Oleh
Iwan Ardhir Prieyana
(Galamedia,
30 September 2010)
Memaafkan kita pahami
sebagai perkara yang mudah. Kita cukup mengatakan “Aku minta maaf kepadamu atas
kesalahanku”. Ucapan itu merupakan wujud dari upaya kita untuk menghapuskan
perasaan tertentu akibat rasa salah yang ada dalam diri kita. Sebagaimana
sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, terlebih lebih pada saat Idul Fitri
mislanya. Dalam kasus lain, cara kita memaafkan adalah dengan “melupakan” suatu
peristiwa dan berusaha menghapus emosi kita yang menyertai rasa marah pada
seseorang. Masalahnya, benarkah tindakan kita berupa mengatakan maaf dan
melupakan berbagai peristiswa itu kita telah memaafkan dalam arti yang
seungguhnya; sehingga kita benar-benar terbebas dari perasaan dendam, marah,,kesal
serta beban emosi negative lainnya?
Melalui buku
“forgiveness therapy, maafkanlah niscaya dadamu lapang” yang ditulis Asep
Haerul Gani,-seorang psikolog dan pengelola Pondok Pesantren Hypnoterapy
Ciputat- ini pembaca akan memperoleh pemahaman yang benar tentang proses dan
aktifitas memaafkan sehingga menghindari proses memaafkan palsu ,seperti kasus
yang di paparkan pada awal tulisan ini. Penulis menunjukkan beberapa persepsi
tentang memaafkan yang selama ini tidak tepat, seperti memaafkan berarti,
memaklumi, melupakan, pembenaran, menenangkan, memaafkan palsu, memafaakan
tidak sama dengan mengadili, memaafkan selalu tidak harus diiringi dengan
perdamaian. Penulis tidak hanya mengupas masalah memaafkan dari sisi psikologis saja, namun pembaca di
ajak untuk merenungi berbagai konsep yang dipaparkan. Misalnya, pada kegiatan
memaafkan yang kita lakukan dalam kegiatan ideul fitri, halal bi halal, dan
seremoni lainnya, kita di ajak merenungkan
kembali aktivitas tersebut lewat pertanyaan : Apakah saat orang yang menjabat
tangan Anda-kebetulan sebagai tokoh yang masuk ke dalam daftar yang melukai
kehormatan Anda mengatakan “Mohon maaf”-Anda menyimpulkan dari keras lunaknya
suara, nada bicara, tempo bicara, dan mimic mukanya sebagai TULUS atau hanya
basa-basi mengikuti tradisi belaka? Apakah Anda kemudian merasa sesak, marah,
kecewa, kesal dan dendam Anda terlepas dan sirna saat mendengar ia mengakatakan
“Mohon Maaf?” (hal. 41)
Melalui buku ini
pembaca tidak hanya beroleh pengetahuan memaafkan dalam kacamata psikologis, namun juga diajak
untuk menikmati pengalaman klien yang berkonsultasi dengan penulis buku ini ,
seputar proses pemaafan,. Juga, praktek memaafkan yang sangat sederhana dan
agak “aneh” seperti membuang rasa kesal melalui proses BAB (buang air besar ) dan mandi. juga pembaca disuguhi dengan kisah pemaafan
yang mengugah dan memotivasi. Misalnya kisah Mang Adrahi jeger kampung musuh
Ajengan Subhi yang meninggal , namun dengan konsep meaafkannya, Ajengan Subhi
dan para santrinya mengrusu prsoes pemakaman musuhnya itu dengan alasan Mang
Adrahi adalah tokoh jujur yang menunjukkan kepada ajengan beberapa kelemahan
dan kritik yang membuat ajengan belajar banyak hal.
Buku ini menunjukkan
bagaimana tehnik memaafkan dan membuang energi negatif yang ada dalam diri
kita. Sehingga diharapkan pembaca –melalui petunjuk terapinya- merasa lebih nyaman
lepas dari berbagai ganjalan perasaan yang mengganggu . Sesuai dengan judulnya,
memaafkan merupakan kegiatan terapi.
Penelitian menjukkan bahwa orang yang memaafkan menunjukkan gejala tekanan
darah lebih normal, penurunan stress, kemarahan mereda, mengurasi rasa nyeri di
punggung yang akut dsb.Buku iniditulis denan bahsa yang sederhana dan dengan
gaya populer sehingga tidak membosankan. Meskipun ada beberapa bagian konsep
memaafkan yang merujuk pada pendapat pakar asing yang membutuhkan kesabaran
untuk memahaminya, namun hal tersebut tidak menganggu isi buku dan manfaat yang
berserakan di dalamnya. Sehingga buku yang kecil tapi cukup menggugah ini
pantas di baca oleh siapa saja yang ingin memperoleh pencerahan dan pemahaman
baru mengenai proses memaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar