walhasil, sekolah dengan kondisi seperti   itu bukan menjadi tempat yang menyenangkan, tapi malah menyiksa.
Jika orang tua melihat anaknya tidak bergairah untuk sekolah, sering bolos, menghindari sekolah dengan alasan sakit atau alasan kepura-puraan, jangan buru-buru memvonis anak dengan kata “malas”, kurang motivasi, manja dsb. Siapa tahu kondisi tersebut lebih disebabkan oleh situasi sekolah yang menyiksa tersebut. Tidak selamanya problem belajar  siswa tersebut  dipicu  fakor intrinsik, yakni kondisi di dalam diri si anak, namun bisa juga berumber dari lingkungan belajar siswa sendiri. Faktor lingkungan belajar yang tidak menyenangkan itu dapat menimbulkan phobia sekolah. Inilah kondisi yang tidak diharapkan oleh semua orang tua. Phobia sekolah merupakan gejala ketakutan seorang siswa pada apapun yang  berhubungan dengan sekolah.
Kasus phobia sekolah  dilaporkan pernah terjadi di Jepang. Sekitar lima ratus siswa sekolah dasar merasa takut bila melihat guru dan lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena tuntuan yang tinggi pada setiap siswa di sekolah tersebut sehingga menimbulkan tekanan psikologis bagi siswa. Di Indonesia kasus tersebut belum ditemukan. Akan tetapi, gejala phobia sekolah sudah muncul.  Kasus ini dapat dilihat banyaknya siswa yang bolos saat jam pelajaran,  tidak memiliki gairah untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sekolah, sering mogok sekolah, mencari alas an untuk tidak sekolah, malas mengerjakan PR, bahkan kadang-kadang membenci pada guru,serta  mencurat-coret sekolah. Perlu pula dicermati, mengapa banyak siswa  yang terpaksa DO. Tentu ini bukan semata-mata karena alasan ekonomi, sebab pemeritah telah membebaskan biaya pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah.
Pendidikan merupakan barometer kemajuan bangsa. Melalui sekolah dicetak manusia yang memiliki sumber daya yang unggul untuk siap berkompetensi dalam kancah persaingan. Bagaimana cita-cita luhur itu terwujud apabila sekolah “dimusuhi”. Bagaimana nasib Wajar Dikdas sembilan tahun  mencapai sasaran, apabila sebagian siswa mengalami phobia sekolah. Bagaimana siswa bisa belajar dengan nyaman bila sekolah dianggap sebagai tempat yang menakutkan.
Menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang  yaman. Tidak hanya lingkungan fisik semata, tetapi suasana kondusif di mana siswa merasa dia berada di tempat yang disukainya. Perlu diciptakan suasana komunikasi yang hangat antara siswa dan guru, sehingga siswa menganggap guru tidak hanya seb agai orang tua, tetapi juga sekaligus sahabat.
Di pihak lain, orang tua juga perlu memperhatikan siswanya di rumah, peka terhadap keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh siswa, serta mau menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua tidak langsung menyalahkan pihak sekolah bila ada hal yang menurutnya tidak sesuai, juga tidak bisa men”stigma”  siswa , sehingga menyebabkan siswa semakin tertekan. Orang tua bisa berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk memecahkan berbagai masalah yang berhubungan dengan kemajuan siswanya di sekolah. Bila perlu, orang tua  mendapat informasi apapun yang berhubungan dengan aktivitas sekolah, sehingga  terjadi saling pengertian.
Ujung tombak pendidikan adalah guru. Di sinilah pentingnya guru mampu menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menarik dan menantang. Di samping harus menciptakan metode pembelajaran yang bervariasi dan menarik, sedapat mungkin juga guru menghindari tugas-tugas yang bisa memberikan beban bagi siswa, seperti memberi  PR yang memberatkan, memberikan tugas tambahan yang menyulitkan. Kalaupun harus member tugas dipilih tugas yang menantang kreativitas siswa.


Iwan Ardhie Prieyana, Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.