Oleh Iwan Ardhie
Priyana
Sekolah
berasal dari “skul” artinya tempat yang menyenangkan. Akan tetapi, di sekolah
seorang siswa sering merasa tertekan
karena disiplin sekolah yang sangat ketat, pemberian tugas (PR) oleh guru yang menyiksa,
belajar yang membosankan karena cara mengajar guru yang tidak menarik,
belum lagi siksaan duduk berjam-jam saat guru “menjelaskan” materi pelajaran. Penambahan
pelajaran tambahan yang dipaksakan. Sikap bapak ibu guru yang “killer”. Ditambah
berbagai aturan lain yang harus ditaati,
serta berbagai sangsi yang menyakitkan.Walhasil, sekolah dengan kondisi
seperti itu bukan menjadi tempat yang
menyenangkan, tapi malah menyiksa.
Jika orang tua
melihat anaknya tidak bergairah untuk sekolah, sering bolos, menghindari sekolah
dengan alasan sakit atau alasan kepura-puraan, jangan buru-buru memvonis anak
dengan kata “malas”, kurang motivasi, manja dsb. Siapa tahu kondisi tersebut
lebih disebabkan oleh situasi sekolah yang menyiksa tersebut. Tidak selamanya
problem belajar siswa tersebut dipicu
fakor intrinsik, yakni kondisi di dalam diri si anak, namun bisa juga
berumber dari lingkungan belajar siswa sendiri. Faktor lingkungan belajar yang
tidak menyenangkan itu dapat menimbulkan phobia sekolah. Inilah kondisi yang
tidak diharapkan oleh semua orang tua. Phobia sekolah merupakan gejala
ketakutan seorang siswa pada apapun yang
berhubungan dengan sekolah.
Kasus phobia
sekolah dilaporkan pernah terjadi di
Jepang. Sekitar lima ratus siswa sekolah dasar merasa takut bila melihat guru
dan lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena tuntuan yang tinggi pada
setiap siswa di sekolah tersebut sehingga menimbulkan tekanan psikologis bagi
siswa. Di Indonesia kasus tersebut belum ditemukan. Akan tetapi, gejala phobia
sekolah sudah muncul. Kasus ini dapat
dilihat banyaknya siswa yang bolos saat jam pelajaran, tidak memiliki gairah untuk melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan sekolah, sering mogok sekolah, mencari alas an
untuk tidak sekolah, malas mengerjakan PR, bahkan kadang-kadang membenci pada
guru,serta mencurat-coret sekolah. Perlu
pula dicermati, mengapa banyak siswa
yang terpaksa DO. Tentu ini bukan semata-mata karena alasan ekonomi,
sebab pemeritah telah membebaskan biaya pendidikan di tingkat sekolah dasar dan
menengah.
Pendidikan
merupakan barometer kemajuan bangsa. Melalui sekolah dicetak manusia yang
memiliki sumber daya yang unggul untuk siap berkompetensi dalam kancah
persaingan. Bagaimana cita-cita luhur itu terwujud apabila sekolah “dimusuhi”.
Bagaimana nasib Wajar Dikdas sembilan tahun
mencapai sasaran, apabila sebagian siswa mengalami phobia sekolah. Bagaimana
siswa bisa belajar dengan nyaman bila sekolah dianggap sebagai tempat yang
menakutkan.
Menjadi
tantangan tersendiri bagi sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang yaman. Tidak hanya lingkungan fisik semata,
tetapi suasana kondusif di mana siswa merasa dia berada di tempat yang
disukainya. Perlu diciptakan suasana komunikasi yang hangat antara siswa dan
guru, sehingga siswa menganggap guru tidak hanya seb agai orang tua, tetapi
juga sekaligus sahabat.
Di pihak lain,
orang tua juga perlu memperhatikan siswanya di rumah, peka terhadap
keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh siswa, serta mau menjadi pendengar yang
baik bagi anak-anaknya. Orang tua tidak langsung menyalahkan pihak sekolah bila
ada hal yang menurutnya tidak sesuai, juga tidak bisa men”stigma” siswa , sehingga menyebabkan siswa semakin
tertekan. Orang tua bisa berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk memecahkan
berbagai masalah yang berhubungan dengan kemajuan siswanya di sekolah. Bila
perlu, orang tua mendapat informasi
apapun yang berhubungan dengan aktivitas sekolah, sehingga terjadi saling pengertian.
Ujung tombak
pendidikan adalah guru. Di sinilah pentingnya guru mampu menciptakan kegiatan
belajar mengajar yang menarik dan menantang. Di samping harus menciptakan
metode pembelajaran yang bervariasi dan menarik, sedapat mungkin juga guru
menghindari tugas-tugas yang bisa memberikan beban bagi siswa, seperti memberi PR yang memberatkan, memberikan tugas tambahan
yang menyulitkan. Kalaupun harus member tugas dipilih tugas yang menantang
kreativitas siswa.
Iwan Ardhie
Prieyana, Guru SMPN 1 Nagreg dan SMP YP 17 Nagreg Kab. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar