Selasa, 05 Juni 2012

Memaafkan itu Mengobati



Oleh Iwan Ardhir Prieyana
(Galamedia, 30 September 2010)

Memaafkan kita pahami sebagai perkara yang mudah. Kita cukup mengatakan “Aku minta maaf kepadamu atas kesalahanku”. Ucapan itu merupakan wujud dari upaya kita untuk menghapuskan perasaan tertentu akibat rasa salah yang ada dalam diri kita. Sebagaimana sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, terlebih lebih pada saat Idul Fitri mislanya. Dalam kasus lain, cara kita memaafkan adalah dengan “melupakan” suatu peristiwa dan berusaha menghapus emosi kita yang menyertai rasa marah pada seseorang. Masalahnya, benarkah tindakan kita berupa mengatakan maaf dan melupakan berbagai peristiswa itu kita telah memaafkan dalam arti yang seungguhnya; sehingga kita benar-benar terbebas dari perasaan dendam, marah,,kesal serta beban emosi negative lainnya?
Melalui buku “forgiveness therapy, maafkanlah niscaya dadamu lapang” yang ditulis Asep Haerul Gani,-seorang psikolog dan pengelola Pondok Pesantren Hypnoterapy Ciputat- ini pembaca akan memperoleh pemahaman yang benar tentang proses dan aktifitas memaafkan sehingga menghindari proses memaafkan palsu ,seperti kasus yang di paparkan pada awal tulisan ini. Penulis menunjukkan beberapa persepsi tentang memaafkan yang selama ini tidak tepat, seperti memaafkan berarti, memaklumi, melupakan, pembenaran, menenangkan, memaafkan palsu, memafaakan tidak sama dengan mengadili, memaafkan selalu tidak harus diiringi dengan perdamaian. Penulis tidak hanya mengupas masalah memaafkan  dari sisi psikologis saja, namun pembaca di ajak untuk merenungi berbagai konsep yang dipaparkan. Misalnya, pada kegiatan memaafkan yang kita lakukan dalam kegiatan ideul fitri, halal bi halal, dan seremoni  lainnya, kita di ajak merenungkan kembali aktivitas tersebut lewat pertanyaan : Apakah saat orang yang menjabat tangan Anda-kebetulan sebagai tokoh yang masuk ke dalam daftar yang melukai kehormatan Anda mengatakan “Mohon maaf”-Anda menyimpulkan dari keras lunaknya suara, nada bicara, tempo bicara, dan mimic mukanya sebagai TULUS atau hanya basa-basi mengikuti tradisi belaka? Apakah Anda kemudian merasa sesak, marah, kecewa, kesal dan dendam Anda terlepas dan sirna saat mendengar ia mengakatakan “Mohon Maaf?” (hal. 41)
Melalui buku ini pembaca tidak hanya beroleh pengetahuan memaafkan  dalam kacamata psikologis, namun juga diajak untuk menikmati pengalaman klien yang berkonsultasi dengan penulis buku ini , seputar proses pemaafan,. Juga, praktek memaafkan yang sangat sederhana dan agak “aneh” seperti membuang rasa kesal melalui proses BAB (buang air besar )  dan mandi.  juga pembaca disuguhi dengan kisah pemaafan yang mengugah dan memotivasi. Misalnya kisah Mang Adrahi jeger kampung musuh Ajengan Subhi yang meninggal , namun dengan konsep meaafkannya, Ajengan Subhi dan para santrinya mengrusu prsoes pemakaman musuhnya itu dengan alasan Mang Adrahi adalah tokoh jujur yang menunjukkan kepada ajengan beberapa kelemahan dan kritik yang membuat ajengan belajar banyak hal.
Buku ini menunjukkan bagaimana tehnik memaafkan dan membuang energi negatif yang ada dalam diri kita. Sehingga diharapkan pembaca –melalui petunjuk terapinya- merasa lebih nyaman lepas dari berbagai ganjalan perasaan yang mengganggu . Sesuai dengan judulnya, memaafkan  merupakan kegiatan terapi. Penelitian menjukkan bahwa orang yang memaafkan menunjukkan gejala tekanan darah lebih normal, penurunan stress, kemarahan mereda, mengurasi rasa nyeri di punggung yang akut dsb.Buku iniditulis denan bahsa yang sederhana dan dengan gaya populer sehingga tidak membosankan. Meskipun ada beberapa bagian konsep memaafkan yang merujuk pada pendapat pakar asing yang membutuhkan kesabaran untuk memahaminya, namun hal tersebut tidak menganggu isi buku dan manfaat yang berserakan di dalamnya. Sehingga buku yang kecil tapi cukup menggugah ini pantas di baca oleh siapa saja yang ingin memperoleh pencerahan dan pemahaman baru mengenai proses memaafkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text widget

About

Selasa, 05 Juni 2012

Memaafkan itu Mengobati



Oleh Iwan Ardhir Prieyana
(Galamedia, 30 September 2010)

Memaafkan kita pahami sebagai perkara yang mudah. Kita cukup mengatakan “Aku minta maaf kepadamu atas kesalahanku”. Ucapan itu merupakan wujud dari upaya kita untuk menghapuskan perasaan tertentu akibat rasa salah yang ada dalam diri kita. Sebagaimana sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, terlebih lebih pada saat Idul Fitri mislanya. Dalam kasus lain, cara kita memaafkan adalah dengan “melupakan” suatu peristiwa dan berusaha menghapus emosi kita yang menyertai rasa marah pada seseorang. Masalahnya, benarkah tindakan kita berupa mengatakan maaf dan melupakan berbagai peristiswa itu kita telah memaafkan dalam arti yang seungguhnya; sehingga kita benar-benar terbebas dari perasaan dendam, marah,,kesal serta beban emosi negative lainnya?
Melalui buku “forgiveness therapy, maafkanlah niscaya dadamu lapang” yang ditulis Asep Haerul Gani,-seorang psikolog dan pengelola Pondok Pesantren Hypnoterapy Ciputat- ini pembaca akan memperoleh pemahaman yang benar tentang proses dan aktifitas memaafkan sehingga menghindari proses memaafkan palsu ,seperti kasus yang di paparkan pada awal tulisan ini. Penulis menunjukkan beberapa persepsi tentang memaafkan yang selama ini tidak tepat, seperti memaafkan berarti, memaklumi, melupakan, pembenaran, menenangkan, memaafkan palsu, memafaakan tidak sama dengan mengadili, memaafkan selalu tidak harus diiringi dengan perdamaian. Penulis tidak hanya mengupas masalah memaafkan  dari sisi psikologis saja, namun pembaca di ajak untuk merenungi berbagai konsep yang dipaparkan. Misalnya, pada kegiatan memaafkan yang kita lakukan dalam kegiatan ideul fitri, halal bi halal, dan seremoni  lainnya, kita di ajak merenungkan kembali aktivitas tersebut lewat pertanyaan : Apakah saat orang yang menjabat tangan Anda-kebetulan sebagai tokoh yang masuk ke dalam daftar yang melukai kehormatan Anda mengatakan “Mohon maaf”-Anda menyimpulkan dari keras lunaknya suara, nada bicara, tempo bicara, dan mimic mukanya sebagai TULUS atau hanya basa-basi mengikuti tradisi belaka? Apakah Anda kemudian merasa sesak, marah, kecewa, kesal dan dendam Anda terlepas dan sirna saat mendengar ia mengakatakan “Mohon Maaf?” (hal. 41)
Melalui buku ini pembaca tidak hanya beroleh pengetahuan memaafkan  dalam kacamata psikologis, namun juga diajak untuk menikmati pengalaman klien yang berkonsultasi dengan penulis buku ini , seputar proses pemaafan,. Juga, praktek memaafkan yang sangat sederhana dan agak “aneh” seperti membuang rasa kesal melalui proses BAB (buang air besar )  dan mandi.  juga pembaca disuguhi dengan kisah pemaafan yang mengugah dan memotivasi. Misalnya kisah Mang Adrahi jeger kampung musuh Ajengan Subhi yang meninggal , namun dengan konsep meaafkannya, Ajengan Subhi dan para santrinya mengrusu prsoes pemakaman musuhnya itu dengan alasan Mang Adrahi adalah tokoh jujur yang menunjukkan kepada ajengan beberapa kelemahan dan kritik yang membuat ajengan belajar banyak hal.
Buku ini menunjukkan bagaimana tehnik memaafkan dan membuang energi negatif yang ada dalam diri kita. Sehingga diharapkan pembaca –melalui petunjuk terapinya- merasa lebih nyaman lepas dari berbagai ganjalan perasaan yang mengganggu . Sesuai dengan judulnya, memaafkan  merupakan kegiatan terapi. Penelitian menjukkan bahwa orang yang memaafkan menunjukkan gejala tekanan darah lebih normal, penurunan stress, kemarahan mereda, mengurasi rasa nyeri di punggung yang akut dsb.Buku iniditulis denan bahsa yang sederhana dan dengan gaya populer sehingga tidak membosankan. Meskipun ada beberapa bagian konsep memaafkan yang merujuk pada pendapat pakar asing yang membutuhkan kesabaran untuk memahaminya, namun hal tersebut tidak menganggu isi buku dan manfaat yang berserakan di dalamnya. Sehingga buku yang kecil tapi cukup menggugah ini pantas di baca oleh siapa saja yang ingin memperoleh pencerahan dan pemahaman baru mengenai proses memaafkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.